Lebih lanjut, Prof. Deni menguraikan bahwa Pasal 10A ayat (1) UU KPK memberikan kewenangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengambil alih penyidikan yang dilakukan oleh polisi atau jaksa. Namun, hal ini tidak serta-merta memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk menyidik tindak pidana korupsi.
Seminar ini juga mengungkapkan pentingnya harmonisasi dan kesetaraan dalam pembentukan undang-undang, termasuk RUU Kejaksaan dan RUU KUHAP Ketidakharmonisan ini, menurut para narasumber, dapat menimbulkan potensi tumpang tindih kewenangan dan ketidakpastian hukum.
Prof. Deni juga menyoroti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 28/PUU-V/2007 terkait judicial review Pasal 30 UU Kejaksaan. Putusan tersebut tidak sampai pada pokok perkara mengenai kewenangan jaksa untuk menyidik, karena para pemohon dinyatakan tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing).
“Konstruksi hukum kita saat ini membutuhkan kajian mendalam agar tidak terjadi kerancuan. RUU Kejaksaan dan RUU KUHAP harus disinkronkan untuk menjamin kepastian hukum dan mendukung reformasi sistem peradilan pidana di Indonesia,” tutup Prof. Deni.
Seminar nasional ini berhasil membuka ruang diskusi yang produktif antara akademisi, praktisi, dan pemangku kebijakan, dengan harapan mampu memberikan kontribusi nyata terhadap pembaruan sistem Hukum Nasional (**).