Oleh Anwar Hudijono
Gawat! Proses kelahiran Partai Amanat Nasional (PAN) Jawa Timur ibarat bayi mengalami blooding. Pendarahan. Risikonya bayi lahir cacat. Minimal mengidap penyakit bawaan yang bisa membuat pertumbuhan bayi enggrik-enggriken. Sakit-sakitan.
Pengebab utamanya, mereka yang menangangi proses kelahiran itu bertengkar sendiri. Mereka orang-orang terbaik. Tetapi ternyata untuk mengkompromikan orang-orang terbaik itu tidak mudah. Ibarat mencampur tembakau enak dengan soto enak. Hasilnya malah tidak enak.
Maka haruslah dicari tokoh yang bisa menyelamatkan kelahiran PAN Jatim. Persyaratannya banyak. Memiliki power yang disegani para pihak yang bertikai. Yang mampu meredam konflik yang sudah meledak. Bisa merangkul semua pihak, termasuk yang bertikai, untuk saiyek saekoproyo (bekerja bersama-sama) membesarkan PAN. Harus memiliki massa yang besar karena partai itu intinya adalah jumlah pendukung.
Ternyata untuk menemukan figur demikian sangat sulit ibarat mencari sebatang pohon ciplukan di antara rerimbunan padang perdu. Sampai beberapa lama tidak ditemukan. Sementara waktu semakin dekat dengan pemilu 1999. Padahal sebagai partai baru, PAN jelas membutuhkan persiapan yang panjang.
Akhirnya figur yang dicari-cari itu ketemu. Dialah Ustad Abdurrahim Nur. Konon menurut sahibul kabar, yang menemukan Ketua Umum DPP PAN Amien Rais sendiri. Amien pula yang meminang.
Kalau saja bukan Amien yang meminang, perkiraan saya, Ustad Rahim langsung menolak. Partai politik itu bukan makomnya. Bukan tempatnya. Dia sudah niat mewakafkan jiwa-raganya untuk Muhammadiyah. Saat itu menjadi Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur. Totalitas berkhidmat sebagai dosen di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya. Mengasuh Yayasan Nurul Azhar Porong, Sidoarjo yang mengelola masjid, Panti Asuhan Yatim Piatu Nurul Azhar. Menjaga umat dengan mengasuh pengajian Fajar Sodiq.
Masalahnya, yang meminta Amien Rais. Hubungannya dengan Amien selama ini sangat baik. Bukan sekadar hubungan struktural Amien sebagai Ketua PP Muhammadiyah sedang Ustad Rahim sebagai Ketua PWM Jatim, tetapi hubungan itu sampai tingkat personal. Hal ini membuat ewuh pakewuh. Dilematis. Oleh karena itu, cukup lama waktu yang dibutuhkan untuk memutuskan pinangan Amien tersebut.
Bukan politisi
Ustad Rahim bukan politisi. Tidak pernah terjun di dunia politik praktis. Tetapi cukup memahami seluk beluk perkembangan politik. Salah satu jalur untuk mengikuti perkembangan politik adalah putranya, Muhammad Mirdasy, seorang politisi tulen. Ibarat emas gitu benar-benar 24 karat. Bukan hanya 18 karat, apalagi emas sepuhan. Mirdasy pernah jadi anggota DPRD Jawa Timur dari PPP.
Ustad Rahim itu memandang politik itu dalam kaidah assyiasatu min furuin syar’i (politik itu cabangnya syariah). Dengan demikian cara ia memandang sangat normatif. Politik dalam konteks baik dan buruk, manfaat dan madlarat, pantas dan tidak pantas, boleh dan tidak boleh, halal dan haram. Tidak ada yang sama-samar atau subhat. Karena subhat itu wilayah yang dibawa Dajjal. Bergerak di bidang politik itu bagian dari dakwah amar ma’ruf nahi mungkar.
Sementara politik kepartaian itu memiliki ukuran-ukuran lain. Memandang politik itu dalam konteks menang dan kalah, untung-rugi, mendapat atau menyetor. Berkiprah di politik kepartaian itu sering kali layaknya berjudi. Bisa pulang sebagai pahlawan dengan membawa pampasan. Bisa pulang ngeslong alias kalah habis-habisan. Malah bisa-bisa tidak berani pulang. Tidur di pasar bantalan gubis.
Politik kepataian itu banyak wilayah subhatnya. Seolah semua dikemas dalam jargon pengabdian. Entah pengabdian kepada partai, rakyat, bangsa dan negara. Tetapi konten sebenarnya untuk mendapat kekuasaan, uang, popularitas, puji-pujian, bahkan entit-entitan.
Intinya, politik kepartaian itu sering kali lekang dari norma-norma. Menghalalkan segala cara. Pagi teman, sore bisa jadi lawan. Berlaku kaidah, tidak ada teman sejati. Yang ada hanya kepentingan diri. Bisa saja penampilan bak malaikat, tetapi di dalam hatinya menyimpan setan. Bukan idealisme yang mengikat tetapi kepentingan praktis. Maka politik menjadi sangat transaksional. Politik menjadi arena petualangan. Politik menjadi pentas badut-badut, pecundang dan pemenang.
Apakah dirinya mampu mempertemukan politik normatif dengan trends politik kepartaian? Ini kabarnya juga menjadi salah satu faktor mengapa cukup lama tidak segera menjawab permohonan Amien Rais.
Trauma Masyumi
Kabar Ustad Rahim dipinang Amien Rais menyeruak santer di kalangan umat Muhammadiyah. Terjadilah polarisasi umat. Ada yang menolak, ada yang setuju, ada yang hati-hati.
Yang menolak pun dengan alasan sendiri-sendiri. Ada kelompok Muhammadiyah konservatif. Mereka masih trauma politik ketika Muhammadiyah bersinggungan dengan politik kepartaian. Yang ternyata hanya merugikan Muhammadiyah.
Contohnya, ketika Muhammadiyah menjadi anggota istimewa Masyumi, terjadilah eksodus besar-besaran dari warga Muhammadiyah yang bukan pendukung Masyumi. Yang paling banyak dari kalangan Partai Nasionalis Indonesia (PNI).
Pada jaman Orde Baru, Muhammadiyah terlibat dalam pendirian Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Ternyata tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti Lukman Harun dan Djarnawi Hadikusumo disingkirkan secara menyakitkan. Muhammadiyah hanya dijadikan legitimasi oleh Orde Baru. Hanya dijadikan tumbal agar seolah di Indonesia ada demokrasi.
Kalangan partai juga juga yang menolak Ustad Rahim memimpin PAN Jatim karena khawatir warga Muhammadiyah yang menyebar di banyak partai akan berduyun-duyun mengikuti jejak Ustad Rahim. Dengan begitu partai akan kehilangan asetnya.
Ada juga kelompok yang menolak karena Ustad Rahim tidak memiliki pengalaman di partai politik. Padahal sebuah partai baru harus dipimpin orang yang pengalaman. Karena akan bersaing dengan partai-partai yang sudah mapan, dan partai-partai baru dipimpin orang-orang lama.
Yang bersikap mendukung umumnya karena Ustad Rahim diyakini bisa menjadi figur pemersatu kelompok-kelompok yang berkonflik. Ustad Rahim memiliki potensi menjadi vote getter, pendulang suara warga Muhammadiyah.
Reformasi
Pada akhirnya Ustad Rahim bersedia memimpin PAN Jatim. Saya tidak tahu persis apa yang mendorong dia bersedia. Hanya saya perkirakan karena sejalan dengan arus besar di tingkat Pimpinan Pusat Muhammadiyah, baik bersifat institusional maupun personal.
Arus pemikiran yang berkembang di PP bahwa Amien Rais ketika memimpin gerakan reformasi Indonesia tidak lepas dari posisinya sebagai Ketua PP Muhammadiyah. Dukungan Muhammadiyah terhadap reformasi Amien dalam kerangka high politics, politik moral, politik nilai. Untuk menegakkan keadilan. Untuk membawa Indonesia lebih baik dan lebih maju. Tanpa Muhammadiyah di belakangnya, power politik Amien Rais kecil.
Pada saat itu reformasi berada di persimpangan jalan. Pertama, bisa atret, kembali ke masa Orde Baru. Karena sebenarnya kekuatan Orde Baru masih digdaya. Kekuatan lama sudah terlalu menikmati hasil korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang menjadi watak Orde Baru. Mereka tidak ingin kehilangan kenikmatan. Ibaratnya tidak mau melepeh permen yang sudah dikulum.
Kedua, banyaknya begal politik. Artinya, banyak kekuatan yang ingin membegal reformasi untuk dipergunakan menjalankan agendanya sendiri. Mereka menyelinap seolah-olah reformis. Padahal mereka justru akan membunuh ruh reformasi. Jika reformasi ibarat bus umum, mereka menjadi penumpang tapi diam-diam secara julig dan pengecut ingin merebut kemudi bus untuk dibawa ke tujuannya sendiri.
Kekuatan Orde Baru dan para begal politik ini sangat mungkin untuk berkolaborasi. Karena sebenarnya, mereka sama-sama tidak ingin agenda reformasi itu berjalan sukses. Jika reformasi lancar jaya, mereka sama-sama akan tergilas.
Boleh dibilang yang paham betul ruh reformasi itu ya Amien Rais. Tapi kini posisi Amien Rais benar-benar kinepung wakul binoyo mangap, dikepung ancaman yang sangat membahayakan. Bukan hanya dari kekuatan lama dan begal politik, kekuatan politik internasional juga tidak mendukungnya karena mencurigai Amien akan membesarkan Islam. Sementara dunia sudah dikendalikan kekuatan fobia Islam.
Maka kalau Muhammadiyah sampai membiarkan Amien, sama saja dengan dzalim. Membiarkan kader terbaiknya di tepi pantai sementara ancaman di laut berupa tsunami sudah mengincar. Dari darat ada macan dan serigala siap menerkam. Dari tepian pantai ada buaya-buaya yang ganas siap mencabik-cabik.
Secara cerdas, dukungan itu direaliasi dalam bentuk dukungan dari para pemimpin Muhammadiyah yang bersifat personal. Institusi Muhammadiyah mendukung secara informal. Sementara Muhammadiyah secara formal institusional tetap menjaga jarak dengan partai politik. Politik Muhammadiyah tetap high politics. Bukan low politics. Bukan politik praktis. Bukan politik kepartaian.
Saya kira, sekali lagi, landasan paling kuat Ustad Rahim bersedia memimpin PAN Jatim karena sikap takzimnya ke Muhammadiyah.
Kader Muhammadiyah
Ustad Rahim menjadikan kader-kader Muhammadiyah sebagai core PAN Jatim. Ia memilih Wahyudi menjadi sekretaris PAN Jatim. Wahyudi adalah sekretaris PWM. Banyak kader muda Muhammadiyah yang masuk di jajaran pengurus. Seperti Kuswiyanto, Suli Daim, Masfuk, Tamhid, Sugeng, Sulthon Amin, Suyoto. Saya yang di PWM berada di kepengurusan jajaran paling bawah alias hanya bolo dupak, didapuk menjadi Koordinator Humas PAN Jatim.
Core ini menjadi sokoguru penting. Ibarat rumah, jika tidak memiliki sokoguru yang kuat akan mudah goyang diterpa gempa, bahkan roboh. Untuk menunjukkan identitas PAN sebagai partai terbuka, demokratis, inklusif, Ustad Rahim banyak memasukkan figur-figur non-Muhammadiyah. Misalnya, KH Lukman Hakim yang berasal dari NU. Syaiful Anam asal HMI. Thimotius Kwanda, dosen Universitas Kristen Petra. Kaisar Victoria, budayawan dan penyiar radio. Susono, pengusaha. Banyak purnawirawan, pengusaha, intelektual.
Pada saat memimpin PAN Jatim, Ustad Rahim cenderung bersikap sangat hati-hati. Ibarat masuk di kolam yang dasarnya berlumpur, Ustad Rahim mau basah tapi tanpa kecipratan lumpur. Maklum politik itu batas antara bersih dan kotor itu nyaris tidak ada. Persis kolam airnya kelihatan bening tapi di dasarnya lumpur. Sedikit saja ada ombak atau gerakan, air dengan cepat berubah kotor.
Untuk itulah ia membatasi atau fokus pada dua peran pokok. Pertama, sebagai figur pemersatu. Kedua, sebagai penjaga moral politik.
Sebenarnya di tubuh kepengurusan DPW PAN yang heterogen, merupakan gabungan banyak unsur, juga rawan friksional. Rawan konflik. Apalagi mendekati pencalonan anggota legislatif, pergerakan politik berubah dari kolaborasi ke kompetisi. Dari kompetisi bergeser ke permusuhan.
Dengan sikapnya yang bijaksana, ngemong, Ustad Rahim bisa mengelola dengan baik potensi konflik dan friksi itu sehingga tidak sampai meledak menjadi perang terbuka. Pasca Ustad Rahim, kepengurusan PAN Jatim tak pernah sepi dirundung konflik. Malah pada Konferwil di Kediri terjadi kekerasan fisik.
Abu Hasan Al Asyari
Politik Ustad Rahim itu tipikal Abu Hasan Al Asyari, sahabat Nabi yang saleh dan terkenal pada Perjanjian Daumatul Jandal untuk menyelesaikan konfrontasi Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abu Sufyan. Mengedepankan moral politik. Dan risiko yang dialami Ustad Rahim boleh dibilang serupa dengan resiko yang dialami Abu Hasan Al Asyari yang juga dikenal sebagai ahli ilmu kalam. Di antaranya, ada kesalahan persepsi terhadap peran sejarahnya.
Untuk itulah Ustad Rahim, menurut kesan saya, sengaja membatasi diri dari lingkup strategi dan manuver politik. Ibarat dalam sebuah permainan, ketika para pemain sudah berlaga di lapangan, Ustad memilih melihat dari luar lapangan.
Langkah itu bisa jadi karena, ya itu tadi, tidak mau kecipratan lumpur. Dia menjaga betul eksistensi keulamaannya. Martabat pribadinya sebagai seorang ilmuwan. Posisinya sebagai pemimpin umat. Ustad selalu menggambarkan pribadi seorang pemimpin umat itu harus sidik (jujur), amanat (dapat dipercaya), tablih (dapat menyampaikan risalah Islam kepada umat), dan fatonah (cerdas).
Terkesan betul bahwa dia tidak ingin peran keulamaan dan pemimpin umat yang sudah ditekuni puluhan tahun ternoda oleh residu politik seperti susu sebelanga yang terpercik wenter.
Menurut saya, Ustad Rahim sangat sadar jika tidak terkontrol dengan baik, peran politiknya itu dapat ibarat hujan deras campur badai yang dapat memporak-porandakan ladang dengan tanaman yang subur.
Berdasar pengalaman saya, jika saya mau melakukan manuver politik, termasuk yang naka-nakal dikit, saya matur Ustad Rahim. Saya tidak berani melangkahinya. Karena saya termasuk santrinya di pengajian Fajar Sodik. Adab santri itu tawadluk ke kiainya. Saya anak buahnya di PWM Jatim. Di samping itu saya hormat atas kealiman dan keulamannya.
Kalau pengurus yang lain biasa saya langkahi. Saya tidak takut kuwalat karena saya yakin mereka itu tidak malati. Biasanya mereka mendukung saja atau diam saja. Tapi mungkin saja di belakang nggerundel, malah misuhi.
Biasanya Ustad Rahim mendengar rencana manuver politik humas yang saya sampaikan. Kemudian dia mengatakan, monggo dilaksanakan jika memang itu baik. Monggo diatur bagaimana baiknya.
Banyak ruginya
Kalau menggunakan kalkulasi politik yang lazim di kepartaian, keberadaan Ustad Rahim memimpin PAN Jatim itu tidak mendapat gains (keuntungan) apa-apa. Malah banyak ruginya. Kalau di dunia bisnis mengalami capital lost. Kobol-kobol.
Orang yang berkiprah menjadi pengurus partai politik itu kan kebanyakan ingin menjadi anggota legislatif. Masuk lembaga eksekutif. Mendapat keuntungan ekonomi. Mengantongi setoran kanan-kiri. Minimal menjadi makelar dalam politik transaksional. Minimal sekali mendapat entit-entitan dana partai.
Ustad tidak mendapat semua itu. Malah duit pribadinya keluar untuk sedekah partai (sering kalau pas rapat diedarkan kotak amal untuk partai).
Tidak ada kelurganya yang menjadi anggota legislatif. Bahkan ketika putranya, Muhammad Mirdasy diisukan hendak pindah dari PPP ke PAN, sudah geger. Banyak pengurus PAN Jatim ramai-ramai menolak. Sudah muncul tuduhan Ustad Rahim akan membangun kerajaan politik di PAN Jatim. Menyiapkan Mirdasy menjadi suksesornya.
Jelas Ustad Rahim rugi karena fitnah itu. Mirdasy juga rugi karena internal PPP meragukan loyalitasnya. Bahkan dicurigai akan mengerdilkan PPP. Membawa umat Muhammadiyah yang di PPP ke PAN.
Akhirnya kariernya di PPP wassalam alias tamat, padahal dia termasuk the rising star, kader muda yang digadang-gadang berkibar di PPP menggantikan seniornya seperti Ahadin Mintaroem. Sementara pintu PAN sudah tertutup untuk dia. Dia harus merangkak lagi mulai nol dengan masuk Partai Hanura, kemudian ke Perindo.
Kasus itu menunjukkan meski Ustad Rahim sudah sangat hati-hati ternyata tetap saja kecipratan lumpur. Terkena residu. Membuat eksistensinya di Muhammadiyah boleh dibilang stagnan. Terlihat dari pemilihan pimpinan PWM Jatim, dia tidak lagi mendapa suara terbanyak. Akhirnya ketua PWM Jatim digantikan Syafiq Mughni yang mendapat dukungan suara lebih banyak.
Kerugian lainnya ketika terjadi aksi menolak pelengseran Presiden Gus Dur. Panti Asuhan Nurul Azhar yang dibina Ustad Rahim dirusak oleh massa pendukung Gus Dur di Jatim.
Ustad Rahim menganggap berkiprah di PAN sebagai bagian dari berkhidmat di Muhammadiyah cukup satu periode saja. Semua risiko yang sudah dialami, dia terima dengan ikhlas. Perjuangan selalu ada risikonya. Ia menolak dicalonkan lagi untuk menjadi ketua DPW PAN Jatim.
Ia sterilkan diri dari kegiatan kepartaian. Kembali ke maqomnya menjadi ulama. Ngemong dan mendidik umat. Merawat anak yatim. Ngopeni masjid. Peran ini yang dia wariskan kepada keluarga dan umat untuk dilestarikan, pada saat dia kembali ke rahmat Allah pada tanggal 29 Mei 2007.
Anwar Hudijono, Kolumnis tinggal di Sidoarjo
29 Mei 2021
Leave a Reply