MALANG (SurabayaPost.id) – Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menetapkan kebijakan tarif cukai hasil tembakau tahun 2021. Tarif cukai itu naik 12,5 persen mulai 01 Februari 2021 ini.
Hal tersebut diungkapkan Kepala Kanwil DJBC Jatim II, Oentarto Wibowo saat zoom meeting bersama wartawan dengan tajuk Media Briefing Kebijakan Kenaikan Tarif Cukai Hasil Tembakau 2021, Jumat (29/1/2021).
Oentarto Wibowo mengatakan bila kebijakan itu selaras dengan visi-misi Presiden Republik Indonesia yaitu “SDM Maju, Indonesia Unggul”, melalui komitmen pengendalian konsumsi demi kepentingan kesehatan. Selain itu untuk perlindungan terhadap buruh, petani, dan industri dengan meminimalisir dampak negatif kebijakan, sekaligus melihat peluang dan mendorong ekspor hasil tembakau Indonesia.
Dijelaskan dia jika ada beberapa pokok kebijakan cukai hasil tembakau tahun 2021. “Namun, hanya besaran tarif cukai hasil tembakau yang berubah,” jelas dia.
Itu mengingat, lanjut Oentarto, tahun 2021 merupakan tahun yang berat bagi hampir seluruh industri termasuk industri hasil tembakau. Untuk itu simplifikasi digambarkan dengan memperkecil celah tarif antara Sigaret Kretek Mesin (SKM) golongan II A dengan SKM golongan II B, serta Sigaret Putih Mesin (SPM) golongan II A dengan SPM golongan II B; serta, besaran harga jual eceran di pasaran sesuai dengan kenaikan tarif masing-masing.
“Karena itu pemerintah menetapkan rata-rata tertimbang dari kenaikan tarif cukai per jenis rokok adalah sebesar 12,5%. Kenaikan ini lebih rendah dibandingkan dengan kebijakan tahun sebelumnya sebesar 23%,” jelas dia.
Pemerintah juga telah menetapkan untuk tidak menaikkan tarif cukai Sigaret Kretek Tangan (SKT), berdasarkan pertimbangan situasi pandemi dan serapan tenaga kerja oleh Industri Hasil Tembakau (IHT).
Secara rinci, kenaikan tarif cukai SKM adalah 16,9% untuk golongan I, 13,8% untuk golongan II A, dan
15,4% untuk golongan II B.
Sementara jenis SPM adalah 18,4% untuk golongan I, 16,5% untuk golongan II A, dan 18,1% untuk golongan II B. Kebijakan ini diambil Pemerintah melalui pertimbangan terhadap lima aspek, yaitu kesehatan
terkait prevalensi perokok, tenaga kerja di industri hasil tembakau, petani tembakau, peredaran rokok
ilegal, dan penerimaan.
Berangkat dari kelima instrumen tersebut, Pemerintah berupaya untuk dapat menciptakan kebijakan tarif cukai hasil tembakau yang inklusif. Kebijakan tersebut diharapkan dapat
memberikan dampak positif terhadap masing-masing aspek pertimbangan.
Melalui aspek kesehatan, kenaikan tarif akan menaikkan harga jual yang akan berdampak pada pengendalian konsumsi rokok, penurunan prevalensi merokok yang secara umum diharapkan menurun dari 33,8% menjadi 33,2% di tahun 2021.
Selain itu, diharapkan pula penurunan prevalensi merokok anak golongan usia 10 hingga 18 tahun. Itu ditargetkan turun menjadi 8,7% di tahun 2024 dari 9,1% di tahun 2020.
Dia tidak membantah ada kekhawatiran bila tarif cukai rokok naik cukai palsu dan rokok ilegal akan semakin merajalela. Namun dia menegaskan jika beragam strategi sudah disiapkan.
“Di antaranya membentuk Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT) sebagai langkah preventif terhadap peredaran rokok ilegal. Lalu program Gempur, dan meluncurkan aplikasi pengaduan serta kegiatan penindakan yang sinergis dengan aparat penegak hukum dan pihak terkait lainnya,” jelas dia.
Karena itu dia optimistis penerimaan negara bakal sesuai dengan target. Sebab, tahun 2020 Kanwil DJBC Jatim 2 berhasil mengumpulkan penerimaan negara Rp 49,88 triliun. (aji)
Leave a Reply