Baru beberapa lembar buku Manajemen Perusahaan aku baca, di luar terdengar sepeda motor Pak Pos masuk pagar halaman. Aku bergegas lari kecil menghampiri dan ku terima beberapa pucuk surat. Aku pun mendesis, “Makasih, Pak.”
Aku baca satu persatu sampul surat, tak satupun untukku, dan kuletakkan di atas meja ruang tamu kos-kosan. Siang itu jarum jam dinding menunjuk pukul sebelas. Aku bergegas mandi, berpakaian, pasang sepatu, kutanting tas kuliah.
Seperti biasanya di bawah pohon akasia, sudah berjajar mahasiswa berbincang duduk di bangku yang terbuat dari beton semen. Aku melihat Susi teman sekosku melambaikan tangan padaku, aku pun menyambut. Aku tak menghampiri, terus jalan masuk ke ruang perpustakaan. Kupinjam beberapa buku bacaan.
“Wang, Nawang…” terdengar teman kuliah memanggil dari belakang.
Aku menoleh, “He Adib. Lama tak kelihatan.Kemana saja?
Adib tersenyum kecil sembari menghisap rokoknya dalam – dalam, dan aku menghampiri dan duduk bersanding di teras perpustakaan. “Aku membantu bapakku di desa, bulan kemarin kan musim panen tiba. Aku terpaksa tak kuliah beberapa saat,” katanya pelan padaku dengan dahi berkerut.
Aku memandanginya sejenak. Ruang perpustakaan ramai siang itu. Ada yang berbincang sendau gurau. Ada yang melihat-lihat buku yang akan dipinjam. Ada yang duduk tepekur membaca. Di luar terdengar lamat-lamat lagu khas Banyuwangi “Gelang Alit” dari radio kantin sebelah.
Adib bertutur betapa sulitnya sekarang untuk bertani di desa. Harga pupuk yang membubung tinggi, upah buruh tani mengikutinya, belum kekuatiran akan banjir. Kesemuanya itu petani bisa merugi. Aku hanya mengangguk mendengar keluhannya. Aku mengambil koran yang digepit tangan Adib. Aku baca headline-nya, kesemuanya memberitakan maraknya kampanye pemilu. Aku tutup kembali koran itu.
“Aku juga baru pulang dari Banyuwangi. Ada sepupu yang menikah,” kataku.
Adib menggapai lenganku dan diajak masuk kantin.
Selang beberapa hari, kampus tempatku kuliah ramai membicarakan Pilkada. Hilir mudik orang-orang yang asing bagiku keluar masuk kampus. Rupanya di kantin kampus juga buat obrolan-obrolan Pilkada. Saling argumentasi terhadap calonnya. Aku tetap saja tak menghiraukan.
Lalu aku masuk perpustakaan untuk mengembalikan beberapa buku yang aku pinjam. Tampak Adib berdiri dengan bertolak pinggang. Sesekali jemarinya mengepal, berhadapan dengan beberapa teman kuliah. Aku menghampiri, mengambil tempat duduk disela-sela teman kuliah. Susi kawan sekosku juga nimbrung.
Hangat perbincangan siang itu. Soal calon gubernur. Dosen, mahasiswa mempunyai pilihannya sendiri-sendiri. Namun ada juga yang tak peduli dengan adanya Pilkada.
“Kampus tempat belajar, tidak perlu kita terkontaminasi dengan dukung mendukung calon gubernur,” suara Adib keras menegang. “Kita kan calon-calon intelektual, karenanya jangan mudah terpesona pencitraan calon-calon tersebut,” suara Adib semakin meninggi.
“Calon-calon gubernur, bupati, walikota kan politikus semua,” Susi ikut angkat bicara.
“Makanya setelah jadi, banyak yang mengecewakan. Dan tertangkap KPK karena korupsi,” tandas mahasiswa yang gemuk bulat.
Adib tersenyum diiringi tertawa berkepanjangan teman-temannya.
Gayeng, siang itu. Walau berbeda pendapat, tetapi masih menghargai pendapat yang berbeda.
Sabtu sore, di pasar Desa Sambi, Kediri, aku dan Adib menikmati nasi goreng. Kami duduk sangat rapat. Adib masih bergumam tentang kemerosotan moral pemimpin bangsa, banyak yang tertangkap KPK karena korupsi, sementara pundak rakyat semakin berat memikul beban hidup. Mahalnya biaya pendidikan, bahan-bahan pokok, listrik, air bersih, transportasi, komunikasi dan kebutuhan lain. Aku hanya mendengarkan.
Adib masih terus membicarakan soal politik, hukum dan sosial budaya.
Nasi goreng sudah habis. Teh hangat sudah tinggal seteguk. Kusenggol pundak Adib, dikeluarkannya dompet. Aku digandeng keluar warung, sepeda motor di stater. Sore itu aku berkeliling kota Kediri berboncengan sepeda motor. Kudekap pinggang Adib erat.
Angin semilir mengusap wajah. Berderai rambutku.
“Nonton bioskop?” tawar Adib.
Aku menolak. Aku ingin memutari Alun-Alun Kediri.
Malam semakin malam. Udara dingin menembus kulit. Aku pakai kaos switer tebal. Beberapa puntung rokok sudah di asbak. Aku dan Adib masih bercengkerama di beranda depan rumah. Di samping rumah tampak tumpukan karung berisi gabah padi. Adib mengutarakan ayah dan ibunya yang sudah tua. Dan kekuatiran akan kelangsungan penggarapan sawah. Sementara kakak satu-satunya sudah menetap di Malang sebagai guru negeri.
“Nawang, kau suka bertani?” tanya Adib, aku mengerutkan dahi.
Adib memandangku tajam dan kemudian senyum manisnya tersembul, tanda mengerti jawabku. Adib mendekapku mesra. Kusandarkan kepalaku pada pundak Adib. Telapaknya mengelus rambutku yang terurai lepas.
Sayup-sayup terdengar gending-gending klenengan Jawa dari radio dalam rumah.
Tambah dingin saja malam itu. Langit biru bersih, bintang pun berkedipan satu dengan yang lainnya.
“Bapak ibumu di Banyuwangi apakah sudah tahu hubungan kita?” katanya pelan berbisik.
“Sudah, ketika aku pulang ke Banyuwangi beberapa waktu yang lalu, aku ceritakan semuanya.”
“Dan sarujuk dengan hubungan kita?” katanya lagi.
“Siapa yang menolak punya mantu ganteng, gagah, pintar?” aku manjakan suaraku.
Adib tertawa kecil. Tangannya merobek bungkus rokok. Cepat-cepat aku ambil bungkus rokok itu, aku masukkan ke saku beserta koreknya. Adib mencubit pipiku. Kami saling pandang, kemudian tertawa bersama. Tangannya merogoh rokok ke sakuku. Aku pegang tangannya. Adib tak jadi mengambil bungkus rokok di sakuku.
“Mas, aku belum pernah dengar Mas Adib mengatakan . .”
“Mengatakan apa?”
“I love you.”
Kembali diraihnya daguku, diangkat mendongak. Lalu kami terdiam. Malam semakin malam, hanya suara cengkerik dan belalang bersautan.
Selesai.
Poedianto.
Guru SMK Pariwisata Satya Widya, Surabaya.
Leave a Reply