Oleh Anwar Hudijono
Suara dentuman misterius mendobrak kesenyapan wilayah Malang Raya, Selasa malam (2/1/021). Kejadian itu berlangsung sampai Rabu dini hari (3/1/021).
Reaksi masyarakat pun macam-macam. Ada yang bingung. Yang jengkel karena tidurnya terganggu. Ada yang mrinding. Meningkat lagi menjadi mengkirik. Yang takut. Yang tak karu-karuan perasaannya. Yang luruh dalam pasrah kepada Allah, beristighfar dan bertasbih.
Sama-sama fenomena alam, suara dentuman itu pasti tidak sedahsyat suara ketika Malaikat menjebol Gunung Tursina kemudian diangkat untuk ditimpakan kepada masyarakat Yahudi di jaman Musa.
Pasti tidak sedahsyat suara yang membuat kaum Samud binasa seperti buah jambu air yang berserakan setelah pohonnya dihempas badai. “Maka adapun kaum Samud, mereka telah dibinasakan dengan suara yang sangat keras.” (Quran Surah Haqqah 5).
Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sebagai pemegang otoritas ilmiah berkaitan dengan dentuman itu masih belum menemukan jawabannya. BMKG tidak mendeteksi adanya gerakan bumi, petir. Tidak juga kaitannya dengan aktivitas vulkanik maupun tektonik.
Demikian pula dentuman-dentuman yang terjadi sebelumnya di sejumlah daerah di Indonesia seperti Jakarta, Sukabumi, Banten, Bali belum bisa dipastikan apa yang sebenarnya terjadi. Sejauh ini jawabannya masih sebatas diduga.
Nah, sambil menunggu penjelasan secara ilmiah, ijinkan saya melihat dari perspektif pewayangan. Namanya wayang itu kan dunia fiksi. Seperti sinetron jugalah. Karena fiksi, maka tidak boleh dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Jangan dituduh menyebar hoax atau hate speech.
Pendekatan fiksiografi itu lebih aman meski sering kali juga membuka kenyataan. Seperti George Orwel yang menulis buku Animal Farm. Sebenarnya banyak kekuasaan manusia yang nyata seperti yang difiksikan Orwel. Fiksi trantra (cerita binatang) seperti relief Candi Jago tentang politik adu domba kebo lawan macan, itu sebenarnya dunia manusia yang nyata.
Demikian pula di jaman now, banyak film fiksi yang oleh masyarakat dianggap ekspresi dari dunia nyata. Misalnya film Iron Fish yang mengekspresikan teori konspirasi. Film Fast and Furious : Hobbs and Shaw, yang dianggap representasi dunia nyata kini.
Tidak hanya film. Tapi juga buku fiksi. Misalnya, Ghost Fleet karya karya P.W. Singer dan Ausgust Cole. Meski sebuah fiksi tetapi dianggap sebagai mengangkat realitas yang disajikan dalam bentuk Novel. Seperti pula buku Musashi karya Eiji Yosikawa, Bumi Manusia karya Pramudya Anantatoer.
Gara-gara
Suara dentuman alam yang misterius itu kalau dalam perspektif pewayangan adalah salah satu content (isi) babak gara-gara. Biasanya para dalang, seperti dalang legendaris Ki Nartosabdo, akan menyampaikan narasi: Gara-gara. Apa ta isine gara-gara? Bumi gonjang-ganjing. Di angkasa suara gemuruh memekakkan telinga. Mengguncang jiwa. Langit seperti pecah.
Praja katerjang pagebluk. Akeh wong isuk lara sore mati, sore lara isuk mati. Ono lindu sedina-dina, bumi bengkah, gunung-gunung mbleduk. Banjir bandang. Samudera kocak. (Negara dilanda musibah pandemik. Banyak orang pagi sakit sorenya mati, sorenya sakit paginya mati. Tanah longsor, gunung-gunung erupsi. Gelombang laut ngamuk menerjang daratan).
Jalma kawula sami nandang sungkawa. Larang sandang larang pangan. Hardaning gara-gara ngrusak tegal pekarangan. (Rakyat susah. Sandang dan pangan mahal. Pertanian rusak). Polahe mansungso kadya gabah den interi (saking bingungnya manusia berbuat tanpa arah seperti gabah ditampi).
Gara-gara adalah bagian dari suatu episode pegelaran wayang. Pada setiap pegelaran itu menampilkan sebuah episode cerita. Misalnya tentang Perang Baratayuda. Salah satu episodenya adalah Drona Gugur. Tentang Ramayana misalnya, salah satu episodenya adalah Anoman Obong. Episode itu sudah ada pakemnya. Memang kadang ada dalang mbeling membuat lakon karangan seperti Sengkuni Sunat, Petruk Dadi Ratu.
Bocah Bajang Nggiring Angin
Wayang itu artinya bayangan. Lelakon wayang adalah bayangan atau cerminan lakon kehidupan manusia. Gara-gara dalam pewayangan itu menjadi simbol babak kehidupan manusia yang akan diikuti kembalinya Fitrah.
Dalam pewayangan, Fitrah itu dinarasikan mengalunnya tembang: Bocah bajang nggiring angin/ anawu banyu segara/ ngon-ingone kebo dhungkul/ sa sisih sapi gumarang.
Bocah bajang itu wujudnya bayi. Bayi itu simbol kesucian. Jati diri. Kasunyatan. Kullu maulidin yuladu alal fitrah (setiap kelahiran itu suci). Perikeberadaan bumi itu pada dasarnya (asalnya) baik. Bumi selalu tunduk dan berdzikir kepada Allah.
Sebelum manusia diciptakan, dihuni oleh mahluk jin. Bangsa jin membuat kerusakan di muka bawana (bumi). Lantas Allah memperbaiki atau mereformasinya.
Maka ketika manusia diturunkan menjadi penguasa di bumi, Allah memerintahkan untuk tidak merusak bumi yang sudah direformasi itu.
“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah direformasi/diperbaiki. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.” (Quran 7:56).
Bocah bajang nggiring angin. Ketika bumi merajut kembali fitrahnya akan mengantarkan kepada kehidupan baru dalam naungan rahmat Tuhan. Watak angin itu kan segar, dinamis, selalu berkembang.
Anawu banyu segara atau menguras air laut artinya akan menghadirkan keberkahan, khususnya dalam bidang ekonomi. Air laut akan menguap jadi hujan. Hujan banyak disebut di dalam Quran adalah rahmat Allah yang akan menumbuhkan tanaman yang berguna bagi manusia dan mahluk lain.
Ingon-ingone kebo dhungkul/ sa sisih sapi gumarang. Ini mengingatkan kisah reformasi bumi. Bangsa Yakjuj dan Makjuj telah membuat kerusakan di muka bumi. “Wahai Zulkarnain, sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj telah membuat kerusakan di muka bumi.” (Quran 18:94).
Allah mereformasi bumi yang dirusak Yakjuk dan Makjuj itu dengan cara mengutus Zulkarnain. Sapi gumarang itu simbolisasi dari Zulkarnain. Kok bisa? Zulkarnain artinya bertanduk dua. Sapi gumarang itu sapi pilihan bertanduk dua panjang.
Adapun kebo dhungkul itu simbolisasi dari rakyat yang lugu, jujur, polos, adil, santun tapi terdzalimi. “Suatu kaum yang hampir tidak memahami pembicaraan.” (Q 18:93).
Zulkarnain bersama rakyat yang jujur, sederhana, adil kemudian mengusir Yakjuj dan Makjuj. Lantas membuat tembok dari campuran besi dan tembaga setinggi dua gunung sebagai hukuman untuk Yakjuj Makjuj. Tembok itu juga sebagai simbol pembatas yang adil dengan yang dzalim, yang haq dengan yang batil.
Tembang itu mengingatkan bahwa Yakjuj dan Makjuj akan kembali hadir di akhir jaman untuk menebar kerusakan. Dan insya Allah, kembali Allah akan mengutus manusia Zukkarnain kembali untuk menindak Yakjuj Makjuj.
Qarnain itu secara bahasa juga berarti dua era. Manusia berkarakter Zulkarnaen akan kembali hadir di era kedua atau akhir jaman menjelang kiamat. Maka kebo dhungkulk (rakyat) harus memilih pemimpin yang memiliki karakter dan jatidiri Zulkarnain untuk memimpin melawan Yakjuj dan Makjuj.
Lantas siapa manusia pemimpin berkarakter Zulkarnaen itu? Rabbi a’lam.
Anwar Hudijono, kolumnis tinggal di Sidoarjo.
Leave a Reply