Oleh : Syaifulloh
Sekolah/madrasah sekarang ini sedang menikmati hasil akreditasinya dengan berbagai ekspresi dan rasa syukur masing-masing karena telah selesai melalui kegiatan visitasi yang dilakukan oleh asesor sebagai pelaksana kegiatan untuk melihat kesesuaian antara isian nilai yang di upload di sispena dengan kenyataan bukti fisik di sekolah/madrasah.
Nilai akreditasi masing-masing satuan pendidkan yang terpampang di SK BAN Sekolah/Madrasah Jawa Timur sudah bisa dilihat perolehannya pada 8 Standar Nasional Pendidikan yang bdijadikan acuan dalam penilaiannya dan dengan nilai tersebut masing-masing sekolah/madrasah puas tidak puas menerima hasil nilai akreditasi tersebut sebagai acuan dalam menyusun Rencana pengembangan sekolah/madrasah pada masa yang akan datang.
Apa yang salah dengan nilai akreditasi sekolah/madrasah? Setiap satuan pendidkan yang dapat kuota akreditasi telah menerima sosialisasi dari pihak terkait mulai pengisian instrumen sampai pada upload di sispena.
Belum lagi setiap satuan pendidkan memiliki pengawas yang dengan setia mendampingi sekolah dalam penyiapan dokumen akreditasi sampai tuntas. Apalagi pra pengawas juga merupakan asesor sehingga memiliki kapsitas yang sama dalam menyiapkan dokumen yang harus dipersiapkan untuk menyongosong visitasi tersebut.
Instrumen akreditasi dengan berbagai macam pertanyaan bisa dilihat, dibaca dan dipahami oleh sekolah/madrasah sehingga mengetahui kebutuhan yang diperlukan agar sesuai dengan pertanyaan pada instrumen tersebut.
Pertanyaan pada instrumen akreditasi yang sebetulnya sangat mudah bagi sekolah menyiapkan bukti dokumennya, justru semakin bingung ketika membaca petunjuk juknis yang harus dilampirkan. Ketika pada instrumen menanyakan jumlah guru yang membuat RPP dengan tentang 91% – 100%, maka dengan mudah sekolah membuat kesimpulan banyaknya RPP, tetapi pada petunjuk teknis, dokumen yang harus dipersiapkan oleh sekolah/madrasah adalah kegiatan pengembangan keprofesionalan berkelanjutan dalam membuat RPP pada aspek sikap spiritual.
Dokumen kegiatan yang ada hubungan dengan masalah keagamaan. Begitu juga dinpertanyaan selanjutnya pada standar Isi tersebut, tetap dengan pertanyaan yang menanyakan jumlah guru yang membuat RPP, tapi dokumen yang harus dipersiapkan oleh sekolah pada petunjuk teknis malah kegiatan tambahan jam peajaran, kegiatan ekstrakurikuker dll, yang tidak ada hubungannya dengan pertanyaan.
Pertanyaan pengembangan dokumen Kurikulum yang seharusnya menjadi dokumen awal bagi sekolah/madrasah dalam pengembang perangkat pembelajaran malah ada diurutan setelah masalah RPP. Jika dilihat urusan itu keliahatan pola berfikir dari yang teknis menuju Ke konseptual.
Begitu juga pertanyaan pada instrumen akreditasi baik SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA dan SMK terdapat banyak pertanyaan berulang-ulang dan tidak fokus pada pertanyaan untuk mengukur secara utuh dan mendalam pada setiap standar. Banyak dokumen yang harus dipersiapkan Ganda oleh sekolah/madrasah karena mengikuti instrumen akreditasi tersebut.
Dengan sulitnya memahami instrumen akreditasi itu, bagi satuan pendidkan mengalami kesulitan tidak bertepi ketika harus mengikutinya agar dapat nilai yang di inginkan. Semua sekolah/madrasah yang akan divisitasi sudah tentu akan dibimbing khusus agar mendapat nilai terbaik, kenyataannya hasil nilai akreditasi yang sudah keluar tidak mencerminkan hasil dari pendampingan persiapan akreditasi oleh pengawas. Bila asesor yang memvisitasi sekolah/madrasah dan pengawas yang juga seorang asesor yang mendampingi sekolah/madrasah untuk persiapan dokumen akreditasi, tentunya sekolah/madrasah akan mendapat nilai yang baik.
Kenyataannya sekolah/madrasah yang mendapat nilai A atau unggul juga sangat sedikit sekali, itupun nilia yang didapat paling tinggi ada dapat nilai 94 yang didominasi oleh sekolah negeri. Jika seperti ini, apa masalahnya bagi sekolah yang sudah dapat pembimbingan dan pembinaan dari pengawas sekolah/madrasah?
Apakah pemahaman asesor pada instrumen akreditasi sekolah/madrasah antara asesor satu dengan yang lain berbeda? Sehingga dalam pemberian mjlai setiap komponen pertanyaan menimbulkan persepsi berbeda antara satu dengan lainnya.
Sekolah/madrasah ketika menerima pendampingan sudah merasa percaya diri dan tentunya mendapat nilai terbaik dalam pencapaian 8 standar nasional pendidkan.
BERSAMBUNG
Leave a Reply