MALANGKOTA (SurabayaPost.id) – Rapat Paripurna, DPRD Kota Malang soroti anggaran belanja pegawai yang mengalami kenaikan hingga Rp 140 miliar pada tahun 2025. Hal itu dipicu kebijakan pengangkatan tenaga honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang dinilai memerlukan pemetaan lebih cermat agar tidak membebani APBD.
Ketua DPRD Kota Malang, Amithya Ratnanggani Sirraduhita mendesak Pemkot merancang alokasi anggaran yang lebih efisien, guna menghindari potensi Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) yang tinggi di kemudian hari.
“Besar harapan kami, Pemkot Malang melakukan pemetaan lebih detail, lebih jeli lagi. Kira-kira seperti apa proyeksi kepegawaian di tahun-tahun berikutnya, karena belanja pegawai ini gak bisa segampang itu dialihkan sehingga jangan sampai di kemudian hari SiLPAnya lebih besar,” ujar perempuan yang akrab dengan sapaan Mia ini, Senin (28/10/2024).
Menurut Mia, DPRD Kota Malang juga akan mendorong Pemkot agar lebih responsif dalam mengimbangi kebijakan pusat. Terkait pengangkatan honorer sebagai PPPK, khususnya dalam konteks anggaran daerah.
“Memang dari pusat ada aturan untuk menjadikan honorer sebagai PPPK. Tapi kan paling tidak bisa diimbangi, dengan hal-hal yang bisa dilakukan di tingkat daerah. Di 2025 nanti anggaran untuk belanja pegawai sudah ada proyeksinya, harusnya bisa 30 persen dari APBD,” tambahnya.
Sementara itu, Pj Wali Kota Malang, Iwan Kurniawan menjelaskan pada tahun 2025 belanja pegawai memang diproyeksi mengalami kenaikan dari Rp 992,2 miliar menjadi Rp 1,132 triliun, atau bertambah sekitar Rp 140 miliar.
Iwan mengakui kenaikan tersebut didominasi oleh anggaran untuk tenaga guru honorer, yang kini diangkat menjadi PPPK.
“Prinsipnya, belanja pegawai yang kontribusinya sangat tinggi adalah kaitannya dengan guru, honorer, pengangkatan PPPK. Saya akan jelaskan lebih komplit lagi, saat paripurna penjelasan besok,” terangnya.
Diketahui, dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), diatur pembatasan proporsi belanja pegawai yang maksimal ditetapkan sebesar 30 persen dari total belanja APBD.
Dalam hal ini, Iwan menyampaikan pihaknya telah berupaya meminimalisir anggaran di pos tersebut, namun kebijakan pusat mengenai pengangkatan tenaga honorer menjadi PPPK, memberikan dampak signifikan terhadap belanja pegawai.
“Kemudian keterbukaan ketersediaan lapangan kerja, penguatan di dalam pendidikan, ini juga jadi konsen kita. Sehingga kami gak bisa mencapai apa yang diharapkan terkait 30:70 untuk belanja dan pembangunan,” tandasnya. (**)