Oleh Farhat Abbas
Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)
Belakangan ini muncul wacana “masa jabatan presiden tiga periode”. Berarti, diperpanjang satu periode setelah berakhir dua periode memerintah, batas maksimak masa jabatan presiden RI sesuai konstitusi kita. Perpanjangan masa jabatan tiga periode secara bertutut-turut itu tampak dilantunkan by design and by order, atau letupan “liar”. Suara ini mengundang reaksi pro-kontra. Tentu, sikap pro-kontra itu terdapat argumentasi. Dan kedua argumentasi perlu kita review dengan jernih dan disikapi secara tidak a propri.
Tentu, kita sangat bisa memahami barisan pendukung yang menghendaki perpanjangan masa jabatan presiden itu. Jika kita cermati secara khusus, landasannya sangat sentimen emosional. Bahwa ada sejumlah program berjalan tak bisa dipungkiri. Tapi, ketika aktualisasi programnya tidak tuntas dan sangat parsial, maka tidaklah berlebihan ketika publik menilai bahawa kebijakannya lebih mengarah pada pencitraan samata. Karenanya, dukungan terhadap gagasan perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode lebih dikarenakan pertimbangan kedekatan selaku inner circle. Sangat pragmatis kalkulasinya. Agar, dirinya akan tetap menikmati sejumlah fasilitas yang selama ini tergenggam. Relatif jauh dari kalkulasi obyektif-rasional atas nama kinerja terbaiknya selama memimpin negeri ini. Sebuah renungan, apakah kalkulasi irasional-subyektif itu harus dipaksakan?
Sebagai warga negara yang sama-sama berhak punya kepentingan, barisan pendukung pro perpanjangan tiga periode juga tak bisa disalahkan. Namun, barisan ini harus berhadapan dengan konstitusi, yang – secara eksplisitf – menegaskan bahwa masa jabatan presiden dan wakil presiden hanya dua kali periode (Pasal 7 UUD NRI 1945, amandemen ketiga, 2001).
Ketentuan konstitusi itu – jika tetap memaksakan tiga periode – maka harus dilakukan amandemen. Pintu masuknya memang tersedia: Pasal 37 UUD NRI 1945. Ini berarti, terdapat proses politik di parlemen (MPR RI). Sebuah renungan, apakah Pasal 37 UUD NRI 1945 akan didayagunakan untuk kepentingan kalangan tertentu yang sangat pragmatis itu? Jawabnya bukan tak mungkin. Jika keinginan perpanjangan tiga periode demikian kuat, maka ada dua medan yang dimainkan. Pertama, menggarap sembilan pimpinan partai politik yang lolos ke parlemen pada pemilu 2019 lalu. Garapannya tak lepas dari al-fulus. Pertanyaaannya, apakah semua partai politik bisa disogok? Belum tentu. Sebagian – karena pertimbangan nasionalisme atau kepentingan pribadi atau kelompoknya – lebih cenderung menolak politik uang yang siap diguyurkan oleh Tim Khusus penggalangan perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode.
Kini, kita berasumsi hanya PDIP yang menolak gerakan politik perpanjangan tiga periode itu. Andai hanya delapan partai dan masing-masing diguyur trilyunan rupiah yang sangat fantastik, kiranya sulit dijamin akan ada penolakan parpol-parpol. Masing-masing pimpinan parpol pun akan berfikir pragmatis: kapan lagi menerima dana sebesar itu. Jika para pimpinan parpol tunduk pada permain politik uang, maka parlemen (MPR) sudah bisa dikuasai. Dengan mengantongi 447 kursi versus 128 kursi MPR dari unsur DPR RI, maka gagasan perpanjangan tiga periode untuk masa jabatan presiden sudah aman. Akan lebih aman lagi jika di antara 136 anggota DPD RI – katakanlah 30% saja, yakni 41 anggota mendukung – maka suara 488 anggota MPR RI sudah menjadi modal politik yang siap menggolkan agenda amandemen kelima yang berfokus pada perpanjangan masa jabatan presiden RI itu.
Namun demikian – sebagai kemungkinan kedua – andai seluruh pimpinan parpol dan jajaran DPD RI menolak, maka gerakannya beralih ke parlemen (ruang MPR RI). Jika masing-masing arena MPR RI digarap serius dengan money politics dengan masing-masing anggota terguyur juga beberapa trilyun rupiah, maka seluruh anggota MPR yang berjumlah 583 orang (minus 128 anggota dari F-PDIP), maka total dana yang tak berseri itu tak akanlebih dari seribu trilyun rupiah. Angka ini – bagi barisan pro perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi, terutama dari unsur eksternal (negeri Tirai Bambu) dan internal Indonesia (Sembilan Naga) – dinilai terlalu kecil.
Pertimbangannya, mempertahankan Jokowi sama artinya mempertahankan bahkan memperluas kepentingan ekonomi strategis di negeri ini. Tidak hanya geoekonomi, tapi juga geopolitik yang sangat menguntungkan. Dan itu jauh lebih besar feed-backnya dibanding angka seribu trilyun lebih itu. Karena itu, gagasan perpanjangan masa jebatan tiga periode yang arahnya spesial untuk Jokowi bukanlah dagelan politik atau siapan jempol. Meski Jokowi menolak, tapi body lengguagenya tetap bisa dibaca. Publik pun tahu persis gaya gerak tubuh Jokowi itu.
Yang perlu kita catat serius, bagaimana dampak pemaksaan perpanjangan masa jabatan presiden, meski hanya menambah satu kali periode? Berkaca pada catatan sejarah masa Orde Baru, titik decline pemerintahan saat itu jelas: akibat beberapa periode masa jabatannya. Zaman Orde Baru, ada rasio politik pembangunan yang relatif melegitimasi perpanjangan masa jabatan Pak Harto. Yaitu, rencana pembangunan lima tahunan (REPELITA). Tapi, sejarah mencatat, kekusaan yang berlama-lama cenderung korup. Mengutip pemikiran politik Lord Acton, “… Absolutely power tends to corrupt”. Kekuasaan yang berlama-lama yang menjadikan kekuasaannya absolut, tak akan bisa hindari tindakan koruptif. Bisa diterjemahkan korupsi secara material (ekonomi). Bisa juga diterjemahkan mengkorup hak-hak politik warga negara lainnya. Kekuasaan yang berlama-lama jelas merampas hak politik orang lain, minimal, memasung hak politik para anak-bangsa yang punya kemampuan memimpin negeri ini.
Catatan historis bicara. Kekuasaan yang korup itu akhirnya bukan hanya jatuh, tapi merusak berbagai sistem kehidupan bernegara, termasuk budaya. Lalu, apakah catatan empirik masa Orde Baru itu harus terulang? Ular pun tak akan bisa menggigit pada lubang yang sama. Maka, negeri ini tak selayaknya terjadi kembali peristiwa pahit itu. Karena itu, gagasan atau keinginan memperpanjang kekuasaan tiga periode perlu dicounter dengan memori catatan perjalanan masa Orde Baru yang berakhir tragis bagi sang pemimpin, di samping bagi anak-bangsa.
Mengacu pada catatan empirik itu pula, maka suara kontrarian tidak bisa menerima gagasan liar yang menghendaki perpanjangan masa jabatan presiden saat ini. Dalam kalkulasi jangka pendek, perpanjangan kekuasaan Presiden Joko Widodo hanya akan mengantarkan kondisi negara lebih hancur. Tatanan ekonomi bukan melejit sampai 7% seperti yang dijanjikan saat kampanye, di samping 65 janji lainnya yang tidak terpenuhi. Fakta bicara, pertumbuhan ekonomi semasa pemerintahannya – sejak 2014 – masing-masing tercatat: 4,79% (2015), melambat dari setahun sebelumnya, yakni 5,02%. Pertunbuhan pada 2016 mencapai 5,02% (2016), Pada 2017 naik sedikit: menjadi 5,07%. Pada 2018 sebesar 5,17%. Dan akhir kekuasaan Jokowi (2019), pertumbuhan ekonominya turun: menjadi 5,02%. Dan setahun pertama dari periode kedua pemerintahan Jokowi, yakni 2020, terjun bebas: pertumbuhan – 2,19. Bisa dipahami kontraksi pertumbuhan ini. Proyeksinya 2021 – mengutip catatan ekonom Rizal Ramli – tingkat pertumbuhannya hanya kisaran 2% dari setahun lalu. Berarti, pertumbuhan ekonominya dalam posisi -0,19%. Tapi, dengan PPKM Darutat dan jika terjadi lebih lama lagi, maka pertumbuhan semakin negatif.
Capaian pertumbuhan ekonomi tersebut – menurut rilis Bank Dunia per 1 Juli lalu – menjadikan Indonesia turun peringkatnya: dari negara menengah atas menjadi menengah bawah. Secara spesifik, Bank Dunia mencatat bahwa penurunan tingkat itu juga didasarkan tingkat GNP perkapita yang turun, dari AS$ 4.050 (2019), menjadi AS$ 3.870. Menimbulkan pertanyaan mendasar, bagaimana mungkin, dengan capaian ekonomi yang terkategori rendah bisa meningkatkan distribusi kesejahteraan?
Di sisi lain, ketidakmampuan capaian pertubuhan ekonomi – akibat ambisi pembangunan fisik – posisi utang luar negeri (ULN) terus meningkat. Per Februari 2021 sudah mencapai US$ 422,6 milyar atau sekitar Rp 6.169,96 trilyun. Akibat PPKM Darurat dan jika harus utang lagi, maka posisi ULN berpotensi menembus angka di atas Rp 7.000 trilyun. Trennya meningkat. Sejalan dengan pandemi covid-19 dan kini diberlakukan PPKM Darurat, ULN Indonesia berpotensi menaik lagi cukup signifikan.
Potensi kenaikan ULN sejalan dengan konsekeunsi pemenuhan kebutuhan pangan dan kebutuhan sehari-hari untuk 115.242.970 jiwa bagi enam provinsi se Jawa-Bali sebagaimana yang diwajiban UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan, Pasal 7. Andai masing-masing dialokasikan anggaran Rp 100 per jiwa dikalikan 18 hari efektif PPKM Darurat, maka terhitung angka Rp 204,7 trilyun. Ketika berkaca pada catatan pemberlakuan PSBB yang diperpanjang beberapa kali, maka PPKM Darurat ini pun berpotensi masa perpanjangan bisa lima kali. Jika itu terjadi, maka kewajiban negara untuk mangalokasikan anggaran Rp 1.023 trilyun. Asumsi perpanjangan masa PPKM tak lepas dari inkosistensi kebijakan. Se-Jawa-Bali berlaku ketat. Sementara, dalam masa bersamaan, terjadi arus datang tenaga kerja asing (TKA) China yang berpotensi menerbarkan covid-19 yang sudah berkembang variannya. Mutasinya melalui udara.
Sisi lain, terdapat sejumlah kebijakan Jokowi yang – relatively – tidak bikin anak-bangsa ini happy. Banyak skenario pembenturan, karena perbedaan keyakinan ataupun afiliasi politik. Sehingga panorama kriminalisasi, persekusi dan praktik diskriminasi sering dipertontonkan. Semua ini menambah ketidakkohesifan hubungan antarwarga negara. Format politik terkesan kuat dibangun dalam bingkai devide et empera, atau politik belah-bambu. Hal ini jelaslah kian mengaburkan spirit kebersatuan yang digariskan Pancasila (sila ketiga).
Catatan minus kinerja pemerintahan Jokowi akan semakin menampak jika kita urai lebih jauh sejumlah data kemiskinan (saat ini mencapai 27,55 orang), penurunan indeks pembangunan manusia (IPM) yang kini pada posisi 71,94 dan indeks demokrasi kita – menurut catatan The Economist Intelligent Unit (EIU) – Indonesia berskor 6,48. Terkategori skor rendah. Dan skor ini diakibatkan brutalisme penindakan aparat keamanan terhadap rakyat yang mengekspresikan perbedaan pendapat. Sementara, skor tertinggi 9,81, diraih Norwegia.
Akhirnya, kita bisa mencatat secara dini, bahwa pemerintahan saat ini gagal mewujudkan janji politiknya. Karena itu, andaikan perpanjangan masa jabatan tiga periode dipaksakan, tekad ini hanya akan menggerakkan berbagai elemen berseberangan secara ekspresif. Berujung pada kondisi negeri semakin tenggelam dalam ranah konflik horisontal, bahkan vertikal. Dalam tatarain elitis, barisan seperti dari PDIP akan menyingsingkan lengan perlawanan. Boleh jadi, berdarah-darah. Meski landasannya pragmatis – yakni pertimbangan kepentingan mengantarkan puteri mahkotanya (Puan Maharani sebagai next generation bagi keluarga trah Soekarno) – tapi sikap politik PDIP ini akan bersatu dengan kelompok lainnya, meski selama ini berseberangan. Titik temu kepentingan – sekali lagi meski beda kepentingan politiknya – akan menjadi kekuatan strategis saat menghadapi gerakan sistimatis yang memaksakan kehendak perpanjangan masa jabatan tiga periode bagi sang presiden.
Sebagai keluarga besar Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI) menilai bahwa pemaksaan masa jabatan presiden tiga periode sangat serius implikasinya. Yaitu, perpanjangan masa jabatan yang digemakan sebagai upaya memaksimalkan capaian pembangunan justru berujung pada perang saudara. Negeri ini – di depan mata – bisa jadi akan berpuing-puing. Rakyat pun dibikin kian sengsara. Sudah cukup kesengsaraan itu. Karena itu sebaiknya tak perlu membuka peluang Pasal 37 UUD NRI 1945 sebagai pintu masuk amandemen Pasal 7 yang bertujuan sempit: perpanjangan masa jabatan presiden. Jika dipaksaksan dibuka gerakan politik yang sangat pragmatis itu, haruslah muncul kemauan politik orang-orang di parlemen yang heroik. Atas nama nasionalisme dan negeri ini tak boleh tergadaikan, atau negeri ini harus tetap berdaulat, maka seluruh anggota MPR nyatakan tegas: stop amandemen Pasal 7 konstitusi kita. Karenanya, tidaklah berlebihan ketika PANDAI dan seluruh elemen bangsa ini yang mencintai negeri ini menitip pesan politik kepada seluruh anggota dan pimpinan MPR saat ini, “Jangan kemasukan angin duduk yang bisa bikin stroke. Bisa fatal total akibatnya. Demi eksistensi sebuah negara dan bangsa ini. Inilah legascy indah politik MPR RI yang akan dikenang sepanjang sejarah Indonesia”.
Jakarta, 12 Juli 202
Leave a Reply