Oleh: _*Yunanto*_
Mustahil jurnalis berkualitas rendah mampu memproduksi karya jurnalistik bermutu tinggi. Konklusi tersebut tersirat di empat paragraf dalam mukadimah Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Diawali dengan terminologi kemerdekaan. Mukadimah KEJ dibuka dengan tiga macam kemerdekaan. Rincinya, (1) kemerdekaan berpendapat, (2) kemerdekaan berekspresi, (3) kemerdekaan pers.
Tiga macam kemerdekaan tersebut dilindungi idiologi negara (Pancasila) dan konstitusi (UUD 1945). Bahkan dilindungi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Itulah pasalnya KEJ menegaskan kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi.
Paragraf ketiga dan keempat dalam mukadimah KEJ mewajibkan jurnalis profesional. Landasan profesionalisme dimaksud adalah KEJ. Logis, sebab tanpa profesionalisme mustahil jurnalis mampu memenuhi hak publik memperoleh informasi.
Pertanyaan besar, kembali ke teras artikel ini. Dalam memenuhi hak publik memperoleh informasi, mungkinkah jurnalis berkualitas rendah mampu memproduksi karya jurnalistik bermutu baik? Satu kata jawaban, “Mustahil.”
*Bahasa Jurnalistik*
Setiap hari saya melahap informasi dalam bentuk berita (straight news/spot news) yang dirilis berbagai media siber. Informasi dimaksud mayoritas saya akses melalui beberapa grup WhatsApp.
Saya cermati tiap warta yang dirilis dengan menggunakan tiga kacamata analisis sebagai parameternya. Rincinya, (1) kualitas bahasa jurnalistiknya, (2) tinggi-rendah daya mampu _”melek”_ hukum terkait dengan isi berita, (3) tinggi-rendah daya mampu menentukan kelayakan publikasi terkait dengan pembobotan nilai berita.
Jujur saja saya tuliskan, titik terlemah (terburuk) masih terletak di mutu bahasa jurnalistik. Entah, apa faktor penyebabnya. Kaidah berbahasa jurnalistik bukan hanya diabaikan, tapi dicampakkan, dinistakan!
Sangat memprihatinkan menyimak karya jurnalistik yang tidak mengindahkan kaidah berbahasa jurnalistik. Sulit saya terima karya jurnalistik berbahasa pidato pejabat, berbahasa humas, dan berbahasa _pasaran_.
Kasihan publik (khalayak komunikan media siber), jika tidak mendapatkan informasi dalam bentuk karya jurnalistik bermutu baik. Saya kerap menjerit, dalam hati, “Janganlah memaksakan diri menjadi jurnalis, jika merasa tidak mampu. Kecuali punya tekad membara meningkatkan kemampuan dengan cara belajar dan terus belajar.”
Masih amat mencolok. Kaidah berbahasa jurnalistik singkat, lugas, logis dan taat asas kata baku dicampakkan. Judul berita panjang menyerupai teras berita, karena lebih dari 15 kata. Kalimat pun panjang-panjang, lebih dari 20 kata per kalimat. Menyaingi kalimat panjang kampanye politisi. Jelas sulit dicerna maknanya. Tentu sangat tidak enak dibaca. Aneh sekaligus “lucu”. Ampun!
*KEJ dan UU ITE*
Masih ingat “kasus” 27 media siber papan atas melakukan “khilaf berjamaah”? Akhirnya setelah Dewan Pers turun tangan, 27 media siber itu pun “berjamaah minta maaf”. Bila tidak, mungkin saja bermuara ke UU RI No. 11/ Tahun 2008 yang telah diubah dengan UU RI No. 19/ Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Hal tersebut bisa dipahami, sebab media siber “dipagari” UU ITE. Litigasinya “berpondasi” UU RI No. 8/ Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Lazim disebut Hukum Acara Pidana.
Permintaan maaf puluhan media siber itu merupakan implementasi dari amanat Pasal 10 KEJ. Selengkapnya, “Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar dan/atau pemirsa.”
Menjadi jelaslah korelasi antara bahasa jurnalistik dengan KEJ dan UU ITE dalam kontek memproduksi karya jurnalistik berkualitas baik. Terlebih bila dikaitkan dengan “keamanan” jurnalis dan institusi medianya.
Konkretnya, bila tidak cerdas berbahasa jurnalistik secara baik dan benar, maka rentan dan berpotensi terpeleset (melanggar) KEJ. Selanjutnya, terpeleset KEJ rentan dan berpotensi tersandung (melanggar dan terjerat) UU ITE.
Tak pelak lagi, menjadi sangat penting bagi jurnalis media siber untuk memahami korelasi pasal demi pasal di KEJ dengan pasal-pasal di UU ITE. Sebutlah contoh, jurnalis melanggar Pasal 3 KEJ (berita tidak seimbang, tanpa check and recheck, melanggar asas praduga tidak bersalah dan menghakimi).
Pihak yang terkait dengan pemberitaan tersebut merasa nama baiknya dicemarkan. Ia (prinsipal) melapor ke aparat penegak hukum. Delik pencemaran nama baik melalui pemberitaan di media siber, itu masuk ranah Pasal 27, ayat (3), UU ITE. Ancaman pidananya diatur dalam Pasal 45, ayat (3), UU ITE, berupa pidana penjara paling lama empat tahun dan/atau denda maksimal Rp 750 juta.
Rasional bila jurnalis menaati Pasal 5 KEJ (fulgar mewartakan identitas korban kejahatan asusila berikut kisah detilnya). Pasalnya, agar tidak terpeleset Pasal 27, ayat (1), UU ITE. Sanksi pidananya paling lama enam tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp 1 miliar, diatur dalam Pasal 45, ayat (1), UU ITE.
Bila tidak cermat, jurnalis media siber bisa pula terperosok pada publikasi berita bohong (Pasal 4, KEJ). Penyebar berita bohong masuk ke ranah UU ITE, diatur dalam Pasal 28, ayat (1). Sanksi pidananya diatur dalam Pasal 45A, (ayat 1), berupa penjara paling lama enam tahun dan/atau denda maksimal Rp 1 miliar.
Jurnalis media siber juga wajib memedomani Pasal 8 KEJ. Jangan sampai terpeleset mewartakan permusuhan individu atau kelompok berdasarkan suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA). Berpotensi masuk ranah UU ITE, diatur dalam Pasal 28, ayat (2). Sanksinya diatur dalam Pasal 45A, ayat (2), berupa pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
Jelas sudah, jurnalis media siber tidak patut “serampangan” (gegabah) dalam berkarya. Ia wajib cerdas berbahasa jurnalistik, taat pada Kode Etik Jurnalistik dan cermat memahami UU ITE. (☆)
#Yunanto adalah wartawan senior
Leave a Reply