Budaya yang penuh santun, halus dan mengupayakan tidak menyinggung perasaan sesama, tampak tercermin pada pergaulan sehari-hari masyarakat Jawa.
Karenanya dalam bertindak “bersola bawa”, lantas interaksi senantiasa menjaga kelangsungan pertemanan. Budaya ini rupanya telah dibina sejak turun temurun dari nenek moyang. Dalam memecahkan persoalanpun melalui pendekatan musyawarah, masih dikedepankan. Apalagi bersinggungan dengan sebuah karya seni. Ambil contoh kita simak syair-syair dalam langgam dan keroncong senantiasa kita temui bahasa kias, anonim, sanepo. Misal langgam Sarung Jagung ciptaan Ki Narto Sabdo.
. . . . .
Sarung Jagung.
“Sarung jagung.
Abote kebacut trisna.
Tak rewangi, korban jiwa raga.
Mlaku adoh tan ngresula.
Watone sesandingan.”
Coba perhatikan judul lagu Sarung Jagung, dalam bahasa Jawa “sarung jagung” diartikan kulit jagung. Kulit jagung namanya dalam bahasa Jawa “klobot”, kemudian diambil dari kata “bot”. Berarti “bot-bote”, kemudian ditangkap maknanya menjadi “abot” berat. Konstelasi syair ini bila dicermati secara konstekstual, bermakna beratnya keingingan bersanding dengan kekasih.
. . . . . .
Melaku adoh tan ngresula, abot enteng dilakoni.
Berat dan ringan dijalani. Diibaratkan berjalan jauh serasa tak berat.
Syair ini betapa halusnya Ki Narto Sabdo dalam menempatkan bair tersebut. Sehingga walaupun syair ini diterapkan dengan kenyataan dalam realitas sehari-hari memang sangat berat, “melaku adoh tan ngresulo”, bermakna demi kekasih yang dicintai, tidak akan merasa berat.
Bahasa kias sangat tampak dan kental dalam budaya Jawa, terutama bisa dilihat dari karya seni tulis Jawa.
. . . . .
Wuyung.
Kelapa mudha.
Leganono nggonku nandang branta.
Lagu langgam “Wuyung”, ini menggambarkan seorang yang di mabuk asmara dan minta kesembuhan, obat dalam nandang branta tersebut. Dalam syair ini ditemui kias, anonim, sanepo, dengan memakai kata “klapa mudha” berarti kelapa muda, yang dalam bahasa Jawa disebut “degan”, kemudian bergeser menjadi “legan-leganono”, dalam bahasa Indonesia bermakna relakan. Dan mari kita simak bait berikutnya:
. . . .
Witing pari, dimen mari nggonku lara ati.
Witing pari, dalam bahasa Indonesia berarti batang padi, dan disebut dalam bahasa Jawa “damen”, bergeser menjadi “dimen”, berarti agar atau supaya. Dan bila diartikan secara lugas kalimat Jawa tersebut bermakna agar sembuh dari sakit hati. Bisa berarti diriku atau dirinya yang sedang mabuk cinta. Dan disusul syair berikut ini:
. . . .
Mbok mbalung janur. Paring usada nggonku
nandang wuyung.
Balung Janur bermakna batangnya janur, itu namanya “sada”, kemudian bergeser menjadi “usada”, bermakna kesembuhan, kiasan syair tersebut tidak lepas dari budaya Jawa yang mengedepankan sindiran, sanepo, kias. Kenapa demikian? Sebab interaksi sehari-hari pergaulan masyarakat Jawa terutama warga pinggiran pedesaan masih kental dengan kehalusan bertutur sapa. Apalagi bila menyangkut bahasa yang kiranya bisa menimbulkan ketersinggungan sesama. Dan itu senatiasa dijaga demi keharmonisan pergaulan sehari-hari.
Ada banyak dijumpai syair Jawa yang kental dengan kias, anonim, sanepo. Pun juga pergaulan Suroboyoan (Surabaya). Walau terkesan terbuka, acapkali kita jumpai masyarakat Jawa Timur juga masih menggunakan kias. Ini bisa dijumpai dalam kidungan ludruk. Misal kidungan Cak Kartolo, Cak Supali atau Cak Agus Kuprit dan tokoh ludruk lainnya.
. . . .
Bayem erine, ketan pulukane.
Ayem atine, ketemu areke.
Bermakna sindiran dengan kias, yang menggambarkan tenteram hatinya, karena ketemu kekasih. Atau juga telinga penulis sering mendengar sapaan dimulai dengan janur gunung datang, bermain, atau tak kebiasaan dari seorang rekan, teman yang melakukan sesuatu di luar kebiasaan. Janur gunung itu dimaksudkan aren (sejenis kelapa yang tumbuh di pegunungan. Kelapa gunung dinamakan aren). Sebab pohon kelapa biasanya tumbuh dan subur di daerah pesisir, tetapi aren tumbuh subur di pegunungan. Maka sebutan aren dikiaskan dengan janur gunung. “Janur Gunung”, berarti aren, bergeser menjadi kadingaren. Kadingaren (Jawa Tengah), Dungaren dalam Suroboyoan (Surabaya, sekitar) bermakna di luar kebiasaan.
Bahasa kias tidak lepas dari interaksi pergaulan keseharian masyarakat pengguna bahasa. Masyarakat Jawa yang penuh toleransi dan “ewuh-pakewuh” penuh dengan bahasa perasaan, tak lepas dari tata bahasa Jawa juga terdapat trap-trapan (susunan). Karenanya dalam bersyairpun kita jumpai bahasa yang mengedepankan kehalusan, sopan santun. Itulah budaya adi luhung.
Ambil contoh lagu keroncong yang dengan judul Jenang Gulo. Syair lagu menggambarkan ingkarnya janji asmara.
. . . .
Jenang Gulo.
“Jenang gulo, kowe ojo lali marang aku iki.
Nalikone, nandang susah sopo sing ngancani.”
Jenang gula dalam bahasa Jawa berarti gelali, dipetik belakangnya menjadi “lali,” dan bermakna lupa. Maka syair tersebut menjadi “ojo lali marang aku iki”.
Diartikan secara luas, jangan lupa sama diriku, sebab ketika mengalami derita siapa yang menemani. Di sini syair Jawa dalam irama langgam, maupun gending, keroncong bahkan dalam syair-syair yang lain tidak jarang dijumpai kias, sanepa. Misal lagi menggambarkan seorang yang jujur, lurus dengan “witing kelapa” namanya glugu, menjadi lugu. Artinya, jujur, lugas, lurus.
Ki Narto Sabdo, pujangga gending Jawa dengan jeli meneropong bahwa karya seni, baik sastra (tulis), musik, drama dan seni lainnya tidak lepas dari apa yang dilihat, dialami, dan dirasakan oleh sang pencipta karya seni tersebut. Baik lewat pengalaman empiris diri sendiri maupun dari interaksi dengan sesama. Kesemuanya bergumul menjadi satu dan tertuanglah karya cipta seni. Karenanya sebuah karya seni. Khususnya karya seni sastra dalam bentuk syair, rupanya juga tak jauh dari pengalaman empirik tersebut.
Khususnya mengenai syair Jawa (langgam, keroncong) bila dicermati serta dianalisa senantiasa ditemui antagonis, antara bait yang satu dengan bait lainnya. Misalnya saja syair yang mengilustrasikan tentang asmara, biasanya bait pertama menggambarkan kesetiaan seorang kekasih akan janji seia-sekata, janji sehidup semati, demi asmara. Akan tetapi di bait berikutnya ditemui gambaran keingkaran janji, kedustaan seorang kekasih. Seperti lagu di bawah ini.
. . . .
Bengawan Sore
Ning pinggiring bengawan.
Tansah setya ngenteni sliramu.
Eling-eling jamane semana.
Wus dungkap pitung ketiga.
Kalimat di atas menggambarkan kesetiaan seorang kekasih akan kenangan tatkala bercinta memadu kasih di pinggir bengawan. Namun ketika perjalanan waktu, riak, rintangan, menghadang dan tak kesampaian kisah cinta sepasang sejoli yang pernah janji sehidup semati tersebut. Putus tali cinta.
Bait berikut, coba simak:
. . . .
Bangawan Sore.
Ning pinggiring bengawan.
Saben-saben mung tansah kelingan.
Wus prasetyo ing janji kang suci.
Ing lahir terusing ati.
Ungkapan saben-saben, ini menggambarkan setiap saat sang kekasih hanya bisa mengenang keindahan, kesyahduan dan segala impian jiwa remaja dalam bercinta kasih. Dan diakhiri dengan pasrah pada Yang Maha Kuasa.
Simak syair pasrah pada Tuhan di bawah ini:
. . . .
Senadyan kaya ngapa. Manungsa mung bisa ngreka lan njangka.
Gusti kang paring idi lan pasti.
Kito sak dermo nglampahi.
Dalam konflik rumah tangga pun tak lepas dari bidikan syair Jawa.
Misalnya lagu Kena Godha yang dalam bahasa Indonesia berarti terkena gangguan. Nuansa lagu Kena Godha ini menceritakan seorang istri yang dikhianati suami. Sang suami pamit berangkat untuk tugas tanggung jawab pada negara (bisa juga tugas dari kantor). Yang jelas pandangan istri bahwa sang suami adalah sosok seorang bapak rumah tangga penuh dedikasi baik pada rumah tangga maupun pada tugas-tugas kerja. Simak syair pembuka:
. . . .
Kena Godha.
Nalikane dek jaman semono.
Tresnamu setya lan tuhu.
Anane mung tansah ngalembana.
Prasasat ora nate cidra.
Syair ini tampak jelas betapa tulus dan jujur perjalanan dua makluk berlainan jenis yang sedang menjalin asmara. Kemudian diimbangi dengan mantap syair berikut:
. . . .
Mula aku tansah angimbangi.
Trisnaku ginawa mati.
Kemudian berubah drastis bagai arah jarum berputar mundur. Seolah digambarkan dari terang benderang penuh harapan tiba-tiba gelap gulita karena mengetahui realita perselingkuhan sang suami di rantau orang. Simak syair berikut:
. . . .
Peteng dedet rasaning atiku.
Bareng keprungu khabarmu.
Nyatane sing kundur mung layangmu.
Ora ngira kena godha.
Syair penutup ini bila disimak sangat antogonis dengan syair pembuka. Nuansa lagu Kena Gudha ini acap kali terjadi secara realita di tengah kehidupan masyarakat sehari-hari.
Di bawah ini akan diulas tentang ingkarnya seorang pejuang kemerdekaan pada warga desa yang ketika sengsara, pejuang tersebut senantiasa dibantu baik moril maupun material oleh warga desa.
Lagu Caping Gunung yang ditulis oleh Ki Gesang dan banyak dilantunkan oleh Nyi Waljinah, Nyi Sunyahni dan banyak penyanyi lainnya lagi.
Caping Gunung
Dek jaman berjuang njur kelingan anak lanang
Biyen tak openi, ning saiki ono ngendi.
……….
Jarene wis menang, keturutan sing digadhang
Biyen nate janji ning saiki opo lali
Bait-bait syair ini tampak sekali betapa harapan sang ibu (warga desa) menanti janji para pejuang. Janji dalam syair ini tampak bila menang (merdeka) dan perang usai akan mengingat kembali jejak perjuangan hingga sampai di gunung (desa). Dan betapa harapan sang bunda (warga desa) sebagai induk tempat pejuang tersebut berlindung dari kelaparan yang digambarkan dengan syair:
Tak cadongi sega jagung
Yen mendung tak silihi caping gunung
Syair kedua tersebut bisa bermakna luas. Mungkin memang dalam arti sesungguhnya caping tersebut sebagai penadah air hujan. Namun bila dimaknai lebih jauh bisa berarti sebagai situasi gawat (mendung) dari intian musuh, dan warga desa melindungi (digambarkan dengan caping gunung).
Harapan kembalinya sang pejuang sangat dinanti untuk kepentingan ini agar bisa membandingkan lingkungan desa dalam era perjuangan dengan era kemerdekaan. Simak harapan sang ibu dalam syair:
…………..
Syukur bisa nyawang, gunung desa dadi rejo.
…………….
Syair ini penuh harapan mengingatkan kembali perjuangan mereka dalam merebut kemerdekaan. Yang dulu suasana ketakutan sebab perang, kini di alam kemerdekaan sudah berubah menjadi ramai (rejo). Baik situasi desa maupun dalam kesejahteraan warganya. Perubahan situasi inilah yang harus ditengok oleh sang pejuang. Jangan seperti pepatah habis manis sepah dibuang.
Lalu apa pesan sang ibu pada anak yang lupa akan janji. Lali opo nglali (lupa atau sengaja lupa), simak syair penutup:
……………
Dene ora ilang nggone podho lara lapa.
Syair ini mengingatkan agar di alam kemerdekaan, jangan lupa akan betapa sengsaranya, menahan lapar dan dahaka di era perjuangan. Syair ini berupa sindiran yang halus dan tetap dalam suasana antagonis. Cuma saja Ki Gesang dalam menempatkan konflik janji dan realita antara pejuang dengan warga desa sangat halus. Dan meloncat-loncat dari bait ke bait bahkan dari kalimat ke kalimat yang lain.
Fenomana di atas memang harus dikaji lebih dalam, dan penulis sering menjumpai antagonis syair Jawa dalam lagu langgam dan keroncong. Maka tidak terlalu naïf bila Ki Narto Sabdo, pernah mengatakan bahwa karya seni adalah anak kandung masyarakatnya.
Kemudian yang menjadi keprihatinan apabila kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari akan perilaku yang antagonis. Seperti lain di muka lain di hati.
Namun kitab yang berisi syair-syair Jawa untuk dilantunkan, tentunya diiringi gending, langgam, bahkan keroncong. Nyi Windarti, sinden kondang dari Semarang, Nyi Tomblok dari Bojonegoro, Nyi Waljinah, Nyi Sunyahni, Nyi Sumarni, Nyi Minul dan pesinden kondang yang lainnya senantiasa memegang kitab ini. Lagu-lagu dalam gending, kesemuanya tak lepas dipandu dari kitab Umbul Donga, yaitu kumpulan syair-syair Jawa. Kitab ini memuat syair-syair lagu Jawa yang kerap kali dilantunkan dengan gending, langgam, keroncong, macapat dan lantunan yang lainnya lagi.
Berbagai penulis gending seperti Ki Narto Sabdo, Ki Manteb Sudarsono, Ki Gesang, semuanya berjasa dalam memperkaya isi kitab tersebut. Muatan moral yang ditulis dalam beberapa syair bisa mengutarakan tentang watak kesatria. Misalnya, seorang perjaka yang memegang janji cinta prasetia kepada kekasihnya. Ini bisa disimak dari syair lagu yang berjudul Pamit Mulih, karya Gesang.
Isi lagu ini tentang kecintaan terhadap kekasih. Tentang cinta tanah air. Ini ada pada lagu yang berjudul Ibu Pertiwi, karya Ki Narto Sabdo. Tentang kekaguman terhadap nilai-nilai kepahlawanan, ada pada syair lagu Mahesa Jenar, Caping Gunung. Dan tentang tempat wisata, ada di syair lagu Perahu Layar, Tirtonadi. Bila mengenai perjuangan memupuk asmara, ada pada syair lagu Sarung Jagung.
Bentuk penuturan syair yang sarat akan pesan moral senantiasa banyak ditemui di kitab Umbul Donga. Penyampaian pesan selalu melalui tahapan. Tahapan problem, tahapan pemecahan jalan keluar dan tahapan akhir.
Misal syair lagu Pamit Mulih karya Ki Gesang, syair dalam lagu ini bernuansa menasehati sepasang sejoli yang diliputi asmara, namun dalam perjalanan waktu terjadi ketidak- cocokan akibat surutnya rasa cinta salah satu pihak. Ini syairnya :
. . . .
Pamit Mulih.
Ora sembada biyene, saben dina mung tansah methuki.
Tafsir bebasnya : Tiap hari selalu ditemui kekasih, namun pada ujungnya cintanya menjadi putus.
Bila persoalannya yang terjadi adalah demikian, maka tak jarang salah satu pihak yang diputus cintanya akan berupaya mengobati sakitnya hati. Dan apa nasihat lagu Luntur, karya Ki Gesang, simak syairnya :
. . . .
Luntur.
Ditambakno mrana-mrene, tiwas-tiwas dedowo larane.
Nanging tombo sejatine, ora liya mung awake dewe.
Arti bebasnya : Diobati kesana kemari malahan semakin parah sakitnya. Dan yang paling baik, ialah penyembuhan dari dirinya sendiri. Artinya, jalan keluarnya untuk problem yang seperti ini, tak lain hanya menentramkan hatinya sendiri. Ada lagi tentang peringatan akan lupa waktu. Kegembiraan ketika tamasya di salah satu tempat wisata, menikmati indahnya pantai atau hijaunya dedaunan pegunungan. Di tengah kegembiraan akan kemolekan panorama, terkadang kita lupa akan waktu. Maka dalam syair lagu Perahu Layar karya Ki Narto Sabdo, di bait penutup, diingatkan dengan syair :
. . . . .
Perahu Layar
Witing kelapa katon awe-awe.
Prayogane becik bali wae.
Dene sesuk esuk, tumandang nyambut gawe.
Arti bebasnya : Ketika dibuai kegembiraan tatkala berlibur di tempat wisata, maka seyogyanya ingat akan waktu. Sebab besuknya akan menjalankan pekerjaannya masing-masing. Yang berprofesi guru akan kembali mengajar, yang mahasiswa akan kuliah, yang siswa akan sekolah, yang karyawan akan ke kantor dan lain sebagainya.
Kitab Wedhatama dan Wulangreh banyak juga dijumpai pembelajaran keteladanan. Sementara kidungan jula-juli, parikan, juga merupakan pesan moral. Tembang, kidungan, dengan irama masing-masing, digunakan sebagai sarana mendidik masyarakat. Ada yang lewat syair-syair keagamaan, ada pula yang dengan irama tradisi setempat. Seperti tembang Pangkur yang sudah barang pasti syairnya sangat kental dengan pendidikan.
. . . . .
Pangkur.
Sopo biso uro-uro.
Uran-uran paringane Kanjeng Nabi.
Jagad jembar, langit dhuwur.
Geni kalangkung panas.
Mori putih yen diwedel dadi gandung.
Yen ora ngandel den nyatakno.
Asem kecut, gulo legi.
Tafsir bebasnya: Siapa bisa melantun. Lantunan pemberian Baginda Nabi. Bumi yang luas, langit yang tinggi. Api amat panas. Kain putih bisa berubah warna.
Jika tidak percaya bisa dibuktikan.
Buah asam masam rasanya, gula manis rasanya.
Syair ini bisa dilantunkan memakai tembang-tembang menurut budaya yang berlaku di sebuah masyarakat.
Pankur sudah dikenal oleh masyarakat Jawa sejak dahulu kala. Bahkan di sekolah dasar pada era tahun 1960-an diajarkan oleh guru. Bahkan tembang pangkur menjadi wajib bagi siswa untuk menghafalnya. Untuk apa? Sudah jelas agar anak didik bisa meneladani pesan-pesan syair yang terdapat dalam tembang, termasuk tembang pangkur.
Syair di atas sudah jelas merupakan pendidikan akan besarnya kekuasaan, keagungan Tuhan, lewat ciptaannya yang digambarkan dengan luasnya bumi alam semesta, langit yang menjulang tinggi tak terukur. Atau contoh sederhananya adalah menciptakan rasa makanan yang dicontohkan dengan rasa asam dan gula dalam syair tersebut.
Esensinya terkandung maksud pada syair tembang tersebut adalah bahwa manusia harus punya prinsip. Bila memang sudah dikodratkan mempunyai rasa masam seperti buah asam atau manis seperti gula tebu, maka apabila jadi masam atau manis, tetapi harus yang konsekwen. Artinya harus menjadi manusia yang berguna bagi sesama. Tidak menjadi pecundang yang selalu merugikan orang lain. Daun klaras, daun kering saja akan bermanfaat bagi manusia apabila untuk membungkus terasi, daun jati untuk membungkus sesaji bumbu dapur, sampah jadi rabuk, yang pada pokoknya peranan apa saja yang disandang manusia seyogyanya digunakan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan umat.
Sangkan Parane Dumadi.
Lebih jauh harus merenung bahwa manusia berasal dari mana dan akan pergi kemana. Perjalanan hidup semestinya harus mempunyai pegangan, mempunyai panduan. Pegangan dan panduan inilah yang dipakai sebagai tongkat untuk meniti hidup serta mengarungi kehidupan di tengah masyarakat yang semakin lama semakin komplek. Cobaan serta ujian senantiasa silih berganti. Yang satu belum rampung terselesaikan, yang satunya lagi sudah menghadang di depan mata.
Menghadapi konstelasi yang demikian inilah, manusia jangan sampai hanyut dan terlempar oleh semua rintangan yang harus dipikul. Maka karenanya sejak usia sekolah harus diajarkan hakikat hidup dan kehidupan nyata. Tentunya dengan metode pembelajaran yang mudah dicerna sesuai jenjang sekolahnya. Oleh karenanya, siswa harus dikenalkan dengan ajaran pesan moral. Dan pada gilirannya akan menyadari, merenungi, tentang dari mana dan akan kemana manusia hidup di dunia ini.
Humanisme, budi pekerti, keagamaan, peduli sesama, tolong menolong harus dikenalkan sejak sekolah dini. Kemasyarakatan juga sudah diajarkan lewat PKN. Sopan santun, unggah-ungguh diajarkan lewat pelajaran Bahasa Daerah, Bahasa Indonesia. Pengenalan moral diajarkan lewat Pendidikan Agama. Ketiga materi pembelajaran inilah yang diharapkan bisa mencetak anak didik mengenal kebenaran, kejujuran dan rasa kemanusiaan, berbudi luhur.
Sebab dengan era industrialisasi di segala bidang kehidupan ini, dikhawatirkan generasi muda, mahasiswa, siswa, akan cenderung mengedepankan sifat-sifat materialistik yang berujung pada penyembahan akan kebendaan. Konsumeristik duniawi diutamakan ketimbang menuntut ilmu yang diajarkan di sekolah. Karenanya ketiga mata pelajaran tersebut jangan sampai tercabut di sekolah-sekolah. Khususnya di sekolah dasar dan menengah pertama.
. . . .
Pengabdian Sejati.
Tapak-tapak ing gladhen sejati.
Gladene wong kang kepingin ngabdi.
Marang ibu pertiwi.
Ora butuh pangalembono.
Ora butuh puja-puji.
Tafsir bebasnya seperti ini : Jejak-jejak dalam kehidupan bagi insan yang ingin mengabdi pada bangsa dan negara. Tanpa pamrih, tidak ingin dipuji. Sebab pengabdiannya dengan tulus hati serta tidak mengharap pangkat serta kedudukan duniawi.
Pengabdian ini sering dianonimkan pada pendidik. Sebab pendidik selama ini memang sudah teruji pengabdiannya untuk pencerdasan pada anak-anak bangsa.
Meski penghasilan para pendidik sangat minim, namun masih bisa hadir mengajar walaupun jarak tempuh dari rumahnya ke sekolah, relatif jauh. Tidak pernah mengeluh, badan bersimbah peluh, tetap bertanggung jawab mendidik, membangun, moral anak bangsa.
Pengabdian inilah sebagai bukti dedikasi terhadap tanah air. Sebagai pendidik senantiasa konsekuen terhadap profesi yang dimilikinya. Semuanya ditumpahkan untuk kepentingan anak didik. Dengan tidak meradang apalagi merinding menghadapi serpihan-serpihan derita kehidupan. Derita di atas derita dipanggul dipundaknya, bahkan tak jarang menerima cerca.
Pengabdiannya tidak bisa disandingkan dengan ukuran apapun. Bentuk nyatanya sudah jelas, yaitu menghasilkan bangunan gedung-gedung yang menjulang tinggi, jutaan karya tulis yang memenuhi rak-rak perpustakaan, ribuan para pemimpin bangsa, baik yang di pusat pemerintahan maupun yang di daerah. Ini semua hasil pendidikan. (Selesai)
#Poedianto, Guru SMK Pariwisata Satya Widya, Surabaya.
Leave a Reply