Oleh Farhat Abbas
Ketua Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)
Kian liberal. Terkategori tak terkendali. Itulah artikulasi demokrasi di tanah air ini. Siapapun selaku warga negara berusaha menyampaikan hak-haknya dengan bebas. Sebebas-bebasnya dan kadang melampaui batas hak-hak pihak lain. Diartikulasikan dalam panggung terbuka, atau media, termasuk media sosial yang demikian cepat viralisasinya. Mereka tak peduli dengan UU ITE yang kadang bisa menjerat sikap dan tindak yang melampaui batas karena ada pihak yang dirugikan, minimal secara imateriil, jika korban menunut.
Dapat dipahami artikulasi demokrasi itu. Di satu sisi – sebagai individu atau kelompok – karena merasa terganggu hak-haknya. Di sisi lain, ekspresi dan artikulasi haknya dijamin konstitusi (Pasal 28 UUD 1945). Atas dasar dua landasan ini, maka kita saksikan panorama unjuk rasa yang kulminatif. Pernah terjadi kulminasi aksi yang mendorong ribuan massa turun ke lapangan karena persoalan legislasi yang tidak sejalan dengan kepentingan rakyat, seperti UU Omnibus Law, ketentuan upah minimum, RUU Pedoman Ideologi Pancasila (PIP).
Terjadi juga mobilisasi protes massa secara kulminatif dalam kaitan politik kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden. Dan tak bisa dilupakan juga, kulminai aksi massa jutaan massa yang menunut keadilan yang harus ditegakkan akibat penistaan agama. Tentu, masih banyak lagi pagelaran aksi (penuntutan hak) secara demonstratif-ekstensif, melibatkan demikian besar jumlah individu, berbaju kampus, organisasi buruh dan lainnya.
Itulah warna demokrasi di negeri ini yang makin ekspresif. Tak terkendali. Seolah telah terlepas dari budaya Indonesia yang ramah, santun, penuh persaudaraan dan saling menghargai. Dan gerakan atas nama demokrasi itu sungguh dominan di tengah Jakarta. Memang, kota-kota besar lain seperti Makassar, Surabaya atau lainnya kadang muncul juga gerakan demonstratif yang cukup kulminatif. Namun, Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan episentrum produk perumusan kebijakan, juga pusat menentu status pemerintahan, maka Jakarta menjadi magnet publik untuk menyuarakan aksi ekspresif penuntutan hak-hak asasinya.
Akibatnya, Jakarta tak pernah sunyi dari dinamika massa demonstrasi. Terpusat di sekitar Senayan, atau lingkaran Istana Merdeka, meski dalam radius jauh. Juga, kadang terjadi di sekitar lembaga pengadilan yang memproses hukum penentu. Konsekuensi ini berakibat kontigion. Yaitu, Jakarta diperhadapkan kondisi keamanan yang mencekam. Destabilitas keamanan selalu dalam bayang-bayang yang dipertanyakan. Apakah akan terjadi eskalasi konflik rakyat versus aparat keamanan, atau siutuasi bisa dikendalikan. Hal ini karena – di satu sisi – terdapat massa yang kian “ganas”. Di sisi lain, aparat ketertiban menghalau paksa dengan cara-cara represif.
Yang perlu kita catat lebih jauh, apakah represivitas itu menjadi satu opsi utama, atau keterpaksaan? Di lapangan kita jumpai fakta, tindakan represif karena keterpaksaan. Untuk mencegah terjadinya keganasan massa yang dinilai sudah keluar dari koridor berdemokrasi. Dan secara fungsional, aparat memang harus menjaga stabilitas keamanan.
Yang menjadi persoalan, apakah tindakan represivitasnya harus melupakan aspek kemanusiaan? Pertanyaan ini terlontar, karena di lapangan dijumpai fakta tindakan yang juga melampaui dari aparat keamanan. Dalam beberapa peristiwa, aparat keamanan juga “kalap”, sehingga di antara barisan massa tampak “dikeroyok” oleh satuan keamanan itu. Terdengar juga fakta di lapangan tentang sejumlah massa pendemo yang diperlakukan secara tidak manusiawi pasca mereka digiring ke arena penahanan.
Tindakan yang berlebihan itu, sering kita saksikan mendorong sebagian aparatur TNI turun tangan. Untuk mencegah kebrutalan kawan-kawan dari satu kepolisian.
Tak bisa dipungkiri, aparat dieprhadapkan situasi dilematis. Di satu sisi, aparat – dengan dasar kesadaran berdemokrasi – berusaha memahami dinamika aksi demokrasi itu. Di sisi lain, stabilitas juga harus dijaga. Jangan sampai terjadi destabilitas yang akan merugikan kepentigan negara dan rakyat itu sendiri. Di sanalah urgensinya bagaimana membangun politik keamanan yang tepat, adil untuk semua, terakomodasi kepentingan seluruh pihak. Inilah postur politik keamanan yang harus disett up secara cerdas. Agar kepentingan bagi semua terjaga. Lalu, seperti apa format politik keamanan itu.
Ada beberapa pendekatan untuk mewujudkan format politik keamanan. Pertama, dalam jangka menengah dan panjang, dibangun sistem komunikasi kepada sejumlah elemen atau simpul yang sejauh ini dinilai sebagai pihak yang proaktif dalam gerakan massa di lapangan. Komunikasi elitis ini sangat penting. Karena, hasil komunikasinya berpotensi tercapai kesepakatan dengan para pimpinan massa. Meski belum bisa teridentifikasi secara data faktual, tapi komunikasi yang telah terbangun sebelumnya bisa menjadi dasar untuk mengingatkan jika akan terjadi gerakan massa. Inilah model komunikasi edukatif, yang berpotensi mengurangi jumlah kesertaan jumlah massa pada setiap adegan demo.
Kedua, edukasi aksi secara sikap yang dilakukan dengan tegas. Ada diplomasi psikologis yang dimainkan. Tanpa harus menindak dengan cara menyakiti individu, tapi tindakan psikologis ini bisa mempengaruhi massa untuk mengurangi tindakannya. Sebagai gambaran, ketika massa memajang baliho sang tokoh di mana-mana, maka untuk menurunkan partisipasi massa dilakukan penurunan baliho-baliho itu. Memang, apa yang dilakukan aparat keamanan itu terkesan turun “kelas”. Yang harusnya dilakukan satpol PP, tapi justru dilakukan oleh TNI dan atau kepolisian. Cara pandang ini perlu dilihat dari sisi lain secara konstruktif. Yaitu, mencegah benturan fisik terhadap para pengunjuk rasa. Maka, penurunan baliho-baliho jelaslah jauh lebih manusiawi, karena memang tidak berbenturan dengan massa yang beringas itu.
Ketiga, pendekatan show of force. Pendekatan ini – secara konseptual dan empirikal – juga mampu mempengaruhi massa (menurunkan emosi) yang lagi beringas itu. Seperti yang kita saksikan pada sejumlah panser di sekitar wilayah Jl. KS Tubun – Tanah Abang, ternyata tongkrongan sederet panser menjadi sorotan publik. Secara lahiriah, seperti ada niat untuk menggempur massa. Tapi, faktanya, tak ada gempuran dari panser-panser itu. Dan memang, panser yang ada bukan untuk menggempurnya. Tapi, apa yang terlihat oleh publik terhadap sederet panser mampu menurunkan emosi kesertaan untuk turun dalam rangka unjuk rasa. Di sana kita saksikan model solusi massa: tidak harus menjinakkan massa dengan kekuatan besi, tapi memainkan perang syaraf (psy-war).
Pendekatan atau model solusi tanpa perang fisik itu berdimensi mendasar. Di antaranya, kesadaran diri bahwa, TNI atau polisi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat juga. Maka, ketika terdapat aksi yang melukai rakyat, sama artinya seperti anak lupa ibu kandungnya. Filosofi asal-usul TNI dan atau kepolisian memang proporsional untuk dipertahankan sebagai jatidiri dan karakter aparat keamanan dan ketertiban. Di sisi lain, implementasi ini juga sekaligus menunjukkan partisipasinya dan pemahamannya pada sistem demokrasi yang kian menjadi garis kehidupan berbangsa dan bernegara.
Diktatorisme yang mengedepankan kekuatan fisik dan mengabaikan jatidiri kemanusiaan sudah bukan zamannya lagi. Jika tetap mengikuti cara-cara diktatoristik, maka tindakannya justru menjadi bumerang: di satu sisi, dalam negeri, menjadi faktor yang mendorong kebencian publik dan hal ini berarti distrust dan hilangnya wibawa satuan aparat keamanan dan ketertiban. Di sisi lain, menjadi sorotan dunia lain dalam konteks pelanggaran HAM. Jika kualitas pelanggarannya serius (level pelanggaran berat), maka negeri kita akan menjadi cemoohon dunia, di samping potensi diajukannya ke Mahkamah Pidana Internasional. Jika hal ini terjadi, maka hukumannya bagi kepala negara pun cukup serius.
Namun demikian, tidak berarti aparat keamanan harus loyo kepada publik yang dinilai mengganggu keamanan dan ketertiban dalam negeri. Bagaimana pun, aparat keamanan harus tetap menjalankan fungsinya sebagai alat negara, bukan alat kekuasaan. Mereka – secara konstitusional – harus menjaga kedaulatan negaranya, termasuk ancaman destabilitas dalam negeri dari sejumlah kekuatan yang mengganggu kepentingan keamanan nasional. Ketika ancamannya cukup serius bagai kedaulatan negara, maka aksi unjuk rasa apalagi sampai angkat senjata sebagai indikasi menantang, hal ini – atas nama alat negara – TNI khususnya harus menujukkan kinerja terbaiknya untuk negara dan bangsa. Dalam hal ini gerakan separatis tentu tak boleh.
Di sanalah, landasan konstitusional itu harus menjadi pijakan konstruksi operasionalisasi sistem keamanan. Desain politik keamanan menjadi krusial untuk menghadapi dinamika kehidupan rakyat demikian beragam. Desain itulah yang dapat diterapkan pendekatan mana yang tepat untuk diterapkan saat hadapi unjuk rasa rakyat. Dan, apa yang harusnya dilakukan pada kaum separatis. Implementasi ragam desain politik keamanan ini – mau tak mau – bicara hal-hal taktis dan strategi di lapangan.
Menelaah peta politik pertahanan dan keamanan itu, maka kader Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI) berefleksi, bahwa sosok Mayjend. Dudung Abdurahman cukup tepat ketika diangkat sebagai PANGKOSTRAD. Mantan PANGDAM JAYA ini telah menunjukkan format politik keamanan yang tepat di saat Jakarta diperhadapkan persoalan serius harus ciptakan kondisi Jakarta yang kondusif. Ada gejolak massa yang cukup kulminatif, tapi penananganannya terkategoi cerdas, terutama dari perspektif kemanusiaan. Itulah kematangannya sekaligus pemahamannya bahwa penegakan sistem keamanan di era demokrasi haruslah beda dibanding era diktatorisme. Selamat Mayjend. Dudung Abdurahman. Semoga amanah barunya sebagai PANGKOSTRAD jauh lebih bermakna konstruktif, untuk negeri dan bangsa ini.#
#Jakarta, 29 Mei 2011
Leave a Reply