Gubernur Sulsel Ter-OTT: Reorientasi Pendekatan Kinerja KPK

Oleh Farhat Abbas *

Tentu, publik terkejut saat mendengar dan atau membaca Gubernur Selatan (Sulsel), Prof. Dr. Nurdin Abdullah tertangkap tangan (OTT) oleh KPK. Bagaimana tidak? Satu-satunya gubernur di Indonesia yang bergelar profesor ini tercatat bersih. Steril dari gemerlapan korupsi. Tapi, KPK menangkapnya. Adakah perubahan mental dalam diri Nurdin setelah menempati posisi empuk itu? Atau ada faktor yang lebih mendasari KPK sehingga harus melakukan OTT terhadap mantan Bupati Bantaeng dua periode (2008 – 2018) ini?

Jika dikaitkan dengan perjalanan Nurdin Abdullah sebelumnya selaku Bupati Bantaeng, banyak pihak meragukan perubahan sikap mentalnya. Artinya, Nurdin istiqamah. Tak silau dengan gumpalan fasilitas negara, padahal kesempatan untuk mengeksploitasenya sangat terbuka. Karenanya, putera asal Pare-pare, kelahiran 7 Februari 1963 ini sempat meraih gelar antikorupsi sebagai tokoh perubahan selaku kepala daerah. Dan memang, selama menjabat sebagai Bupati Bantaeng banyak terobosan yang dilakukan dan memberikan manfaat kepada rakyat. Reputasi ini pula yang – melalui pilkada 2018-2023, diusung oleh PDIP, PKS, PAN dan PSI – Nurdin mendapat dukungan besar, sehingga berhasil terpilih sebagai Gubernur Sulsel, menggantikan Syahrul Yasin Limpo.

Sekali lagi, OTT KPK terhadap Nurdin menjadi pertanyaan tersendiri. Mungkinkah Nurdin berubah? Sebagai manusia biasa, memang tidak tertutup kemungkinan itu. Tapi, sepak terjangnya selama ini membuat banyak elemen masyarakat tak bisa mempercayai penyalahgunaan Nurdin terhadap fasiliutas negara. Karena itu, jika memang KPK menemukan indikasi penyalahgunaannya, maka sebuah pertanyaan yang layak kita lontarkan, apakah KPK sudah mengingatkannya? Jika model ini dilakukan, maka misi pencegahan jauh lebih bermakna dibanding penindakan, meski tetap diperlukan tindakan hukum itu. 

Perlu kita catat, indikator keberhasilan kinerja KPK tidak ditentukan oleh banyaknya OTT, tapi justru bagaimana membangun sistem pencegahan yang efekfif. Rorientasi pendekatan ini (pencegahan) sejalan dengan fakta bahwa sebaik apapun kepala daerah atau pejabat publik, jika dicari-cari kesalahan – pada akhirnya – akan ditemukan, meski kesalahan yang bersifat sistemik. Sebuah pertanyaan mendasar, apakah KPK didirikan sebagai watch dog, yang terus mengintai kejahatan korupsi? Memang, ada kondisi historis didirikannya KPK, yakni mandulnya proses penegakan hukum antikoripsi semasa sebelum Orde reformasi. Karena itu dididikan lembaga ad hoc, yang khusus menangani korupsi. Tapi, domain besar korupsi bukan hanya yang telah existing. Potensi korupsi (yang belum terjadi) juga perlu dicegah. 

Jadi, masa-masa awal kinerja KPK memang cukup tepat jika berkonsentrasi pada penindakan para pihak yang telah menyelahgunaan keuangan negara, termasuk para pihak yang bersekongkol. Tapi, perkembangan periode selanjutnya, idealnya lebih berorientasi ke pencegahan. Jika mengabaikan aspek pencegahan, maka misi besar KPK tak akan pernah tercapai. Sebab, potensi baru korupsi jauh lebih banyak dan besar dibanding pemberantasan. Inilah urgensinya penguatan divisi pencegahan. Sebagai upaya sistimatis dan terencana untuk menekan laju korupsi. 

Sekali lagi, jika mencermati reputasi dan karakter Nurdin Abdullah, sungguh ideal jika KPK mengendepankan kinerja pencegahan. Apa yang dilakukan KPK terhadap Nurdin cukup menggambarkan bahwa lembaga anti risywah ini tampak membiarkan kekeliruan Nurdin yang tampak dalam gurita pihak lain. Dan – menurut informasi permulaan – Nurdin terlibat dalam proyek pengadaan infratruktur di wilayahnya (Sulsel) Tahun anggaran 2020-2021. 

Sebuah renungan ulang, benarkah Nurdin terkena gratifikasi? Masih perlu pembuktian. Meski Nurdin membantahnya, tapi KPK tetap dalam pendirian tentang keterlibatan Nurdin dalam proyek infrastruktur itu. Sekali lagi, proses hukumnya masih berjalan. Perlu pembuktian dan litigasi. Namun demikian, ada hal substantif yang perlu kita analisis lebih jauh, yaitu persoalan politik balas-budi. 

Boleh jadi, Nurdin memang tetap committed untuk tidak menerima apapun dari proyek Provinsi Sulsel. Namun, proses politik menuju singgasana (G-1 Sulses) tak bisa diabaikan. Fakta bicara, tak sedikit kepala daerah terjebak pada tuntutan inner circlenya dari komponen partai politik (parpol) yang dulunya ikut mengusung proses kenaikan ke singgasana. Dalam hal ini pembagian jatah (proyek) kepada parpol pengusung sudah menjadi perilaku umum. Ada yang sangat fulgar. Ada pula yang soft. Tergantung karakter personal parpolnya.

Urgensi Perombakan Sistem

Mencermati gurita tuntutan politik balas-budi itu, maka jika model pilkada harus mempersyaratkan prosentasi 20% sebagai syarat sah bisa maju sebagai kepala daerah bahkan presiden-wakil presiden, maka ketentuan ini akan memaksa dibangunnya koalisi antarpatai. Koalisi ini – dalam banyak tataran politik faktual – tidak mendasarkan pada kesamaan ideologis. Jika mencermati kasus proses politik Nurdin yang didukung PDIP, PKS, PAN dan PSI saat maju sebagai Gubernur Sulsel lalu, jelaslah tidak mendasarkan pada kesamaan keterpanggilan ideologis. Dukungan politiknya lebih mengarah pada kalkulasi potensi kemenangannya. 

It`s fine. Yang menjadi masalah, dukungan politik itu selalu kompensasional. Dan Nurdin – untuk analisis permulaan – lebih mudah menguak bagaimana distribusi gratifikasi kepada sejumlah elemen parpol pendukungnya. Karena itu, sebuah urgensi yang perlu dibangun lebih jauh adalah prasyarat prosentasi minimal 20% persen itu harus segera dienyahkan. Berarti, perlu merevisi UU Pemilu. Revisinya juga perlu mengkaji lebih jauh tentang mekanisme pemilihan, apakah tetap langsung atau perwakilan. Jika sistem perwakilan oleh DPRD, berarti harus dilakukan amandemen kelima UUD 1945. 

Kita bisa membanyangkan, gagasan atau upaya mengembalikan sistem pilkada tak langsung akan dinilai set back secara demokrasi. Tapi, pemikiran ini menjadi urgen untuk dilihat kembali dalam perspektif mengurangi dampak kontigionnya, dalam kaitan derap pembangunan yang steril dari bayang-bayang inner circle parpol. 

Seperti kita ketahui, sistem pilkada langsung jelaslah high-cost. Money politics menjadi bagian integral dalam sistem pemilihan langsung itu. Sebuah renungan, seberapa banyak kandidat yang mumpuni secara finansial untuk memasuki kontestasi itu? Relatif terbatas. Data faktual ini menjadi pintu masuk bagi kalangan pemodal untuk ikut bermain, dalam wilayah pilkada bahkan pemilu nasional.

Persoalannya berlanjut. Manakala sang kandidat yang diusung menang, maka satu-satunya pengembalian balas budi adalah memberikan konsesi pekerjaan (proyek). Sebab, kita tahu, gaji atau take home pay kepala daerah – sebagai gubernur, apalagi bupati dan atau walikota – jelaslah masih terbatas. Tidak cukup untuk mengembalikan pundi-pundi yang telah dikeluarkan. Karena itu, memberikan konsesi balas budi politik itu tak jauh dari dunia proyek. Karena itu, sistem pemilu langsung ini memang sudah selayaknya dikoreksi (revisi). Meski dalam UU Pemilu terdapat sanksi tegas bagi tindakan money politics, ketentuan itu mandul. Perlu alat bukti tindakan money politics membuat ketidakmungkinan pengadilan bisa menjatuhkan sanksi kepada pemberi ataupun penerima dana politik itu. Akibatnya, money politics menjadi bagian integral perhelatan pilkada atau pemilu nasional. 

Akhirnya, kita perlu menggaris-bawahi, apa yang menimpa pada Nurdin Abdullah selalu Gubernur Sulsel bisa dijadikan renungan konstruktif. Meski Nurdin sampai detik ini diyakini sebagai orang bersih, tapi para pihak yang mengitarinya dari anasir parpol atau pemodal sangat mungkin untuk terus melakukan sejumlah hal yang merugikan kepentingan Nurdin. Bukan dalam kerangka menjatuhkan secara personak, tapi menggiring Nurdin pada area abuse of power secara terselubung (soft). Inilah jebakan mau, sehingga orang sebersih Nurdin pun sedikit tersandung perjalanannya.

Untuk dan atau atas nama menjaga sosok pemimpin yang bersih seperti Nurdin Abdullah atau lainnya yang tentu bermanfaat bagi daerah dan bangsa ini, kiranya tidaklah berlebihan Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI) menyampaikan pemikiran untuk merombak sistem pemilu, bahkan sistem ketatanegaraan yang jauh lebih sehat, lebih aspiratif dan lebih meaningful. Tak selayaknya, orang bersih, capable dan berintegritas menjadi korban sistem. And the last but not least, KPK sudah seharusnya melakukan reorientasi pendekatan. Perkuat devisi aksi pencegahan. Jauh lebih educated dan sangat mendasar.

*Penulis: Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.