Dalam beberapa tahun terakhir, Surabaya kerap menghadapi persoalan kualitas lingkungan, mulai dari pencemaran udara, peningkatan volume sampah, hingga penurunan kualitas air sungai.
Kota besar dengan aktivitas industri dan mobilitas tinggi ini terus beradaptasi dengan berbagai dampak lingkungan yang timbul dari perkembangan urbanisasi. Namun, sebuah temuan terbaru dari sejumlah komunitas lingkungan menghadirkan kekhawatiran yang lebih mendalam: air hujan yang turun di Surabaya ternyata mengandung mikroplastik.
Temuan ini menunjukkan bahwa polusi kini telah merambah ke bagian siklus alam yang paling mendasar hujan.
Penelitian tersebut dilakukan oleh empat komunitas lingkungan, yaitu Jejak (Jaringan Gen Z Jatim Tolak Plastik Sekali Pakai), GrowGreen, River Warrior, dan Ecoton.
Pemantauan dilakukan selama 11–14 November 2025, dengan menempatkan wadah penampung hujan di berbagai titik strategis Surabaya seperti Dharmawangsa, Ketintang, Gunung Anyar, Wonokromo, HR Muhammad, Pakis Gelora, dan kawasan pelabuhan Tanjung Perak.
Beragamnya lokasi pengambilan sampel menunjukkan bahwa penelitian ini tidak hanya menyoroti area tertentu, tetapi menggambarkan kondisi kota secara menyeluruh.
Wadah penampung yang digunakan terdiri dari bahan stainless steel, aluminium, dan mangkuk kaca, semuanya diletakkan pada ketinggian lebih dari 1,5 meter untuk menghindari kontaminasi dari percikan tanah atau debu permukaan.
Air hujan ditampung selama satu hingga dua jam setiap kali hujan turun. Setelah dianalisis, seluruh sampel menunjukkan adanya kandungan mikroplastik, tanpa pengecualian. Temuan ini menandakan bahwa polusi mikroplastik telah benar-benar menyebar di atmosfer kota.
Yang paling mengejutkan, lokasi Pakis Gelora mencatat konsentrasi mikroplastik tertinggi mencapai 356 partikel per liter. Disusul oleh Tanjung Perak dengan 309 partikel per liter angka yang masuk akal mengingat aktivitas pelabuhan, lalu lintas kendaraan berat, serta potensi polusi dari industri yang beroperasi di sekitar wilayah tersebut.
Lokasi-lokasi lain, meski tidak setinggi dua titik tersebut, tetap menunjukkan tingkat pencemaran yang perlu mendapat perhatian serius.
Mayoritas partikel mikroplastik yang ditemukan berbentuk serat (fiber) dan filamen. Bentuk serat sering kali berasal dari pakaian sintetis, limbah industri tekstil, serta residu aktivitas domestik seperti pencucian dan penjemuran pakaian.
Sementara filamen umumnya dihasilkan dari proses gesekan ban kendaraan, serpihan tali plastik, hingga pembakaran sampah yang tidak terkontrol.
Kehadiran berbagai jenis mikroplastik ini menunjukkan bahwa sumber pencemaran tidak berasal dari satu titik saja, melainkan merupakan akumulasi dari aktivitas sehari-hari masyarakat perkotaan.
Dosen UM Surabaya, Vella Rohmayani, menyebut temuan ini sebagai “ancaman jangka panjang” yang tidak boleh diremehkan.
Menurutnya, mikroplastik kini telah memasuki siklus hidrologi — fase penting dari perputaran air di bumi. Artinya, mikroplastik yang sebelumnya hanya ditemukan di sungai, laut, dan tanah kini telah berpindah ke atmosfer dan jatuh kembali bersama hujan.
Pergerakan mikroplastik yang terus berulang ini membuat risikonya semakin besar karena potensi terhirup, tertelan, atau terserap oleh tubuh manusia.
Dampak kesehatan akibat mikroplastik memang masih diteliti secara mendalam oleh para ilmuwan, tetapi berbagai studi awal menunjukkan bahwa partikel kecil ini dapat memicu iritasi pada sistem pernapasan, mengganggu penyerapan nutrisi dalam sistem pencernaan, dan berpotensi memengaruhi sistem hormon tubuh.
Mikroplastik juga dapat membawa bahan kimia berbahaya seperti BPA atau logam berat yang menempel pada permukaannya. Dengan ukuran yang lebih kecil dari 5 milimeter, partikel ini tidak dapat terlihat oleh mata manusia, sehingga paparan sering kali terjadi tanpa kita sadari.
Berkaca dari temuan tersebut, para peneliti mendorong masyarakat Surabaya untuk lebih peduli terhadap pengurangan penggunaan plastik sekali pakai.
Kebiasaan membakar sampah plastik secara terbuka juga harus dihentikan karena terbukti menjadi salah satu penyumbang utama polusi udara dan pelepasan mikroplastik ke atmosfer.
Selain itu, pengelolaan sampah yang baik mulai dari memilah, mendaur ulang, hingga mengurangi konsumsi plastik menjadi langkah penting yang dapat dilakukan setiap rumah tangga.
Masyarakat juga diimbau untuk mengurangi kontak langsung dengan air hujan, terutama di daerah dengan tingkat cemaran tertinggi. Meski terdengar sepele, langkah ini dapat membantu meminimalkan paparan partikel mikroplastik yang mungkin menempel di kulit atau masuk melalui rongga pernapasan.
Temuan ini menjadi pengingat keras bahwa krisis sampah plastik bukan lagi masalah yang hanya terjadi di laut atau sungai. Polusi itu kini benar-benar dekat, tidak terlihat, dan turun dari langit tepat di atas kepala kita. Jika tidak segera ditanggapi dengan langkah serius, polusi mikroplastik dapat menjadi ancaman jangka panjang bagi kesehatan manusia dan kualitas lingkungan Surabaya.
Daftar Pustaka
- 1. 2. 3. 4. 5. DetikJatim. (2025). Air Hujan di Kota Surabaya Juga Mengandung Mikroplastik.
- Kompas.(2025). Air Hujan di Surabaya Disebut Mengandung Mikroplastik
- UM Surabaya. (2025). Air Hujan Surabaya Mengandung Mikroplastik: Dosen UM Surabaya Ingatkan Ancaman Jangka Panjang.
- World Health Organization (WHO). (2022). Microplastics in Drinking-Water.
- United Nations Environment Programme (UNEP). (2021). From Pollution to Solution: A global assessment of marine litter and plastic pollution.
![]() Oleh: Aurel Putri Berliana Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2025 |

