Oleh Farhat Abbas
Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)
Kian terkotak bahkan terpecah. Dan sejalan dengan perhelatan demokrasi per lima tahunan terkait pemilihan kepala daerah, pemilihan legislatif dan pemilihan presiden-wakil presiden, hubungan sosial sebangsa dan setanah air mengkhawatirkan. Terdapat panorama ketidakharmonisan yang sangat nyata. Masing-masing lebih mendahulukan kepentingan sempit pribadi dan kelompoknya tanpa kompromi. Sementara, rakyat dibiarkan menjadi korban atau dikorbankan. Itulah panorama sosial-politik di tengah bangsa ini. Sebuah renungan, haruskah terbiarkan panorama menyedihkan itu?
Tentu tidak. Panorama destruktif itu bukan hanya mengancam kehidupan bangsa secara keseluruhan, tapi juga negara. Tidak tertutup kemungkinan – jika terbiarkan kemelut itu – nasib negara akan terpecah lalu terbagi-bagi. Bisa menjadi negara bagian (federal), bisa juga terpecah total, berdiri sebagai negara tersendiri. Dan itu tampaknya dikehendaki oleh sejumlah negara asing tertentu karena potensi negeri ini yang memang luar biasa.
Terlalu dramatis memang bayangan pahit itu. Tapi, potensi konflik elitis dan horizontal itu – sekali lagi – bukan tak mungkin akan mengantarkan pemandangan status kenegaraan kita seperti Uni Sovyet yang tinggal nama sebagai sebuah negara. Kehancuran itu pasti mengakibatkan penderitaan kita semua selaku bangsa. Dan negeri ini juga akan tenggelam, setidaknya, berubah status: tidak lagi merdeka dan sebagai negara Indonesia.
Gambaran yang mengerikan itu harus kita cegah. Kesadaran kolektif, mulai dari kalangan elitis hingga ke bawah harus terbangun secara kuat untuk mempertahankan NKRI tanpa reserve. Tapi, tak bisa disangkal, tidaklah mudah untuk membangun kesadaran heroik itu. Di satu sisi, kaum elitis punya agenda atau kepentingan untuk tampil atau mempertahankan posisi politiknya dan itu hal wajar karena memang ada tujuan mulia di balik kiprah politiknya. Di sisi lain, masyarakat pun kian terbungkus sikap dan paradigma politik pragmatisnya sehingga mudah tersulut ke arena konflik horizontal.
Sekali lagi, secara keseluruhan, panorama politik itu terus menggerus nilai-nilai keharmonisan masyarakat kita. Dan membaca sinyal-sinyal yang cukup membahayakan bagi jatidiri bangsa dan negara, maka tak ada kata lain kecuali kita harus membangkitkan kesadaran untuk tetap bersatu dan saling menghormati perbedaan, karena ras, keyakinan, suku bahkan afiliasi politik. Kita harus tampil sebagai bangsa yang dewasa. Namun demikian, tak bisa kita pungkiri tidaklah mudah menghadirkan pribadi dewasa.
Memaknai `Idul Fitri
Seperti kita jalani bersama, sebelum hadir `idul fitri, kita ditempa selama sebulan penuh. Itulah bulan suci Ramadhan. Perintah Allah tentang berpuasa yang tertuang dalam Q.S. Al-Baqarah: 183 mengandung nilai-nilai yang sangat mendalam, bagi mentalitas individu dan seluruh elemen masyarakat. Penempaan selama sebulan secara terus-menerus diharapkan mampu menumbuhkan mental yang berkualitas bagi setiap individu yang berpuasa. Kumpulan kualitas kesalehan individual diharapkan juga mampu melahirkan kesalehan sosial, bahkan kesalehan dalam berpolitik. Harapan ini tak lepas dari sifat perintah berpuasa untuk seluruh muslim di jagad ini yang sesungguhnya mengandung makna multidimensional. Dan disinilah nilai-nilai Ramadhan sesungguhnya berkorelasi positif-konstruktif bagi kepentingan negeri ini, bahkan dunia.
Seperti kita ketahui, berpuasa yang diwajibkan bagi setiap individu muslim yang – secara teoritik – dirancang untuk melahirkan pribadi-pribadi yang empati terhadap sesama, bukan hanya terhadap sesama muslim atau yang berpuasa saja. Bersifat general, tanpa memandang perbedaan strata sosial, suku, warna kulit bahkan keyakinan. Ketika watak baru yang bernama empati ini direfleksikan lebih jauh pasca Ramadhan, maka ke depan, akan muncul gerakan perubahan pro kepedulian kemanusiaan. Refleksinya, ketika di hadapan kita ada pihak tertentu yang bernasib kurang baik secara sosial-ekonomi, maka ia tak akan berpikir panjang untuk mengambil tindakan bagaimana membantu sesegera mungkin terhadap pihak yang kurang beruntung itu.
Sangatlah mungkin, awal tindakannya adalah pertolongan yang bersifat konsumtif dan darurat. Sekedar memenuhi kebutuhan saat itu. Namun, kesadaran empatif ini akan menggiring dirinya untuk mengajak para pihak lain untuk merumuskan cara menolong dalam bentuk program produktif, berjangka menengah dan panjang. Di sinilah akan muncul kebersamaan antara para pihak yang berempati itu. Mereka akan membicarakan solusi atas persoalan dhu`afa. Satu hal yang tak bisa diabaikan, di antara mereka – kemungkinan besar – akan mengajak sejumlah pihak yang terkategori figur tertentu, karena posisi sosial-ekonomi, maupun posisi politiknya. Arena itu memungkinkan terjadinya titik temu lintas kelas atau kapasitas. Maka, program solutif yang berangkat dari sikap empati itu akan berbuah nyata dan lebih jauh bagaimana merancang program kemasyarakatan yang terjauh dari himpitan sosial-ekonomi.
Panorama aksi bersama akan membuahkan potret – pertama – kuatnya rasa kebersamaan antara anggota masyarakat pro peduli kaum dhuafa. Hal ini bisa mendorong ikatan emosi yang saling menyadari urgensi menolong sesama. Bahkan, kesadaran yang lebih jauh: memandang pentingnya ikatan untuk persatuan yang lebih nyata untuk membangun perubahan yang lebih baik bagi kepentingan masyarakat dan atau daerahnya. Dampak pandemi saat ini, sungguh berarti bagi kita yang telah tertempa rasa kemanusiaan. Tak bisa dipungkiri, sangat boleh jadi, kita harus berterima kasih pada perintah Allah tentang puasa di bulan suci Ramadhan ini, karena kualitas empati kemanusiaannya — boleh jadi — jauh lebih kuat. Inilah manfaat nyata kualitas sikap keberagamaan bagi lingkungan umat manusia.
Kedua, kaum dlu`afa merasa punya saudara yang tergetar melihat derita orang lain sejalan dengan posisinya sebagai sesama umat manusia dan berstatus sebangsa dan setanah air. Refleksinya, mereka bukan hanya akan berterima kasih, tapi akan sangat menghormati dan menjunjung tinggi suadara-saudaranya yang peduli terhadap nasib dirinya.
Dari dua panorama aksi dan reaksi itu, setidaknya kita dapat mencatat dua hal mendasar. Yaitu – pertama – rasa kemanusiaan yang demikian menguat dalam diri kaum yang peduli itu. Jiwa patriotiknya (menolong terhadap sesama) muncul karena tidak rela menyaksikan saudara-saudara di sekitarnya menderita pangan. Getaran ini pasti akan menguat ketika terjadi musibah, meski bukan di sekitarnya. Dengan demikian, siapapun yang dalam radius jauh sekalipun – selagi tercatat menderita secara sosial-ekonomi – akan sama mendapat perhatian khusus. Inilah solidaritas sosial yang tentu menjadi modalitas politik tersendiri, yakni persatuan bangsa.
Di sinilah, resonansi kepedulian yang mampu bergema ke wilayah yang lebih luas. Ia atau mereka akan melirik penderitaan saudara-saudaranya sebagai satu bangsa, bahkan lebih luas dari itu: bangsa-bangsa di dunia ini yang memang dalam posisi lagi menderita. Karena itu, kita saksikan dan itu bukanlah aneh ketika di antara kaum yang peduli itu terpanggil untuk membantu kaum muslim Rohingya, Palestina dan bangsa-bangsa lain yang sedang terkena musibah, karena faktor apapun.
Kita perlu mencatat dengan jernih, sikap empati yang berhasil terbangun karena keikhlasan berpuasa itu sungguh konstruktif untuk negeri kita tercinta ini. Bahkan, ada urgensi bagaimana merembeskan nilai-nilai puasa untuk kepentingan keindonesiaan. Urgensinya sejalan dengan fakta sosial-politik yang memang harus disadari bersama bagaimana menghadirkan suasana atau iklim yang sama-sama terpanggil untuk menjaga negeri ini.
Bagi kaum shaimin-shaimat yang telah “lulus” dalam menjalankan ibadah Ramadhan tidak akan berat bagaimana memenuhi panggilan persatuan untuk Indonesia ini. Mental yang tertempa selama Ramadhan ini – sekali lagi, jika ia menjalani puasa dengan penuh iimaanan dan ihtisaaban – ia atau mereka akan mengembangkan lebih jauh bagaimana membumikan rasa solidaritas: dari dimensi sosial ke arena politik. Potensi ke sektor politik menjadi lebih terdukung lagi sejalan dengan tradisi `idul fitri di Nusantara ini. Itulah sikap saling minta maaf dan bersalaman. Tradisi ini juga dikemas lebih jauh dalam bentuk halal bihalal.
Sekali lagi, spiritualitas nilai-nilai Ramadhan dan tradisi sosial `idul fitri sungguh sangat mendasar maknanya untuk kepentingan pembangunan rasa keindonesiaan. Sebuah rasa untuk saling menjaga kedaulatan negeri ini dengan cara menjauhi gesekan antar sesama hanya karena perbedaan, saling menyadari bahaya konflik vertikal-horizontal dan saling menyadari bagaimana memandang Indonesia ke depan. Inilah ekspresi rasa cinta kepada negeri ini, sebagaimana rasa cinta kita dalam menyambut bulan suci Ramadhan.
Sebagai komponen keluarga besar Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI) mengajak masyarakat luas, hayo kita buktikan, bulan Ramadhan yang mengantarkan kita kembali ke fitrah harus mampu melahirkan komitmen dan aksi baru untuk Indonesia yang jauh lebih bercahaya. Inilah di antara bukti rasa keindonesiaan kita. Insya Allah, komitmen kuat ini merupakan bagian dari artikulasi taqwa yang memang menjadi ujung hasil umat berpuasa. Taqwa sebagai wujud kesalehan individu sekaligus kesalehan sosial dan politik yang memang dibutuhkan negara saat ini. (@l
Jakarta, 7 Mei 2021
Leave a Reply