Oleh: Moh. Husen
Tema apa ya yang kira-kira aktual hari-hari ini? Pemilu 2019? Provokasi politik? Medsos bermartabat? Perang terhadap hoax? Waspadai belajar agama di medsos jangan hanya ada label fan page semacam “belajar Islam” langsung dianggap pasti paling benar? Membangun masa depan sebuah negara? Pendidikan? Kesehatan? Narkoba? Dugem? Mabuk kuliner? Mabuk shopping? Bid’ah, kafir, musyrik? Atau apa ya?
Ah, yang tiba-tiba muncul dibenak saya adalah bahwa saya mencintai D. Jangan bertanya kenapa kok tidak A atau B atau C? Jangan sok kepo ingin tahu banget siapakah D yang saya maksud? Pokoknya D. I Love you D. Saya mencintai D dan jangan macam-macam dengan D. Segera saya akan pasti sensitif berat jika ada yang ngomong nggak enak mengenai D.
Andai D ada salah, cinta saya tak akan berkurang sedikitpun. Bila ada yang membicarakan fakta negatif mengenai D sekalipun, D tak perlu membela diri seperti khalayak pada umumnya: “Yang mereka omongkan itu selalu masalalu saya…” Andai D dianggap salah, saya justru akan membelanya lebih ekstrim: “Apa saja yang dilakukan D pukul 09.00, maka begitu menginjak pukul 09.01 segala sesuatu yang dilakukan D menjadi masalalu.
Apakah kalian akan selalu membesar-besarkan masalalu? Bahkan kebaikan yang kalian kerjakan, begitu waktu dalam kehidupan ini melangkah sedetik saja, maka sudah menjadi masalalu. Masalalu kalian adalah bayi, apakah kalian hingga detik ini juga bayi?”
Seorang tokoh nasional yang senantiasa bergerak menghindari fenomena ketokohan itu sendiri, melakukan apa saja tidak demi karier pribadi dan popularitas, sehingga saya menjadi sungkan untuk menyebutkan nama beliau–suatu ketika tatkala mau naik podium, sang moderator menyebutkan sekian dan sederet predikat serta prestasinya, begitu sang tokoh nasional di podium langsung menepis: “Ah, semua yang disebutkan oleh moderator kita tadi itu adalah masalalu saya. Sedangkan hidup ini begitu dinamis dan bergerak terus…” Apa salahnya D sehingga saya kok tidak harus mencintainya? Kalau pun D diaggap, sekali lagi dianggap, ada salahnya, bukankah pasti sudah menjadi masalalu? Kita hidup di masalalu atau di masakini atau di masa depan? Adakah masalalu bisa diubah?
Bukankah yang sangat mungkin bisa diubah hanyalah masakini dan masa depan? Bukankah masalalu hanya diperlukan sebagai pelajaran dan bekal untuk masakini dan masa depan kita? Bukankah kita sudah sangat bosan dengan “petuah” semacam ini? Siapakah D yang saya maksud ini? Apakah D adalah Dunia? Jika D adalah Dunia, bukankah tokoh nasional yang saya rahasiakan namanya tadi pernah menyisipkan syair Indonesia dalam shalawat Sidnan Nabi: “Siapa yang cinta, siapa yang cinta kepada Dunia.
Dunia akan, Dunia akan meninggalkannya. Dunia akan, Dunia akan memusnahkannya…” Lantas apakah saya akan bermain bersilat kata: “Itukan cuma peringatan bagi pecinta Dunia. Bukan larangan mencintai Dunia. Masak dunia mau kita hancurkan, kita bom, kita ratakan semuanya sejajar dengan tanah?” Demikianlah saya mencintai D.
Meskipun rasanya sangat begitu lebay jika saya harus mengakui bahwa D yang saya maksud adalah memang Dunia. Bahkan para Nabi juga diturunkan ke Dunia untuk mengawal dan menemani manusia. “Silahkan mencintai Dunia, tapi ingat kalian akan berpisah dengannya,” begitu biasanya para ustadz menasehati kita. Dan celakanya tetiba hati ini protes keras: “Mau bilang mencintai Dunia saja disingkat mencintai D? Mau kamu apa? Bikin penasaran orang dan ingin supaya dibaca orang, begitu? Goblok kamu! Fuck you!!!”
(Banyuwangi, 9 November 2018)
Leave a Reply