Perempuan Akar Rumput Gresik Suarakan Pentingnya Akses Informasi dalam Pembangunan

Gresik (SurabayaPost.id)— Minimnya akses informasi dan kuatnya budaya patriarki disebut menjadi hambatan utama perempuan untuk terlibat dalam proses pembangunan di tingkat desa hingga daerah. Hal ini mengemuka dalam sebuah dialog yang digelar di Universitas Gresik (Unigres) pada Kamis (11/12/25), melibatkan Sekolah Perempuan, aktivis akar rumput, akademisi, serta perwakilan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Kabupaten Gresik.

Elis Setyowati dari Sekolah Perempuan mengungkapkan bahwa selama ini banyak perempuan menganggap keterlibatan dalam ruang publik tidak penting karena mereka terkungkung pada peran domestik. “Perempuan menganggap yang penting itu ada di rumah tangga. Mereka mengalami banyak keterbatasan. Mereka tidak mendapatkan informasi, tidak punya akses, dan banyak yang tidak sadar bahwa mereka sedang mengalami masalah,” ujarnya.

Ia mencontohkan persoalan yang kerap dihadapi perempuan, mulai dari pernikahan usia anak, pendidikan rendah, hingga pekerjaan tidak layak. Menurut Elis, Sekolah Perempuan menjadi ruang alternatif bagi perempuan akar rumput agar mampu memahami perencanaan pembangunan dan berani terlibat dalam Musrenbang desa.

“Selama ini kami tidak pernah diundang. Bahkan untuk suara bagi diri kami sendiri pun sulit,” tuturnya. Perjuangan itu kini mulai terlihat hasilnya. Elis mengakui dirinya telah mampu mempertahankan alokasi Dana Desa untuk kegiatan pembelajaran perempuan. “Setiap tahun dana itu bisa bertahan. Saya berani bersuara,” tegasnya.

Elis juga menceritakan pengalamannya ketika ditolak hadir dalam Musrenbang desa. Pemerintah desa berdalih perempuan hanya bagian konsumsi. “Saya bilang, kami tidak butuh konsumsi. Yang penting kami bisa hadir dan mengusulkan,” ujarnya. Namun usulan yang dibawa kerap tidak dibacakan sehingga mereka harus mencari informasi lanjutan hingga tingkat kecamatan dan kabupaten.

Seorang fasilitator dialog menegaskan bahwa hambatan perempuan bukan hanya minimnya informasi, tetapi juga perspektif pembuat kebijakan yang belum inklusif. “Ketika perempuan akar rumput sudah terkapasitasi, tantangannya justru datang dari pembuat kebijakan yang belum punya perspektif pembangunan yang setara,” ucapnya.

Dari sisi pemerintah, Dr. Riyan Permana Suwanda dari Dinas PMD Kabupaten Gresik menegaskan bahwa pemerintah desa wajib membuka ruang partisipasi setara bagi seluruh kelompok, termasuk perempuan akar rumput.

“Partisipasi perempuan bukan tambahan, tapi keharusan. Pemerintah desa harus memastikan bahwa Musrenbang itu inklusif, transparan, dan memberi ruang bagi kebutuhan perempuan untuk disampaikan,” tegas Dr. Riyan.

Ia menambahkan bahwa peningkatan kapasitas perempuan melalui komunitas seperti Sekolah Perempuan harus diiringi dengan komitmen pemerintah desa untuk benar-benar menindaklanjuti aspirasi. “Perempuan membawa isu konkret terkait pendidikan, kesehatan, perlindungan anak, dan ekonomi rumah tangga. Kalau suara itu tidak masuk dalam dokumen perencanaan, pembangunan desa tidak akan adil,” jelasnya.

Sementara itu, dari perspektif akademisi, Budi menekankan pentingnya pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan kebutuhan perempuan sebagai penjaga generasi masa depan. Kampus, menurutnya, memiliki peran strategis sebagai pembaru narasi dalam melawan budaya patriarki yang masih kuat di Gresik.

Dialog di Unigres tersebut menegaskan kembali bahwa RPJMD responsif gender harus diwujudkan melalui pembangunan daerah yang adil, tanpa diskriminasi, serta memastikan kebutuhan perempuan tersuarakan di semua lapisan pengambilan keputusan.

Baca Juga:

  • Pemkab Gresik Perkuat JDIH, Dorong Literasi Hukum dan Akses Informasi Publik
  • Pemkab Gresik Konsisten Perkuat JDIH hingga Desa, Raih Prestasi Provinsi dan Tingkatkan Akses Informasi Hukum
  • Bupati Gresik Tegaskan Paradigma Pelayanan Dasar: APBD 2026 Harus Kembali ke Rakyat
  • Dinkes Gresik dan KWG Satukan Visi, Gus Yani Dorong Sinergi Menuju Gresik Sehat