Oleh: Moh. Husen
Membicarakan akun media sosial, terutama akun medsos yang abal-abal alias palsu dengan identitas yang tak jelas terutama dalam tahun-tahun politik 2018-2019, mungkin memang tak semeresahkan membicarakan kemiskinan, kesulitan ekonomi, pengangguran di jalan-jalan, cari makan susah atau fenomena hidup makin sendiri-sendiri alias nafsi-nafsi dan enggan berbagai, contoh keburukan ada dimana-mana, dan sebagainya, dan seterusnya.
Juga sangat jauh dari duka yang mendalam dan memprihatinkan atas terjatuhnya pesawat Lion Air JT-610 di daerah Karawang Jawa Barat, 29 Oktober 2018. Semoga penumpang yang meninggal dunia khusnul khatimah. Keluarga yang ditinggalkannya dianugerahi ketabahan dan kesabaran oleh Allah. Melalui medsos abal-abal, seseorang bisa makin leluasa menyebarkan apa saja tanpa harus malu dan khawatir.
Mulai dari konten porno, berita hoax, kabar yang meresahkan masyarakat terutama tragedi penculikan anak-anak yang ternyata sangat hoax, cuilan-cuilan sadis organ korban pembunuhan yang sengaja direkayasa, hingga ujaran kebencian antar kelompok, partai politik, ormas, tokoh masyarakat, dan lain-lain, terutama dalam tahun-tahun politik seperti sekarang ini. Kemudian dengan mudah dan cepatnya dishare kemana-mana.
Lantas apakah para medsos mania itu perlu kita tuturi berulang-ulang agar memaparkan kesopanan, rasa malu dan etika, kedamaian, kebaikan di akun medsosnya masing-masing karena dilihat banyak orang, terutama anak-anak? Atau ada juga yang begini: “Maksud kamu apa, sudah nikah kok tapi dalam profil medsos tak dicantumkan? Apakah mau cari lagi atau gimana?” Untuk yang terakhir itu wilayahnya agak privat dan sensitif. Jadi, bagi yang mau ketawa cekikikan karena mungkin punya pengalaman di “kartu kuning” seperti itu, ketawanya dalam batin saja.
Jangan sampai terdengar siapa-siapa. Entahlah. Memang semestinya kondisi kekinian yang salah satunya hampir kebanyakan setiap personal memiliki akun medsos sendiri-sendiri, semestinya memang makin mempermudah siapa saja untuk melakukan berbagai hal yang positif.
Dari menulis opini, menyebarkan qoute kata-kata bijak, meme-meme yang kocak dan lucu-lucu, hingga bisnis online. Bahkan para guru atau dosen bisa mendidik akhlakul karimah dan ilmu bagi para murid-muridnya melalui akun medsosnya. Bukankah ini sebuah kemajuan?
Tapi konon hidup adalah proses. Jadinya jangan tegang. Kita lawakkan saja, kita bikin guyon. Hidup sudah sedemikian rumit, masak kita nggak boleh guyon. Misalnya kalau ada yang suka memaki di medsos, ya siapa tahu setelah memaki dia bisa merasakan bahwa memaki itu buruk.
Sehingga memaki merupakan proses dia menuju pencerahan untuk merasakan bahwa memaki itu menyakitkan. Ini siapa tahu lho ya, jangan marah, santai saja. Yang dimaki juga berdalih: “Saya sedang berproses, saya ini manusia biasa, jangan dikecam-kecam kayak gitu dong…” So, ketawa sajalah. Tak perlu baper. Semuanya menjadi lucu karena menggunakan dalih berproses. Ada yang berproses sungguhan. Ada yang sombong-sombongan. Kita bukan Maha Pakar menilai orang. Kita bisa sangat mungkin bisa salah melihat yang tampak “kuman” baik di medsos maupun di kehidupan nyata kita karena kita tak memiliki Teleskop Agung dari Sang Maha Teliti dan Maha Mengetahui.
Lantas apakah kita akan membuang-buang tenaga untuk “kelucuan” fenomena medsos? Kalau menurut saya pribadi, mending kita menjaga diri kita sendiri dan medsos kita sendiri-sendiri alias qu anfusakum wa medsoskum saja. Mending kita kampanye kebaikan melalui medsos kita masing-masing. Minimal tidak menambahi perkara.
Tak perlu mengurus orang lain. Meskipun celakanya, medsos saya rata-rata kebanyakan berisi foto-foto ngopi-ngopi terus. Beda dengan teman-teman yang selalu menyuguhkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat untuk saya baca-baca.
Selebihnya, jangan lupa ngopi…..!
(Banyuwangi, 3 November 2018)
Leave a Reply