Oleh; Moh. Masrur Raziqi*
Penulis Adalah Guru di SDN Bendogerit 1, Sekaligus Sekretaris KKG PAI Kota Blitar.
Sejak ditetapkannya darurat Covid-19 tahun lalu oleh Presiden Jokowi, di saat itu pula terjadi perubahan berbagai lini kehidupan secara fundamental. Pendidikan yang menjadi aspek terpenting dalam pembangunan SDM, tak luput dari efek ini. Praktis, berbagai kegiatan pendidikan yang bersifat kontak fisik seketika dihentikan; mulai dari pembelajaran tatap muka, kegiatan ekstra kurikuler, kookurikuler, hingga seminar pendidikan dihentikan.
Akibatnya, sengkarut masalah di kalangan peserta didik kian terasa. Gejala learning loss begitu kentara tatkala dalam beberapa kesempatan pembelajaran. Setidaknya ada dua ciri yang paling dominan, diataranya; Menurunnya kecerdasan intelektual dan melemahnya kepekaan sosial. Menurunnya kecerdasan intelektual ini dapat dilihat dari hasil belajar siswa yang kian mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya, baik nilai ulangan harian, PTS (Penilaian Tengah Semester), ataupun PAS (Penilaian Akhir Semester). Selain itu, daya konsentrasi siswa juga terlihat melemah ketika durasi pembelajaran melebihi 2 jam tatap muka.
Kedua, melemahnya kepekaan sosial. Tradisi tegur-sapa yang dahulu melekat, kini seakan mulai hilang. Siswa terlihat canggung untuk menyapa gurunya saat bersua. Penulis meyakini gejala ini juga dirasakan oleh semua insan guru di seluruh Indonesia. Dalam kajiannya, Homans menjelaskan, terjadinya perubahan sosial diakibatkan oleh fakta sosial yang sedang terjadi saat itu juga. Artinya, perubahan psikologis siswa saat ini, merupakan implikasi dari wabah Pandemi Covid-19 yang terus berkepanjangan.
Bila kondisi ini dibiarkan tetap berlanjut, maka mimpi buruk generasi Indonesia ke depan kian nyata. Padahal Jika menilik ke belakang, di dalam sistem pendidikan nasional kita, sebenarnya telah menginternalisasi cita-cita luhur bangsa Indonesia secara universal. Yang mana, pendidikan diharapkan mampu mengembangkan kemampuan dan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang religius, mandiri, kreatif dan bertanggung jawab.
Sedangkan di era pandemi ini, guru mengalami kesulitan mewujudkannya karena dibatasi oleh berbagai problem dan aturan yang mengikat; phsycal distancing. Akibatnya tujuan pembelajaran dengan ketercapaian pembelajaran mengalami mengalami diskrepansi. Keberadaan guru dalam membimbing siswa, menanamkan karakter pada peserta didik, begitu dirindukan oleh orang tua. Karena betapapun mutakhirnya tekhnologi pembelajaran, tidak akan dapat menggantikan posisi guru yang menjadi aktor sentral pembentuk karakter siswa.
Menurut hemat penulis, terdapat alasan kuat mengapa peran guru begitu sentral di mata peserta didik; Pendekatan yang dilakukan oleh guru. Sebagai seorang pendidik, guru tidak hanya sebagai penyampai materi saja. Melainkan lebih dari itu, guru juga melakukan berbagai pendekatan emosional terhadap siswa, sehingga hubungan emosional antara guru dan siswa semakin erat.
Kedekatan hubungan emosional inilah yang menjadi akomodasi bagi guru dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pendidik. Yakni sebagai penyampai materi; motivator siswa melalui pituturnya, konselor bagi siswa terhadap berbagai problema yang di alaminya. Tak khayal, sosok guru kerap dijadikan sebagai figur teladan bagi siswa. Segala bentuk sikap dan pengetahuannya merupakan obyek yang akan diinternalisasi menjadi rujukan bagi siswa dalam berucap maupun bersikap. Sehingga pada titik ini kita sepakat bahwa kebearadaan guru tidak terganti oleh media apapun.
Rekonstruksi Pendidikan di Era Pandemi
Situasi pandemi yang kian kompleks, mengharuskan adaptasi kebiasaan baru dari berbagai lini sektor pendidikan; Baik instrumen pendidikan, metode pembelajaran, hingga model evaluasi pembelajaran. Kepala Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI menghimbau melalui Surat Edaran Nomor 15 Tahun 2020 tentang pedoman penyelenggaraan belajar dari rumah pada masa darurat penyebaran Covid-19.
Surat Edaran tersebut menjelaskan bahwa pelaksana pendidikan harus mampu menyesuaikan diri tengah situasi pandemi secara cepat dan simultan. Tujuannya tak lain agar kegiatan pembelajaran tidak mengalami kemandegan yang mengakibatkan menumpulnya intelektualitas dan kreativitas siswa. Maka untuk menyikapi situasi tersebut, Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) di nilai paling relevan dalam menjawab tantangan ini.
Terdapat tiga solusi yang penulis tawarkan; Pertama, pemanfaatan platform digital. Guru dapat memanfaatkan beragam platform digital untuk menyampaikan materi pembelajaran terhadap siswa secara interaktif. Seperti, zoom, google form, dll. Sedangkan untuk merangsang ketertarikan siswa, guru bisa dapat mengkreasikan suguhan materinya dengan menggunakan aplikasi edit video seperti kinemaster supaya siswa lebih terarik dan tidak menjenuhkan.
Kedua, meningkatkan peran orang tua. Jeda sekolah yang begitu lama, membuat peran dan tantangan orang tua semakin bertambah karena fungsi guru disekolah, kini teralih kepada orang tua. Saat ini orang tua dituntut mampu menjadi pendamping belajar siswa yang handal. Menjadi tutor dalam memahami materi, menjadi motivator dalam dalam belajar, dan begitu seterusnya. Oleh karena, orang tua harus intens dalam mengawasi serta mengamati perkembangan anak secara penuh; baik segi psikologis, intelektual, maupun perkembangan religiusnya.
Ketiga, membangun pola komunikasi yang sinergis antara guru, siswa, dan orang tua. Salah satu kunci efektivitas pelaksanaan PJJ ini adalah terbangunnya komunikasi yang sinergis antara guru, siswa, dan orang tua. Hal ini dikarenakan guru tidak lagi bisa bertatap muka secara langsung terhadap siswa. Sehingga guru sulit menerka perkembangan peserta didik dalam memahami materi yang telah disampaikan, karena kompetensi dari masing-masing siswa begitu beragam. Terlebih dalam kacamata yang lebih luas, keberhasilan PJJ ini bergantung pada berbagai faktor; letak demografi, kondisi sosial, dan kesadaran individual. Karenanya dengan pola komunikasi yang sinergis, diharapkan pelaksanaan PJJ ini bisa menjawab tantangan pendidikan saat ini.
Diakui atau tidak, faktanya pemberlakukan phsycall distance yang begitu lama, membuat komunikasi sosial semakin merenggang. Oleh karena itu, momentum Pembelajaran Tatap Muka (PTM) yang baru saja diberlakukan ini, haruslah ditanggapi guru secara reaksioner, untuk mengejar berbagai PR selama PJJ lalu. Terutama PR guru dalam mengembangkan potensi siswa. Dengan menggalang kekuatan, menyamakan persepsi, melakukan kolaborasi aktif antara pemerintah-guru, dan wali murid, diharapkan tantangan dalam menumbuh-kembangkan potensi intelektualitas, religiusitas, maupun tanggung jawab sosial siswa intelektualitas, religiusitas, maupun tanggung jawab sosial siswa dapat terjawab sesuai harapan. (#)
*Penulis; Guru di SDN Bendogerit 1, Sekaligus Sekretaris KKG PAI Kota Blitar.
Leave a Reply