
Gresik (SurabayaPost.id)– Kasus mafia tanah kerugian miliaran rupiah otak pelakunya bergelar doktor hanya dituntut 2 bulan penjara di vonis 1 bulan penjara plus bonus tahanan kota. Kasus yang di sidangkan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) dan Pengadilan Negeri (PN) Gresik ini tentu tidak sejalan dengan tema peringatan Hari Lahir Kejaksaan ke-80 : “Transformasi Kejaksaan Menuju Indonesia Maju”.
Kasus dengan nomor perkara 272/Pid.B/2023/PN Gresik itu menyeret terdakwa yang bergelar doktor. Yakni Dr H Achmad Wahyudin, kakak kandung korban sendiri, bersama tiga orang lainnya. Pudji Djulianto, Ainul Churi, dan Okfin Al Choirini. Mereka berkolaborasi melakukan pemalsuan dokumen negara mulai dari KTP, KK, Surat Nikah hingga Akta Kuasa Jual, demi menjual dua bidang tanah milik H Zainal Abidin dengan sertifikat SHM No. 1543 dan No. 1547 seluas total 61.860 m2 di Kebonagung, Ujungpangkah, kepada PT Spindo dengan harga Rp 9,27 miliar. Transaksi itu berlangsung pada April 2022 dan seluruh pembayaran ditransfer ke rekening pribadi Wahyudin.
Perkara ini semestinya dijerat dengan pasal berat, yakni Pasal 385 ayat (1) KUHP, Pasal 263 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dan Pasal 266 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dengan ancaman hukuman hingga 7 tahun penjara. Namun Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Gresik justru menuntut sangat ringan, hanya dua bulan penjara. Ironisnya, majelis hakim PN Gresik kemudian menjatuhkan putusan lebih ringan lagi, yakni satu bulan penjara dengan status tahanan kota. Putusan ini langsung dianggap sebagai tamparan keras bagi rasa keadilan korban dan publik yang mengikuti kasus tersebut.
Zainal Abidin, korban sekaligus pemilik tanah, mengaku kecewa dan merasa dikhianati. Baginya, pemalsuan dokumen negara bukan perkara sepele, apalagi menyangkut harta bernilai miliaran rupiah. Ia menegaskan tidak pernah berdamai dengan para terdakwa, namun dalam persidangan justru dipelintir seolah sudah ada perdamaian.
Kekecewaan kian bertambah ketika istrinya, Hj Hunaifa, dipaksa menyaksikan hakim meminta suaminya bersalaman dengan terdakwa di ruang sidang. Padahal, korban menolak bersalaman karena tidak ingin memberi kesan bahwa mereka telah memaafkan pelaku.
“Itu adalah moment yang direkayasa untuk dijadikan alasan hakim meringankan hukuman terdakwa,” kata Hunaifa. Selasa (4/9/25).
Tak hanya itu, ungkap Hunaifa, jalannya persidangan sarat dengan kejanggalan. Sidang yang dijadwalkan pukul 09.00 kerap sudah selesai ketika keluarga korban tiba lebih awal. Penundaan sidang dilakukan berulang kali dengan alasan hakim sakit tanpa ada hakim pengganti. “Persidangan itu lebih menyerupai sandiwara ketimbang proses mencari keadilan. Ia menyebutnya sebagai “sidang siluman” yang seakan-akan hanya formalitas belaka,” tandasnya.
Kekecewaan ini memantik Zainal sebagai prinsipal kemudian melaporkan kasus ini ke Komisi Kejaksaan RI. Tak berhenti di situ, aduan juga telah sampai ke Komisi Yudisial. Saat dikonfirmasi salah satu petugas KY ini akan segera mempelajari berkas perkara dan menjanjikan turun langsung ke Gresik. Langkah hukum ini bukan sekadar kepentingan pribadi, melainkan demi menjaga marwah penegakan hukum agar tidak menjadi bahan olok-olok publik.
Ironinya, sebelum luka itu sembuh, kasus serupa kembali menimpa korban pada 2024 dengan modus identik. Kali ini terkait tanah tambak di Desa Golokan, Sidayu, yang dijual ke Koperasi PKPRI. Nama Wahyudin kembali muncul dengan jaringan yang sama. Bedanya, pada kasus ini para terdakwa benar-benar ditahan.
Kasus mafia tanah di Gresik ini memperlihatkan jurang antara ancaman hukum di atas kertas dengan realita di persidangan. Bagaimana mungkin pemalsuan dokumen negara, yang jelas mengancam kepercayaan publik pada otentisitas administrasi negara, hanya dituntut dua bulan penjara dan diputus satu bulan tahanan kota? Bagaimana mungkin lembaga peradilan yang mestinya menjadi benteng terakhir keadilan justru memberi karpet merah bagi para pelaku kejahatan dengan dalih perdamaian yang tidak pernah ada?
Di tengah gegap gempita peringatan Hari Lahir Kejaksaan ke-80 yang penuh jargon transformasi, kasus ini justru menegaskan bahwa wajah penegakan hukum masih jauh dari kata bersih. Kejaksaan dan pengadilan seolah abai terhadap derita korban dan mengabaikan pesan moral bahwa hukum adalah panglima. Keadilan seakan menjadi barang mahal yang hanya bisa dibeli oleh mereka yang punya kuasa dan jaringan. Sementara bagi rakyat kecil seperti Zainal, keadilan terasa kian menjauh, dan pengadilan berubah menjadi panggung yang lebih sibuk menjaga citra daripada menegakkan kebenaran.