MALANG (SurabayaPost.id) – Malam Ramadan di dusun Glanggang Kulon, Desa Glanggang, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang, Jawa Timur, terasa meriah.
Suara tabuhan Jidor dari Langgar (Mushola) Waqof Al Ridho, terdengar merdu. Tabuhan Jidor itu dilakukan jamaah usai salat Tarawih.
Mereka menyenandungkan salawat nabi dengan iringan tabuhan Jidor dan alat kentongan.
Sementara beberapa jamaah lain berkumpul sembari bersalaman. Disamping itu, sebagian mereka bergantian menabuh Jidor menggunakan pemukul kayu.
Imam Syafii, yang saat itu berpeci hitam dengan memakai kaos biru dengan cekatan memukul alat yang terbuat dari drum warna biru dengan menggunakan kayu. Sementara Azis memakai kopiah putih dengan kemeja kotak menabuh Jidor. Sedangkan Hendra memakai kemeja warna putih memukul kentongan dengan menggunakan kayu sebagai pemukul.
Ia tak ingin menyia – nyiakan kesempatan yang hanya datang di Bulan Ramadan itu.
Imam bersama Hendra dan Azis dan anak – anak lainnya, bersemangat menabuh Jidor dan kentongan dengan dua alat pemukul di kedua tangannya. Ia tampak lihai menabuh.
Gerakan tangannya sangat cepat, namun teratur. Pukulannya keras. Keringatnya terkuras.
Tapi ia tak mengurangi volume pukulannya. Semangatnya terus membara. Tabuhannya menghasilkan irama syahdu untuk mengiringi puji-pujian kepada Rasul.
“Ini tradisi setelah Tarawih, jamaah berdiri salawatan dan bersalam – salaman, kemudian yang di luar menabuh jidor sampai sekitar 5 -10 menit, ” kata Imam Syafii, Rabu (06/04/2022).
Kegiatan menabuh Jidor untuk mengiringi salawat sudah menjadi tradisi di desa Glanggang. Kegiatan itu dilakukan usai jamaah melaksanakan salat tarawih. Khususnya di Mushola (Langgar) Waqof RT 03 RW 02 Desa Glanggang.
Tak hanya di Mushola Al Ridho, tradisi ini ternyata masih dilestarikan oleh sebagian warga. Setiap habis Tarawih, suara bedug seakan bersahutan dari mushola dan masjid satu dengan lainnya.
Lantunan salawat di dalam mushola pun menjadi lebih bersemangat karena diiringi alunan Jidor yang menggema.
“Menabuh Jidor ada tekniknya. Ada ritme pukulannya. Saya tidak ada yang mengajari, cuma lihat yang sudah dulu bisa, ” katanya.
Imam, Hendra serta Abdul Azis bersyukur tradisi itu masih lestari hingga sekarang. Hanya ia sedikit prihatin karena tradisi itu berangsur ditinggalkan.
Anak-anak remaja kini lebih menyukai bermain gadget di banding mengisi kesibukan di masjid.
Saat malam habis tarawih, banyak remaja mencari tempat yang nyaman untuk bermain game di android.
Sehingga masjid atau mushola menjadi lebih sepi saat malam Ramadhan.
“Anak sekarang suruh Tarawih saja susah. Kalau malam nongkrong di pojok-pojok Desa, mainan HP, ” tandasnya.
Untuk itu, ia pun berharap agar anak remaja sekarang untuk lebih aktif ke masjid atau Mushola di Bulan Ramadhan. (*)
Leave a Reply