Tidak Ada Kemerdekaan Petani Tanpa Reforma Agraria Sejati

Dian Kresnawati (Pengurus DPP Pemuda Tani HKTI)

Oleh: Dian Kresnawati (Pengurus DPP Pemuda Tani HKTI)

Hari Tani yang dirayakan setiap tanggal 24 September, selalu menjadi momentum bagi segenap insan tani. Harapan hadirnya keadilan dan kesetaraan (merdeka sejati) selalu dipupuk meski dalam situasi pandemi dan terpuruknya kondisi ekonomi.

Petani adalah subyek penting dari Reforma Agraria (RA), bahkan mungkin yang paling penting. Ketimpangan yang besar di dalam distribusi tanah dan alokasi sumberdaya agraria masih terus berlangsung. Terutama pihak-pihak dengan kekuasaan besar di sektor ekonomi dan penguasaan sumberdaya agraria menganggap ketimpangan tersebut merupakan bagian dari perkembangan ekonomi. Menurut pandangan ini pembesaran skala ekonomi, produksi dan penguasaan sumberdaya agraria akan memacu efisiensi, produktifitas, pembaruan teknologi dan pada akhirnya mendorong perkembangan ekonomi lebih cepat. Dalam konteks ini petani kecil (small holders, peasant) adalah fenomena masa lalu, dan wajar bila hilang dari panggung ekonomi.

Bagi pendukung RA, ketimpangan merupakan pertanda ekonomi tidak sehat, memperlemah fundamen ekonomi nasional, dan menghalangi demokrasi serta menjadi ancaman kelestarian lingkungan. Petani adalah produsen kecil, yang bila diberi ruang (penguasaan atas sumberdaya) dan kesempatan (teknologi, modal, pasar), akan menjadi produsen pertanian yang ulet, inovatif, kreatif dan dapat diandalkan. Karena sistem pertanian petani kecil terintegrasi dengan ekosistem lokal, dengan kebutuhan dan budaya setempat, maka dia akan mempertahankan keragaman ekosistem dan keragaman hayati, serta memperthankan keragaman budaya, sehingga secara sosial dan ekologis sustainable. Pada gilirannya kekuatan ekonomi perdesaan akan menstimulus sektor jasa dan industri manufaktur pada berbagai level.

Petani kecil di dalam konteks ekonomi politik yang ada, bukan sebagai kategori pelaku ekonomi masa lalu yang sedang runtuh dan perlu dibantu agar survive. Namun sebagai pelaku ekonomi yang berpotensi berkembang menjadi tulang punggung ekonomi nasional, yang berada di dalam tekanan ekonomi dan politik kapitalisme global. Di dalam konteks ini, Reforma Agraria mendapatkan relevansinya sebagai salah satu solusi mengembalikan jati diri petani kecil sebagai produsen kecil dengan segala potensinya.

Petani pada umumnya adalah golongan yang lebih dari golongan penduduk lain, mengandalkan penghidupannya dari sumberdaya agraria. Dalam kondisi demikian, petani merupakan produsen pangan dan produk pertanian yang berciri lokal, dan mempunyai kedudukan penting secara nasional.

Merujuk hasil Sensus Pertanian tahun 2013  Jumlah petani Indonesia 26.14 juta rumah tangga (RT). Dibandingkan dengan Sensus Pertanian tahun 2003 terjadi pengurangan jumlah rumah tangga petani sebesar 5.177.195 RT. Nyaris 5.000.000 RT adalah kategori petani miskin dengan rata-rata luas lahan yang dikuasai tahun 2013 seluas 0,89 ha, meningkat 118,80 persen dibandingkan tahun 2003 seluas 0,41 ha dan petani tanpa lahan. Sensus Pertanian yang sama memperlihatkan bahwa hanya golongan petani kaya (> 3 ha) jumlahnya meningkat, dengan 22.8%. Artinya terjadi proses konsentrasi penguasaan tanah, dengan pengorbanan petani miskin. Pertanyaannya, sektor mana yang menyerap 5 juta RT petani miskin yang keluar dari sektor pertanian ini?

Hal yang makin mencengangkan, ditengah pandemic Covid 19, justru konflik agraria antara petani dengan perusahaan perkebunan besar malah meningkat. Jadi terlihat bagaimana terdesaknya petani miskin keluar dari pertanian, berjalan bersamaan dengan meningkatnya jumlah petani kaya serta ekspansi dari pertanian/perkebunan korporasi besar. Kejadian ini juga semakin paradoks sebab tidak disertai oleh pertumbuhan industri skala besar maupun industri rumah tangga atau UMKM di desa atau lapangan kerja lain, yang memberikan perspektif penghidupan yang baik bagi penduduk desa yang keluar dari pertanian. Petani gurem dan lendless yang tergusur dari pertanian, menjadi pasukan tenaga kerja berpendidikan rendah dan murah, bergentayangan di sektor informal atau membuka tanah negara/kehutanan di daerah frontier di berbagai sudut Indonesia secara ilegal.

Sebagai perbandingan dan renungan buat bangsa Indonesia di hari Tani 2021 ini, sejarah modern pertanian China memperlihatkan bahwa bila petani kecil dengan tanah sendiri yang sempit difasilitasi untuk berproduksi bebas, maka produksi dan keragaman hasil pertanian berlipat ganda dan kesejahteraan penduduk desa meningkat.

Dengan demikian, pemerintah penting dan mendesak dengan sungguh-sungguh untuk menempuh kebijakan: (1) menjalankan RA melalui pola klaster-klaster produksi pangan, ada penataan aset sampai akses; (2) penugasan dan penunjukan wilayah dan atau daerah untuk melakukan produksi komoditas berbasis kesesuaian lahan; (3) penguatan kelembagaan petani, pembentukan badan usaha milik petani; (4) memperkuat infrastruktur pertanian dengan cara: percepatan pembangunan proyek infrastruktur penunjang produksi; percepatan pembangunan dan perbaikan/renovasi irigasi; dan meningkatkan upaya fiskal dalam meningkatkan produktivitas yang beragam; (5) mendorong peningkatan pembiayaan sektor pertanian dengan cara: (a) perluasan dan peningkatan penyaluran KUR dan perluasan asuransi pertanian; (b) paket khusus pembiayaan untuk mengurangi ketergantungan fiskal; dan sebagainya. (@) 

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.