Oleh Farhat Abbas
Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)
Berbagi kebahagiaan. Itulah di antara makna mengapa kaum fakir-miskin – tanpa memandang perbedaan etnis, suku bangsa dan agama – mendapat prioritas zakat fitrah. Setidaknya, Surat At-Taubah : 60 menggambarkan prioritas sesuai urutan mustahiq dan tiadanya pembedaan sang penerima zakat fitrah itu. Yang perlu kita telaah lebih jauh, benarkah kaum fakir-miskin bahagia atas penerimaan zakat fitrahnya?
Tentu, siapapun kaum fakir-miskin senang atau bahagia saat menerima zakat fitrah pasca jalani ibadah Ramadlan. Tapi, apakah kebahagiaan itu bisa dirasakan dan dinikmati? Pertanyaan ini layak kita lontarkan sejalan dengan kondisi obyektif lainnya. Apakah zakat fitrah yang diterimanya langsung bisa dikonsumsi? Jika harus dimasak terlebih dulu, berarti harus ada biaya tertentu untuk mengolahnya agar sampai bisa dikonsumsi. Maka, jika ia tak memiliki biaya, berarti kebahagiaan penerima zakat fitrah hanya sebatas menerima, belum sampai pada satu titik: kenikmatan karena bisa mengkonsumsinya. Sisi lain, juga layak kita pertanyakan lebih lanjut, apakah kebahagiaan penerima zakat fitrah itu hanya sekejap, kakatakanlah sehari karena ketersediaan bahan pangan yang diterimanya?
Dua pertanyaan tersebut menggerakkan pertanyaan lebih lanjut, apakah konsep keberpihakan Islam terhadap kalangan fakir-miskin hanya sebatas itu? Tentu tidak. Kiranya, desaian keberpihakan (empati) terhadap kaum fakir-miskin lebih jauh dari itu. Sangat ideal bagi prinsip kemanusiaan. Itulah sebabnya kita dituntut untuk menggali makna proyektif zakat fitrah.
Terkait zakat fitrah, ada panduan hadits yang diriwayatkan Iman Bukhori-Muslim:
فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعاً مِنْ تَمَرٍ، أوْصَاعاً مِنْ شَعِيْرٍ، عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى، وَالصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ، وَأمَرَ بِهَا أنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوْجِ الناَّسِ إلى الصَّلَاةِ
(Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat Fitrah sebanyak satu sha’ kurma atau gandum untuk orang muslim, baik budak dan orang biasa, laki-laki dan wanita, anak-anak dan orang dewasa, beliau memberitahukan membayar zakat fitrah sebelum berangkat (ke masjid atau lapangan) untuk shalat ‘Iedul Fitri.
Jika menengok hadits riwayat Imam Bukhori-Muslim tersebut, kita jumpai jenis zakat fitrah yang dikeluarkan Rasulullah itu tsamar (buah kurma). Satu hal yang perlu kita garis-bawahi, apa yang dikeluarkan beliau untuk zakat fitrah adalah buah matang yang langsung bisa dinikmati tanpa biaya tertentu. Di sisi lain, kita juga bisa mempertanyakan, mengapa Rasulullah berzakat fitrah dengan kurma? Imam Bukhori dan Muslim – dalam sebuah hadits menyampaikan, “Barangsiapa yang pada pagi hari mengkonsumsi tujuh buah kurma, maka seharian pada hari itu, ia tak akan terkena racun ataupun sihir”.
Dengan kualitas zakat fitrah seperti ini, maka kita bisa menganalisis secara medik dan ekonomi bahwa kaum fakir pantas bahagia saat itu. Ia tidak dibayang-bayangi biaya harus mengolah lebih dulu barang zakat firtah itu. Juga, bahagia karena manfaatnya secara medis.
Memang, dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhori-Muslim itu, juga ditegaskan “….atau gandum (sya`iiran)” dengan ukuran sama: satu sha` (sekitar 2,5 kg). Perlu kita garis-bawahi, urutan kedua “atau” – secara lengguistik – merupakan cara pandang alternatif. Karena itu, cara pandang ini akan memenuhi standar yang dibenarkan jika memang obyek pertama zakat fitrah sulit didapat. Dengan mendasarkan analisis lengguistik ini, kita perlu mempertanyakan bagaimana kualitas obyek zakat fitrah gandum (sya`iiran), padahal belum mendahulukan kurma sebagai obyek zakat fitrah?
Pendekatan analisis gramatikal itu akan menampak urgensinya mengapa harusnya mendahulukan alternatif pertama, yakni tsamar (kurma). Ada konsekuensi logis yang memang mengandung implikasi sosial-ekonomi yang cukup mendasar. Memperkuat dan atau mengabaikan urutan pertama (kurma) dibanding gandum berdampak konstruktif dan destruktif bagi kepentingan umat manusia bahkan pembangunan sejumlah sektor lainnya. Jika commited untuk mendahulukan kurma, maka di sana akan terlihat penggaruh konstruktifnya. Dan sebaliknya jika mendahulukan gandum (pangan pokok) sebagai obyek zakat fitrah.
Kita tahu, kurma yang dikeluarkan Rasululullah dan hal ini kemudian kita kenal “kurma Nabi” atau kurma Ajwah. Jika kita refleksikan komoditas zakat fitrah ke zaman kini, kita jumpai nilai bahwa kualitas super kurma Ajwah Madinah sekitar Rp 350.000,- per kg. Berarti, jika kita ittiba` Rasul, zakat fitrah sekitar Rp 875.000,- per muzakki fitrah. Sementara, jika kita mengambil standar gandum atau konversi qiyashinya – untuk Indonesia dalam bentuk beras – hanya Rp 35.000 hingga Rp 45.000,- per muzakki fitrah. Sangat jauh komparasinya.
Analisis angka itu menjadi krusial dalam kontek menjawab kebutuhan psikologis (kebahagiaan) bagi sang penerima zakat fitrah. Secara teoritik, keceriaan apa yang bisa diharapkan dari sang penerima zakat fitrah dengan beras 2,5 kg atau senilai Rp 35.000 hingga Rp 45.000,-? Juga, jika tetap bahagia dengan penerimaan itu, berapa jam pancaran wajah ceria itu? Hal ini – dengan pahit – bisa kita tegaskan, “Betapa sadis dan melecehkan ketentuan zakat firah bagi kaum dhuafa”.
Bukan tak mungkin, hal ini bisa menjadi faktor alergisitas, menjauhnya atau tidak hormatnya kaum fakir-miskin terhadap Islam, hanya karena persoalan zakat fitrah yang bisa diterjemahkan cukup mengecilkan keberadaan kaum fakir-miskin itu. Sebaliknya, jika konversi zakat fitrah dengan kurma Ajwah, setiap penerima zakat fitrah sudah terbayang jelas nilainya. Untuk pribadi, setidaknya, sekitar seminggu, ia tampak ceria karena tak ada beban ekonomi. Andai dalam serumah tersebut ada empat jiwa yang tercatat fakir-miskin, maka di depan mata, keluarga itu menerima Rp 3.500.000,-. Nilai total ini – secara teoritik – bukan hanya mengantarkan keceriaan para fakir-miskin, tapi berdampak lebih jauh secara konstruktif: kian mencintai Islam. Inilah zakat fitrah yang sarat dengan dimensi dakwah: memperdekat dengan agama yang dianutnya, bukan sebaliknya.
Kini, kita meneropong ke spektrum yang lebih jauh dalam kontek pro pengentasan kemiskinan. Kita tahu zakat fitrah itu wajib dikeluarkan bagi setiap muslim, baik budak dan orang biasa, laki-laki dan wanita, anak-anak dan orang dewasa yang dikeluarkan sebelum berangkat (ke masjid atau lapangan terbuka) untuk shalat ‘iedul fitri” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Berangkat dari pijakan hadits Imam Bukhori-Muslim, maka penunai zakat fitrah di Tanah Air ini jauh di atas angka 229,62 juta (Global Religius Future, 2020). Tidak tertutup kemungkinan mencapai angka 250-an juta jiwa muzakki fitrah. Hal ini sejalan dengan jumlah muzakki berusia anak-anak masuk sebagai pihak yang harus mengeluarkan zakat fitrah.
Kini, kita mengkalkulasi secara proyektif, jika standar zakat fitrah dengan ittiba` Rasul (kurma Ajwah), maka dalam masa akhir Ramadlan tercatat potensi Rp 218.750.000.000.000 (dua-ratus delapa-belas trilyun, tujuh-ratus lima-puluh milyar rupiah).
Total potensi zakat fitrah itu akan menjadi solusi yang sangat fantastik bagi kepentingan pro pengentasan kemiskinan. Sesuai data kemiskinan negeri ini – menurut data BPS 2019 – berjumlah 24,79 juta jiwa. Dan sejalan dengan covid-19 ini – menurut catatan sejumlah pengamat – terjadi lonjakan sekitar 30%, sehingga jumlahnya tak kuang dari angka sekitar 32 juta jiwa. Jika total keterkumpulan zakat fitrah itu didistribusikan ke muzakki prioritas (fakir-miskin), maka per individu mendapatkan Rp 6.835.937,5. Andai mustahiq lainnya “memaksa” harus dibagi, setidaknya, kaum fakir-miskin – karena asas prioritas seperti yang tertuang dalam Surat At-Taubah : 60 itu – bisa mendapatkan porsi lebih besar. Angka kisaran Rp 5.000.000,- bukanlah angka mengada-ada. Dalam suasana duka (keterbatasan pendapatan) seperti saat ini, jelaslah nilai Rp 5 juta sungguh punya makna yang luar biasa. Bagai THR yang tak diimpikan, karena selama ini tak pernah diterima angka sebesar itu, kecuali bagi kaum eksploitator.
Andai skenario kalkulatif itu diberlakukan dalam sistem zakat fitrah, maka ajaran yang diwajibkan ini sungguh memenuhi potensi standar kualitas empati kemanusiaan. Barangkali, sudah saatnya para pencancang kebijakan zakat fitrah perlu mengkaji ulang terhadap persoalan zakat fitrah yang sudah puluhan bahkan ratusan tahun berjalan.
The last but not least, kalkulasi proyektif zakat fitrah seperti ini sungguh merupakan kontribusi riil ajaran Islam untuk semua, tanpa diskriminasi, apalagi mengkriminalisasi dan persekusi. Dan negara sejatinya terbantu dengan ketentuan Islam itu. Tanpa harus menerbitkan Perppu No. 1 Tahun 2020 yang kita kenal dengan “Perppu Corona” yang kini telah disyahkan menjadi UU, kaum muslim – melalui instrumen zakat fitrah – sesungguhnya bisa berkontribusi besar untuk ikut atasi problem sosial-ekonomi yang kian menyayat. Juga, sebenarnya tak perlu pinjaman Bank Dunia sebesar AS$ 700 juta (sekitar Rp 10 trilyun) akibat pandemik covid-19.
Ketidakbutuhan itu sejalan dengan kalkulasi proyektif jika pengeluaran zakat fitrah dengan standar kurma, bukan beras atau makanan pokok atau konversinya yang kini berlaku di tanah air (uang senilai beras). Juga, karena realisasi pinjaman Bank Dunia yang menambah akumulasi utang luar negeri kita yang sudah melampau ambang batas (lebih dari 30% APBN) dan itu sesungguhnya pelanggaran serius bagi UU Keuangan Negara. Bahkan, juga seharusnya tak perlu relokasi APBN sebesar Rp 405,1 trilyun itu karena sarat dengan potensi penyalahgunaan. Dan itulah desain yang membuat pengamanan dini secara hukum (tak terkenan secara pidana) dalam Perppu Corona bagi pejabat pembuat dan pengguna dana atas nama covid-19 itu.
Karena itu, kami dari keluarga besar Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI) menilai, zakat fitrah bisa menjadi momentum untuk berbagi kasih (empati kemanusiaan) yang jauh lebih berkualitas. Dan kiranya, tidaklah berlebihan jika keluarga besar PANDAI memprakarsai model zakat fitrah yang sarat dengan dimensi kemanusiaan. Kini saatnya, not the next. Saat akhir Ramdhan ini dan akhir ramadlan-ramadkan selanjutnya. Keluarga besar PANDAI bisa memberikan teladan konstruktif untuk misi kepedulian dan kemanusiaan. Bismillah. Kita peduli dengan kaum dlu`afa, Allah pun akan peduli kepada kita. (*)
Jakarta, Mei 2020
Leave a Reply