Oleh:
Suparto Wijoyo
Akademisi Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, dan Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga
BANJIR yang merendam Kalimantan Selatan secara ekologis merintihkan gelisah lingkungan yang menyempurnakan nestapa warga dengan jerit tangis dan lelehan air mata duka. Pemerintah Pusat dan Daerah menjadi dipertanyakan keberadaannya akibat banyaknya desa yang terendam banjir disertai lumpur, belum pulihnya akses jalan serta besarnya warga yang mengungsi. Banjir besar ini sungguh menyentak kesadaran lingkungan dan kemanusiaan siapa pun yang peduli nasib sesama anak bangsa. Beribu-ribu orang menjadi korban kejadian ini dengan harta benda yang luluh lantak, bahkan nyawa melayang serta harus menjadi pengungsi yang tidak pernah diimajinakan sebelumnya. Gedung-gedung perkantoran, sekolah serta tempat-tempat peribadatan tidak luput dari terjangan air yang hendak “bersilaturahmi” melintasi permukiman untuk menuju “peristirahatannya”: pantai yang membentangkan lautan. Seolah menyempurnakan tragedi Mamuju dan Majene.
Ratapan Alam
Banjir yang berdampak besar pada kehidupan ribuan orang mestinya menolehkan pandangan khalayak terhadapnya. Nestapa akibat banjir di Kalsdel, Sultra, Sulsel dan Kaltim, termasuk Jatim, sepenggalan waktu telah menuangkan peta kebencanaan yang “menuntun air hujan berselimut tanah longsor” di mana-mana. Kerusakan daerah aliran sungai (DAS) dan pembukaan hutan di wilayah hulu ditengarai menjadi penyebab banjir. Konstalasi ekosistemnya seperaduan dengan sedimentasi areal DAS Barito yang disebabkan tingginya tingkat deforestasi yang terhelat. Luasan areal hutannya sangat memprihatinkan karena tidak mencapai 30% sebagaimana diwajibkan oleh regulasi kehutanan.
Tentu saja, tanah longsor dalam tragedi lingkungan ini memberikan hentakan batin yang tidak terperikan dengan pesan tunggal: setialah kepada tata ruang. Kejadian ini tengah mengangkasa untuk didengar oleh pemegang kekuasaan agar bersungguh-sungguh memperhatikan kepentingan lingkungan dan konsisten terhadap tatanan planologis. Komitmen ini semestinya menjadi cakupan kinerja yang diperjanjikan kepada rakyat. Bencana hidrometeorologi di Sultra dan Sulsel dimaknai mendorong isu lingkungan sebagai prioritas gagasan strategis pemimpin daerah dan nasional. Banjir Kalsel sejatinya mewakili sebuah ratapan yang disebar merata di seluruh segmen geografis nusantara. Korban gempa ataupun tsunami, serta terkuburnya jiwa-jiwa rakyat di Mamuju dan Majene, dan Sukabumi belum tuntas dientas, banjir bandang melanda Kalsel. Hal itu adalah realitas yang membawa kesengsaraan yang tidak terkirakan. Transportasi dan mobilitas barang, orang dan jasa terhambat dalam kisaran ekonomi yang berada di luar proyeksi pengambil kebijakan. Kehancuran ekosistem dengan konsekuensi kerugian ekonomi dan sosial sangatlah besar.
Hujan Bukan Penyebab Banjir
Mengapa banjir dan longsor terus melanda? Adakah tragedi ini memang dirancang mentradisi dan intensitas hujan dijadikan sang tertuduh tanpa henti? Tingginya curah hujan selalu menjadi variabel yang dipersalahkan. Warga dan negara harus jujur bahwa penyebab utama banjir bukanlah air hujan semata. Air yang “akrobat” merupakan korban kolektif dari buruknya manajemen konservasi lingkungan. Banjir pada dasarnya hanyalah “panen raya” dari ulah penyalahgunaan tata ruang dan alih fungsi lahan serta hutan menjadi perladangan. Longsor dan banjir bukan fenomena alam yang mendadak, melainkan produk dari laku destruktif yang naif.
Apa yang telah kita perbuat terhadap hutan, sawah dan ladang serta DAS yang membentang? Kita terlalu abai atas kondisi ekologis daripada peduli. Perspektif ekologis menginformasikan betapa rapuhnya penjagaan hutan di Indonesia. Desa dan kota tampak kehilangan basis konservasi SDA yang berfungsi menjamin keberlanjutan hayati. Program menjadikan areal hutan Perhutani di Jawa sebagai lahan tanaman pangan atau kebun tebu industri gula misalnya, sangat tidak bijaksana. Drama penjungkirbalikan pemanfaatan tata ruang yang tidak sesuai dengan landasan substansi sosio-ekologisnya justru dipertontonkan.
Hutan pantang ditebang tanpa perencanaan yang memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan. Mengubah hutan menjadi “kebun teh” adalah tragedi lingkungan yang menunjukkan ke arah mana kebijakan digerakkan. Kehancuran eksosistem dan matinya jaringan kewilayahan sebuah kawasan berupa banjir dan longsor adalah resultan yang inheren. Hutan di kawasan yang terkena banjir pastilah tinggal ranting-ranting vegetasi tanpa makna yang mudah patah atau dipatahkan. Hutan dan DAS tidak ubahnya secarik aksesoris yang terlirik kehilangan martabat oleh pemangkunya sendiri.
Berbagai macam sengketa kehutanan yang menghiasi “wajah konservasi” merupakan bukti aktual “gerakan peminggiran” hutan. Bagi-bagi lahan untuk masyarakat sekitar hutan tanpa pengawasan yang ketat bagi kepentingan konservasi, merupakan tindakan semberono. Sekali lagi fakta menunjukkan bahwa penyerobotan kawasan lindung dan konversi lahan hutan menjadi perkebunan tengah berlangsung aksesif tanpa penegakan hukum yang jelas.
Sadarilah bahwa hujan bukan penyebab banjir, sehingga banjir bukanlah soal takdir. Banjir itu bersentuhan dengan penyalahgunaan tata ruang, mismanajemen SDA, kualitas tata kota, tata pemerintahan, yang pada akhirnya adalah tata laku publiknya. Banjir itu terpotret bermula dan berakhir dari konsepsi pembangunan yang dianut serta diimplementasikan oleh penyelenggara negara. Hal ini berarti masalah banjir adalah urusan bernegara yang berkaitan dengan public policy. Dengan demikian memilih model pembangunan sangat menentukan di mana pergerakan banjir dihentikan. Air hujan tidak akan melaju menerjang desa atau kota, kalau di setiap wilayah tersedia bank air berupa kawasan konservasi, hutan kota, hutan desa, dan telaga-telaga yang sejak era abad ke-3 dikembangkan nenek moyang dan mencapai puncak kemajuan di abad keemasan Majapahit.
Antara Ekologis dan Teologis
Abad ke-21 ini momentum mengaktualisir pembangunan berkelanjutan lebih kuat lagi. Pembangunan mall, supermarket, property, dan gedung-gedung tinggi dapat diimbangi dengan membangun embung-embung yang representatif secara planologis dengan balutan ruang terbuka hijau (RTH) sebagai areal konservasi. Dengan pola ini air hujan dapat bercengkerama secara kosmologis dengan pepohonan, bercerita dengan hutan rakyat, hutan kota, hutan konservasi, serta taman-taman rumah. Air hujan menjadi “sahabat RTH” tanpa perlu lari kencang guna bersimpuh di perut sungai, apalagi dengan membawa potongan kayu yang ditinggal pencurinya. Bagaimana sungai tidak meluap, dikala perutnya tidak lagi menampung luberan, bukan karena dia tidak sayang air hujan, tetapi pendangkalan yang dialami akibat erosi, itulah yang ditangisi sungai dengan konsekuensi banjir yang menerjang berhari-hari.
Meningkatnya kemerosotan lingkungan telah sampai pada tataran merenungkan kembali peran negara dalam muatan sustainable development. Konsepsi pembangunan berkelanjutan telah mengajarkan agar pemanfaatan tata ruang disusun berbasis nilai-nilai lingkungan dengan kecerdasan ekologis. Wilayah ruang dipilah dalam bingkai integrasi ekologis, ekonomi, sosial-budaya dan kerakyatan (demokrasi). Wilayah yang secara ekologis sebagai kawasan konservasi wajib dikembangkan dan bukannya dialihfungsikan menjadi lahan properti atau kawasan industri. Lahan pertanian diproteksi secara maksimal agar tidak berubah fungsi sebagai areal pergudangan. Hutan yang gundul dihijaukan dengan monitoring yang ketat dengan menindak tegas penjarahan (environmental law enforcement). Tata ruang haruslah berorientasi kepentingan lingkungan, ekonomi, dan sosial secara seimbang, bukan berjargon: “demi uang semua gampang”.
Sudah lama rakyat menyaksikan “industri masuk desa” dengan membujuk mereka menjual sawah ladang dan diajak menyalahgunakan ruang secara terang-terangan. Undang-undang Penataan Ruang kerap “ditendang” sambil mengakali mencari pasal-pasal yang “berlubang”. Ketahuilah bahwa tata ruang adalah pertaruhan penyelamatan masa depan kita. Siapapun yang memasuki gelanggang kekuasaan harus bersedia “menghambakan diri” kepada kepentingan lingkungan. Dalam bahasa yang sangat religius, sesungguhnya tata ruang merupakan bagian dari tatanan teologis, sehingga siapa yang merusak tata ruang adalah sama dengan melawan Tuhan. Tuhan telah mencipta materi ruang semesta ini sesuai dengan peruntukannya. Ada gunung-gunung, ada pula dataran yang menghampar serta samudera yang bergelombang. Ada tanah pesisir dan ada tanah bebatuan. Gunung biarlah berdiri tegak menjadi paku bumi yang teguh. Cegahlah mengepras gunung dan menambang isinya seperti “cek kosong” tanpa reklamasi. Sungai biarlah mengalirkan air yang jernih dan jangan dikotori selaksa aliran jelaga limbah. Bumi biarlah menghijau dengan sawah ladangnya dan jangan disesaki gedung-gedung perbelanjaan. Merupakan suatu keanehan apabila ada penguasaan lahan yang bertentangan dengan nalar keadilan, ada gunung yang dipotong, dan ada danau yang terpotret menjulang dengan tailing tambang.
Saatnya merealisir program perdesaan dengan membuat satu kampung satu embung, satu desa satu telaga, satu waduk di setiap kecamatan. Normalisasi ke arah naturalisasi sungai dengan mengembangkan fungsi irigasi pertanian diyakini maslahat bagi kaum petani. Pemberdayaan rakyat penambang yang selama ini dianggap biang kerok kerusakan sungai untuk dikoordinasi pemda, dengan mekanisme sistem pertambangan rakyat yang berzonasi serta berkuota sebagai strategi merajut kepentingan ekonomi-ekologi dan kesejahteraan sosial secara terpadu.
Akhirnya, mengatasi banjir dibutuhkan ketaatan kepada tata ruang yang berbasis ekologis, dan merevisi orientasi pembangunan yang maskulin (penuh gedung jangkung yang kekar tanpa resapan) agar lebih feminim (bertelaga). Kalaulah sesudah itu masih banjir, bolehlah berpaling pada ucap santun Dante Alighieri: all ‘alta fantasia qui manco possa – ketika sampai pada momen teragung ini, aku tak mampu berkata apa-apa lagi. Semoga doa masih berarti tat kala tata uang mengalahkan tata ruang. (*)
Leave a Reply