Oleh: Dian Kresnawati
Pengurus DPP Pemuda Tani HKTI
Disrupsi tidak hanya teori, tetapi telah berevolusi menjadi strategi yang vital dan menuntut cara pandang baru. Disrupsi bertarung melawan berbagai kepentingan, kekuatan, dan cara pikir lama. Disrupsi telah dan akan terus memicu perubahan besar yang mengubah tatanan hidup manusia.
Istilah “disrupsi” mulai populer setelah guru besar Harvard Business School, Clayton M. Christensen, menulis buku “The Innovator Dilemma (1997)”. Buku ini berisi tentang persaingan dalam dunia bisnis, lebih khusus inovasi. Christensen ingin menjawab pertanyaan penting, mengapa perusahaan-perusahaan besar bisa dikalahkan oleh perusahaan yang lebih kecil, padahal perusahaan kecil kalah dalam berbagai hal terutama modal (dana) dan sumber daya manusia. Jawabannya terletak pada perubahan besar yang dikenal dengan disrupsi. Rhenald Kasali (2017) menyebutnya sebagai sebuah era baru, yakni era disrupsi inovasi. Era disrupsi baik dalam skala global dan lokal menuntut perubahan dalam berbagai aspek, mencakup kebijakan, budaya, pola pikir dan termasuk pada pendekatan pasar.
Disrupsi adalah gangguan yang mengakibatkan industri tidak berjalan seperti biasanya karena bermunculannya kompetitor baru yang jauh lebih efisien dan efektif, serta penemuan teknologi baru yang mengubah peta bisnis. Walaupun Christensen sendiri tidak secara langsung mengaitkan disrupsi dengan dunia digital. Tetapi banyak ahli seperti Paul Paetz meyakini bahwa dunia digital mempercepat proses disrupsi. Itulah yang terjadi, di abad 21 ini, biasa juga disebut abad digital dimana proses disrupsi makin cepat karena digitalisasi, munculnya berbagai platform bisnis adalah bukti nyata. Contoh, penyewaan buku, Barnes dan Noble kewalahan menghadapi persaingan dengan Amazon.com atau penyewaan film seperti Blockbuster, mengalami kebangkrutan dan terpaksa menutup 129 gerainya pada awal 2013 setelah kalah bersaing dengan Netflix. Dalam perkembangannya, disrupsi banyak dipergunakan untuk menjelaskan perubahan besar diberbagai sektor termasuk pertanian.
Disrupsi Pangan di Masa Pandemi
Indonesia dengan potensi keanekaragaman hayati terbesar di dunia dan kekayaan energi matahari dan curah hujan, pertanian Indonesia masih dihadapkan pada sejumlah masalah dan tantangan di antaranya: daya saing produk pertanian yang rendah; ketersediaan bibit yang bermutu, pupuk yang tidak selalu tepat waktu, SDM petani yang rendah terutama dalam teknologi pertanian; rendahnya wawasan food losses dan waste management; manajemen logistik, hingga regenerasi petani.
Disrupsi di sektor pangan semakin nyata, baik pada aspek pasokan, aspek konsumsi, maupun aspek distribusi. Pada aspek pasokan, proses produksi pangan di on-farm mengalami kendala. Apalagi di masa pandemic ini, resiko terinfeksi Covid-19 menjadi pertimbangan dalam mengelola proses produksi. Ketersediaan input produksi juga mengalami gangguan. Pada aspek konsumsi, disrupsi diindikasikan terjadinya penurunan volume transaksi karena menurunnya daya beli masyarakat. Banyak konsumen yang kehilangan pekerjaan, dirumahkan sehingga pendapatan berkurang. Sedangkan pada aspek distribusi pangan terganggu karena adanya penutupan sebagian lokasi dan imbas dari penurunan daya beli konsumen. Banyak moda transportasi publik yang tidak beroperasi dan atau membatasi frekuensi operasional.
Kolaborasi Membangun Sistem
Ditengah disrupsi yang makin ganas, pendekatan sistem terutama inovasi hulu-hilir di sektor pangan menjadi tantangan. Hal yang sama dalam percepatan kreatifitas inovasi, pendekatan parsial tidak akan membuat inovasi pangan berkembang. Olehnya itu, yang dibutuhkan adalah pendekatan sistem. Sistem yang dikenal dengan sistem inovasi merupakan kesatuan dari berbagai aktor; mulai dari kelembagaan, interaksi dan kebijakan, difusi (penyatuan) sampai proses pendidikan dan pelatihan.
Kesatuan aktor ini membutuhkan saluran. Beberapa pilar saluran untuk memperkuat sistem inovasi pangan (hulu-hilir) di Indonesia adalah: (1) pemerintah daerah melakukan mapping dengan tujuan mengetahui segala potensi dan masalah serta tantangan inovasi di wilayahnya masing-masing sehingga sistem inovasi yang akan dibangun tepat dan efisien; (2) industri, dengan mengembangkan kluster industri berbahan baku pertanian dan atau produk pertanian sebagai tempat untuk mengembangkan potensi terbaik dan membangun daya saing industri pangan; (3) jejaring inovasi, yang berfungsi sebagai tempat untuk memperkuat keterkaitan antar aktor, mendinamisasikan pengetahuan, inovasi dan difusi; dan (4) teknoprener, sebagai ruang untuk mendorong upaya-upaya pemajuan bisnis pangan yang sudah ada maupun menumbuhkembangkan usaha yang baru.
Dengan demikian, agenda kolaboratif dalam rangka penguatan sistem inovasi pangan melibatkan multipihak, baik pemerintah pusat dan daerah, dunia usaha-industri dan pendidikan baik perguruan tinggi umum dan pendidikan vokasional (misalnya SMK Pertanian dan Polbangtan). Dalam tahapan implementasi, perlunya memberdayakan organisasi kepemudaan pertanian dan lembaga yang relevan berkaitan dengan pengembangan pemuda. Dalam jangka pendek, bagaimana mengembangkan kisah-kisah keberhasilan pemuda bertani yang kemudian di kloning ketempat lain, sebab anak-anak muda sangat membuthkan role model. Hasilnya adalah munculnya pengalaman-pengalaman baru yang menjadikan pemuda untuk bertani semakin optimis. Hal lain adalah memberikan apresiasi kepada petani muda yang berkomitmen dalam mengembangkan inovasi pertanian dengan tetap menjaga lingkungan, mendukung pembangunan berkelanjutan. Dalam jangka menengah dan panjang, perlu kolaborasi dalam peningkatan mutu pendidikan terutama vokasional antara pemerintah pusat dan daerah, perbaikan sistem pelatihan bagaimana pemerintah terutama kemendikbudristek, kemenaker, kemenperin, kemendag dan kementan bisa bersinergi.
Dengan pendekatan ini, pemuda dapat diarahkan untuk menjadi entreprenur pertanian dengan memanfaatkan ilmu penegtahuan dan teknologi. Impactnya tidak saja keuntungan ekonomi bagi pemiliknya, akan tetapi kesempatan kerja bagi orang lain, berkembangnya UMKM (pemula) yang inovatif. Jika dilakukan secara masif, maka harapan Indonesia mempunyai entrepreneur pertanian sebesar 2.5 juta pada tahun 2024 akan menjadi kenyataan.
Leave a Reply