MADIUN – Cuaca ekstrem bukan saja menimbulkan dampak negativ terhadap kondisi alam berupa bencana hidrometeorologi, melainkan juga merusak kesehatan tanaman perkebunan.
Di Kabupaten Madiun, Jawa Timur, puluhan petani durian pada masa panen tahun ini dipaksa cuaca ekstrem untuk ‘tidak bergembira’. Itu lantaran hasil panennya mengalami penurunan produksi mencapai 30 persen.
Potret getir petani itu, setidaknya, terekam di wilayah perkebunan durian yang berada areal sisi Barat lereng Gunung Wilis, Desa Segulung, Kecamatan Dagangan.
Harwadi, salah seorang petani yang sudah puluhan tahun menggeluti cocok tanam buah berkulit duri itu, kepada jurnalis yang menemui di rumahnya, Minggu (26/2/2023), menuturkan bab menurunnya produksi durian yang dialaminya pada masa panen tahun ini.
Penurunan hasil produksi durian, menurutnya, diakibatkan dari munculnya cuaca ekstrem yang terjadi sepanjang Oktober tahun lalu, hingga berlanjut pada tahun ini.
Dibeberkannya, akibat dihajar hujan, angin dan suhu sangat dingin buah durian dalam proses pematangan tidak bisa mencapai seratus persen.
Artinya, buah yang sebenarnya baru berproses sekitar 80% pada pohonnya, terpaksa harus dipanen karena dipaksa tua oleh cuaca.
“Sudah barang tentu tekstur daging buah dan rasa tidak maksimal. Pada gilirannya, nilai jual juga tentunya mengalami penurunan,” jelas Harwadi.
Selain berdampak pada turunnya kualitas rasa dan volume daging buah, katanya, jumlah produksi butiran buah yang dihasilkan setiap pohon juga mengalami penurunan.
“Jika cuaca normal, tidak ekstrem, setiap satu pohon biasanya menghasilkan sekitar 100 butir buah durian. Sedangkan saat ini satu pohon cuma menghasilkan 70 butir,” keluh Harwadi.
Terjangan cuaca ekstrem, terang Harwadi, diawali saat pohon mengalami masa berbunga pada periode September tahun lalu. Saat itu kondisi alam terus menerus turun hujan, dengan kombinasi suhu amat diingin.
Kemudian disusul cuaca sangat panas yang disertai angin, hingga berakibat buah muda durian tidak sanggup mengembang secara normal alamiah.
“Disaat cuaca hujan dan dingin itu, kondisi tanah sebagai sumber asupan nutrisi bagi pohon mengalami keasaman yang tinggi. Disitulah pohon kesulitan mencukupi kebutuhan makanannya,” Harwadi berteori.
Dijelaskannya, pihaknya memiliki sebanyak 105 pohon durian yang tumbuh lereng Gunung Wilis sekitar rumahnya. Dari ratusan pohon itu, terdapat tiga jenis pohon durian masing-masing Kawuk, Montong dan Kani.
Diantara ketiga jenis durian itu, menurut Harwadi, yang paling enak dan bernilai ekonomi tinggi adalah jenis Kawuk. Itu karena durian Kawuk memiliki aroma dan rasa berkualitas.
Harwadi menjual jenis Kawuk kepada pedagang seharga antara Rp. 40 – 60 ribu per butir. Sedangkan jenis Montong dan Kani dijual seharga Rp. 45 ribu per butirnya.
Sementara Kepala Desa Segulung, Ikhsanudin, yang dihubungi terpisah membenarkan turunnya hasil panen durian di wilayahnya.
“Iya memang benar para petani durian di wilayah desa ini mengalami penurunan produksi. Itu karena dampak cuaca ekstrem,” kata Ikhsanudin.
DI Desa Segulung, katanya, saat ini terdapat 20 orang petani durian yang memiliki lahan. Sedangkan warga biasa yang menanam pohon durian di setiap pekarangan rumahnya, tak kurang dari seribu orang.
Menurut Ikhsanudin, hingga saat ini belum pernah ada pengarahan atau pembinaan dari pihak terkait, menyangkut penanganan dampak cuaca ekstrem terhadap tanaman durian. (fin)
Leave a Reply