Putri Cantik dan Pangeran Sakti Jadi Legenda Watuagung Mengare Bungah

GRESIK(SurabayaPost.id) – Menelisik Pulau Mengare Bungah melahirkan beragam cerita menarik. Keunikan, keajaiban, dan kearifan lokal setempat terangkai menjadi sebuah kisah. Hingga kini, cerita-cerita leluhur itu masih membekas dalam ingatan masyarakat setempat.

Salah satu cerita yang masih hidup ialah asal-usul Desa Watuagung, Pulau Mengare, Kecamatan Bungah, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Ada sebuah batu besar dan bersejarah di belakang balai desa setempat. Kepala Desa (Kades) Watuagung Muh. Zamrozi, Senin (23/12/2024) mengisahkan, masyarakat setempat meyakini batu besar itu merupakan cikal bakal desa. Kisah tanah Mengare tersebut juga terekam dalam buku Sang Gresik Bercerita karya Yayasan Mata Seger.

Alkisah, cerita Rozi sapaan akrabnya, legenda Watuagung berawal saat seorang petinggi kerajaan bernama Pangeran Solo kesengsem pada kecantikan Putri Melirang. Dia merupakan salah seorang putri raja. Pangeran Solo ingin menikahinya dan memboyong sang pujaan hati.

”Pangeran lantas meminta izin kepada ibunya,” kata Rozi. Setelah sowan, sang pangeran mendapat restu dari ibunya. Sebagai bekal perjalanan, dia mendapat pesan khusus. Pangeran didoakan, tapi dipesani untuk tak tidur selama perjalanan.

Namanya sudah jatuh cinta, pangeran menyanggupi. Dia lantas mempersiapkan perahu. Senjata andalannya, besi tawar, diikutsertakan. Dua pengawal sakti menemani. Mereka mengarungi Bengawan Solo yang dulu bernama Bengawan Lawas.

Setelah melewati perjalanan sungai yang melelahkan, pangeran akhirnya bertemu dengan Putri Melirang. Lelaki gagah itu menyampaikan unek-uneknya. Pangeran memberanikan diri. Meski, dia tahu sudah banyak laki-laki yang ditolak sang putri.

Apa yang terjadi? Kepala pangeran pecah serasa ditembak panah. Putri juga menolak cintanya. Gadis ayu itu lari menghindar. Memilih menghilang. ’’Pangeran terus mengejar,’’ sambung Rozi. Untuk mencari putri yang cantik jelita itu, pangeran mengubah wujudnya menjadi ular besar. Tujuannya, bisa cepat menemukan pujaannya. Namun, jejak Putri Melirang benar-benar hilang.

Ular jelmaan pangeran lantas sampai di Laut Jawa, lebih tepatnya di dekat Madura. Pangeran yang tengah kebingungan merasa lelah. Tak terasa, dia tertidur.

Setelah bangun, Pangeran Solo berniat mencari putri lagi. Namun, usahanya tidak membuahkan hasil. Karena frustrasi, dia memilih bertapa dan melingkarkan badannya selama bertahun-tahun. Konon katanya, lokasinya di dekat Pulau Madura.

’’Badan ular, kepala, dan ekornya mengeras menjadi daratan. Itu yang disebut Mengare,’’ papar Rozi. Kepala ular diyakini berada di Desa Watuagung. Badannya di Tajung Widoro dan ekornya di Kramat. Tiga desa tersebut sama-sama berada di Mengare.

Ular jelmaan pangeran dipercaya memberikan kemakmuran. Kini, masyarakat Pulau Mengare yang dipisahkan Bengawan Solo hidup makmur dengan hasil pertanian dan perikanan.

Kisah menarik lainnya, sejumlah warga di Desa Watuagung Mengare, Kecamatan Bungah, Gresik meyakini keberadaan Makam Mbah Jarat Agung sebagai tokoh desa yang berperan penting dalam perdagangan dunia.

Selain diperkuat dengan kisah tutur sesepuh setempat tentang Mbah Jarat Agung, keyakinan ini dikuatkan dengan penulusuran pegiat sejarah desa yang mengaitkan nama Mbah Jarat Agung dengan sejumlah sumber penelitian sejarah yang menyebut Jaratan.

“Kalau berdasar kisah tutur Mbah Jarat merupakan Syahbandar Pelabuhan yang dalam sejarah memiliki peran penting perdagangan dunia, kami sebagai generasi muda Mengare akan sangat bersyukur bila faktanya demikian,” kata Pa’i, pemuda desa setempat yang juga Pelestari Makam Mbah Jarat Agung.

Kendati demikian, upaya penelusuran belum berhenti. Pihak pelestari Makam Mbah Jartan rencananya akan menggelar beberapa kajian riwayat desa atau pengkajian sejarah.

“Minimal bagi kami mendengar ulasan dari para Sejarawan dan penggiat yang lain tentang Mengare di masa lalu. Mudah-mudahan melalui kajian tersebut, harapan kami menemukan seikat cerita yang memperkuat peran Mbah Jarat Agung,” pungkasnya.

Sementara itu, Pelabuhan Jaratan memang pernah ditulis di sejumlah artikel sejarah. Dalam ulasan sejarah, sekira pada abad ke-16. Kabupaten Gresik memiliki dua Pelabuhan yakni Pelabuhan Gresik (Grissee) dan Pelabuhan Jaratan.

Ulasan mengenai Pelabuhan Jaratan ini juga pernah ditulis oleh seorang Kolumnis, Arum Kusumaningtyas, pada situs teronggosong.id. Pelabuhan jaratan terselip dalam kolomnya yang berjudul; “Nyai Ageng Pinatih dan Perdagangan Global”.

Hal yang lebih menarik lagi, salah seorang Peneliti Sejarah di Kabupaten Gresik, Eko Jarwanto, baru-baru ini juga meluncurkan buku berjudul “Jortan, Kota Pelabuhan Yang Hilang”. Eko Jarwanto lebih memilih kata Jortan bukan Jaratan.

Karenanya, saat Haul Mbah Jarat Agung, para pemuda yang menguri-uri sejarah peradaban Desa Watuagung, Mengare Bungah Gresik, menggelar Ngaji Sejarah.

Sejarah mengenai kehidupan masyarakat (peradaban) Mengare di masa silam. Khususnya, menelisik sejarah Mbah Jarat Agung yang sementara ini disinyalir merupakan Tokoh Syahbandar Pelabuhan Jaratan. (***)