Biar Tak Kena Sanksi, Jual Tembakau Iris Harus Lapor Kantor Bea dan Cukai

Kepala Kantor Bea Cukai Malang, Latif Helmi saat memberikan keterangan kepada wartawan

MALANG (SurabayaPost.id) – Penjual tembakau iris (TIS) tidak boleh sembarangan. Sebab ada aturan mengenai komersialisasi produk tersebut yang harus ditaati dan dijalani.

Kepala Kantor Bea Cukai Malang, Latif Helmi, mengatakan hal tersebut usai Sosialisasi Ketentuan di Bidang Cukai –yang didanai dari DBHCT– di Hotel Olino Garden Malang, Senin (14/9/2020). Menurut dia, penjual TIS itu harus lapor ke Kantor Bea dan Cukai.

“Tembakau iris ini kalau sudah dikemas lalu dijual eceran, ada merek dan sebagainya, itu seharusnya melapor. Kalau tidak lapor bisa kena sanksi Undang-Undang,” kata Latif.

Dijelaskan Latif, penjual tembakau iris yang sudah melekatkan merek, namun tidak melapor ke Bea Cukai, produk itu bisa dikategorikan ilegal. Hal itu jelas melanggar aturan.

“Makanya, kalau diecer, ada mereknya, tidak lapor itu sudah termasuk ilegal. Itu merugikan negara, karena harus ada cukainya. Walaupun cukai tembakau jenis TIS itu kecil,” jelasnya.

Latif menegaskan bahwa penjual tembakau iris yang tidak mematuhi aturan bisa dikenakan sanksi. Soal sanksi menurut dia disesuaikan dengan pelanggaran yang dilakukan.

“Kalau terbukti ya harus ada saksi. Itu (sanksi, red) bisa penjara dan denda. Penjara antara satu sampai delapan tahun. Dendanya tergantung nanti. Ada beberapa pasal, 52 sampai 56, disitu ada uraiannya,” tukasnya.

Yang pasti, tegas dia, penjualan tembakau iris yang dijual maksimal 250 gram, dikemas dan bermerek wajib berpita cukai. “Itu sudah ketentuan Undang-Undang,” jelas dia.

Kasi Penyuluhan dan Layanan Informasi Kantor Bea Cukai Malang, Surjaningsih, memberikan paparan dihadapan para jurnalis

Sementara itu, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menyebut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1995 tentang cukai masih kurang tegas untuk memberantas peredaran rokok ilegal. Kasi Penyuluhan dan Layanan Informasi, Kantor Bea Cukai Malang, Surjaningsih, mengatakan hal itu saat memberikan pengarahan dalam acara Sosialisasi Ketentuan di Bidang Cukai, Senin (14/9/2020).

“Dalam UU 11 itu tidak ada pasal yang mengikat tentang sanksi yang tegas. Sehingga dilakukan perubahan yang sebelumnya memakai UU 11 Tahun 1995, kini UU 39 tahun 2007, dimana ada beberapa pasal yang dilakukan perubahan,” papar dia.

Menurut wanita yang akrab disapa Yani ini di UU 39 tahun 2007 itu sudah ada pasal yang mengatur tentang sanksi dan tata cara pembagian hasil dari cukai. Untuk itu, lanjut Yani, Bea Cukai sebagai salah satu lembaga yang menopang pendapatan negara, melakukan perubahan Undang-undang 11 Tahun 1995 menjadi Undang-undang 39 tahun 2007.

“Dalam UU 39 tahun 2007 ini ada pasal yang mengatur tentang sanksi. Baik itu sanksi administrasi ataupun sanksi pidana bagi pelanggar cukai,” terangnya.

Selain itu, tambah Yani, dalam UU 39 tahun 2007 tersebut juga diatur tentang tata cara pembagian besaran hasil Cukai. Dalam pembagian hasil cukai itu saat ini sebesar 2 persen yang diberikan ke Pemprov.

“Setelah itu ya Pemprov-lah yang mendistribusikan ke Pemda Kabupaten/Kota. Mekanismenya seperti itu,” pungkasnya. (lil)

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.