Membaca Ludah Api Buya Syafii

Oleh Anwar Hudijono

Dalam khazanah budaya Jawa, Buya Ahmad Syafii Maarif itu seperti Begawan Abiyasa. Abiyasa tinggal di Padepokan Sapta Arga yang terletak di Wukir (Gunung) Rahtawu. Di Mahabharata dia disebut Maharesi Wiyasa.

Dia guru bangsa Kuru. Penasehat Kerajaan Hastina. Tetapi memilih tinggal di lereng gunung yang sepi. Tidak tinggal di lingkungan istana seperti saudara sesusuannya, Resi Bhisma. Bhisma itu tipikal resi kedonyan (duniawi). Seperti Ba’lam dalam cerita Yahudi.

Biasanya siapapun datang ke padepokan Resi Abiyasa untuk minta doa restu maupun nasehatnya. Mohon pencerahan. Pada saat ada persoalan pelik, para raja sowan untuk mencari solusi.

Abiyasa memang tidak melihat dengan mata lahirnya tentang seluk beluk kehidupan masyarakat dan bangsanya. Tetapi mata batinnya mampu melihat ruh persoalan seperti mengenal matahari dengan melihat planetnya bukan pada permukaan, apalagi sinarnya. Seperti tabib yang mampu menangkap ruh penyakit sebelum menjilma menjadi penyakit.

Ia memiliki muhasyaf, melihat peristiwa yang akan terjadi atau ngerti sadurunge winarah. Ucapannya bersifat idu geni (ludah api) dalam arti tepat, manjur, menjadi kenyataan.

Untuk itulah dia selalu berhati-hati dalam berucap. Sangat irit menyusun wacana. Bahkan lebih sering menggunakan bahasa pasemon atau kiasan. Dia memegang teguh etika, sabda pandita ratu tan kena wola-wali (ucapan pandita/begawan dan raja itu tidak boleh plin-plan).

Abiyasa hampir tidak pernah jengkar (keluar) padepokan. Jika sampai dia mendatangi istana berarti ada hal yang sangat genting, gawat kaliwat-liwat. Situasi darurat. Extraordinary. Karena jika situasi biasa-bisa, merupakan pamali seorang resi sowan ke istana.

Seperti menjelang Perang Bharatayuda dia datang ke istana Hastina sebagai upaya terakhir mengurungkan perang besar itu yang menelan jutaan nyawa dan kehancuran bangsa dan negara.

WAHYU ALLAH

Buya Syafii juga jengkar dari keberdiamannya, Minggu (13/9). Bukan fisiknya yang mendatangi istana, tetapi tutur kalimatnya yang datang. Begini pesan WA Buya:

Yang Mulia Presiden Republik Indonesia
Sebagai salah seorang yang tertua di negeri ini, batin saya menjerit dan goncang membaca berita kematian para dokter yang sudah berada pada angka 115 pagi ini plus tenaga medis yang juga wafat dalam jumlah besar pula.

Pak Presiden, mohon diperintahkan kepada Menteri Kesehatan dan jajarannya untuk berupaya semaksimal mungkin menolong nyawa para dokter ini. Jika begini terus, bangsa ini bisa oleng karena kematian para dokter saban hari dalam tugas kemanusiaannya di garis paling depan.

Terima kasih Pak Presiden.
Ahmad Syafii Maarif

Kalimat Buya ini boleh dibilang khas kalimat seorang begawan. Narasinya pendek tapi penuh makna. Mengunakan bahasa pasemon atau sindiran atau samaran. Penuh takdzim dan hormat seorang yang berada di puncak kekuasaan. Untuk memberi contoh kepada rakyat untuk hormat pemimpinnya.

Kalimatnya mengekpresikan seorang yang sangat paham budaya Jawa, meski dia berdarah Minang. Tahu betul cara yang tepat untuk menyampaikan pesan kepada Jokowi yang orang Jawa tulen, tinggal dan pernah menjadi penguasa jantung budaya Jawa, yaitu menjadi Walikota Solo.

Bisa jadi Buya mengikuti cara seniornya, KH AR Fachruddin, Ketua PP Muhammadiyah yang menggunakan tata adab Jawa ketika menyampaikan nasehat kepada Presiden Soeharto.

Ijinkan saya dengan segala keterbatasan dan kekurangan mencoba mengurai dan menelaah surat Buya Syafii ini.

Buya mengawai dengan kalimat: “Sebagai salah seorang yang tertua di negeri ini”.

Ini kalimat bermakna piweling (mengingatkan) Presiden Jokowi bahwa Jokowi itu secara esensi adalah tua atau sepuh. Kenapa? Karena Jokowi sudah mendapat wahyu Allah. Bukan sepuh dalam konteks umur.

Dalam khazanah budaya Jawa, wahyu itu berarti keutamaan, kelebihan. Bukan wahyu dalam pengertian fiqih sebagai perintah Allah untuk para Rasul. Jabatan presiden itu wahyu. Di tingkat kekuasaan lebih kecil seperti lurah disebut pulung.

Dalam Serat Wedatama karya Mangkunegara IV dituliskan,
Sapantuk wahyuning Allah,
Gya dumilah mangulah ilmu bangkit,
Bangkit mikat reh mangukut,
Kukutaning jiwangga,
Yen mangkono kena sinebut wong sepuh,
Lire sepuh sepi hawa,
Awas roroning atunggil.
Artinya:
Siapa yang mendapat wahyu Allah
Lalu dapat mencerna dan menguasai ilmu,
Mampu menguasai ilmu kasampurnan,
Kasampurnan diri pribadi,
Orang yang demikian yang pantas disebut orang sepuh,
Orang yang tidak dikuasai hawa nafsu,
Memahami dwi tunggal.

Dalam khazanah budaya politik Jawa, Presiden maupun raja itu khalifah (penguasa). Raja Jawa seperti Panembahan Senapati dari Mataram juga menyandang nama Kalipatullah (Khalifah Allah), pengemban amanat Allah di atas bumi.

Presiden atau khalifah itu harus sepi hawa awas roroning atunggil (dapat mengendalikan hawa nafsu, berpadu utuh mata eksternal dengan mata batin, spiritual dan material, jiwa dan raga).

Ajaran Jawa ini sejalan dengan Al Quran bahwa orang yang ditunjuk Allah menjadi penguasa harus adil dan mampu mengendalikan hawa nafsu. Quran Surah Shad ayat 26. “Wahai Daud. Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di bumi. Maka, berilah keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sungguh, orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat karena mereka melupakan Hari Hisab (Perhitungan).”

PANDEMI HOAX

Kalimat Buya berikutnya: “batin saya menjerit dan goncang”. Kalimat ini juga bernilai penyamaran atau pasemon bahwa Buya mengingatkan Jokowi untuk lebih memperkuat spiritualnya. Melihat persoalan secara batiniyah. Menggunakan bashirah.

Sebagai seorang yang mendapat wahyu Allah, diasumsikan Jokowi sudah memiliki kekuatan awas roroning atunggil. Melihat tidak ada hanya dengan mata eksternal tetapi juga dengan mata batin.

Kekuatan mata batin ini agar seorang yang berada di puncak piramida kekuasaan tidak mudah ditipu oleh laporan-laporan bersifat fisikal. Sudah seperti suratan alam, seorang di puncak kekuasaan itu cenderung digantungi oleh penjilat, manusia asal bos senang (ABS), pembual, pencoleng.

Apalagi di jaman now ketika dunia dikendalikan penipu dan pemalsu yang didukung teknologi canggih. Di ranah publik terjadi pandemi hoax, fake news, disinformasi, deep fakes dan sejenisnya. Tanpa diperkuat bashirah, seorang penguasa akan sangat mudah masuk dalam kubangan tipu-bertipu, palsu-berpalsu.
Sudah seperti gejala umum, orang di puncak kekuasaan akan diasingkan oleh struktur di bawahnya. Dijadikan layaknya seekor burung dalam sangkar emas yang setiap saat dipetheteti. Bawahannya juga dicengkeram nafsu kekuasaan sehingga tidak puas hanya menjadi orang bawahan. Seperti digambarkan dalam film Messiah, betapa Presiden AS dikadali anak buahnya.

NYAWA MANUSIA

Berikutnya kalimat Buya: “membaca berita kematian para dokter yang sudah berada pada angka 115 pagi ini plus tenaga medis yang juga wafat dalam jumlah besar pula”.

Pada kalimat ini, sebagai orang yang pernah nyantrik ke Buya dalam beberapa kesempatan, injinkan saya menafsirkan bahwa Buya mau menandaskan bahwa persoalan mendasar Covid-19 adalah nyawa manusia. Persoalan kemanusiaan. Persoalan harkat dan martabat manusia. Dasarnya adalah Quran surah Al Isra 70, “Wa laqad karramna bani adam” (Dan sungguh, Kami muliakan anak cucu Adam). Disambungkan dengan Sila ke 2 Pancasila.

Kalimat ini sekaligus sebagai dukungan untuk memperteguh sikap Jokowi untuk konsisten dengan pernyataan Jokowi sebelumnya bahwa aspek kesehatan harus diutamakan.

Tata bahasa seorang begawan tidak akan mendiskreditkan bahwa Jokowi selama ini kurang konsisten dengan sikapnya dalam menghadapi Covid-19. Dengan membentuk Satgas kelihatan sekali orientasi kesehatan (kemanusiaan). Tapi ketika diubah jadi Komite, nampak sekali orientasi ekonominya. Bilang lawan Corona , tapi dalam waktu tidak lama berganti berdamai dengan Corona.

Gaya Buya ini seperti Ronggowarsito ketika mengkritik pemerintah pada saat kerajaan babak belur, tata pemerintahan morat marit dan kehilangan legitimasi.

Seperti yang ditulis dalam Serat Kalatidha: Mangkya darajating praja, kawuryan wus sunya ruri, rurah pangrehing ukara, karena tanpa palupi. (Sekarang derajat negara, terlihat suram, pelaksanaan perundang-undangan sudah rusak, karena tidak ada keteladanan.

Kira-kira Ronggowarsita sebenarnya mau mengatakan bahwa rajalah pusat merosotnya derajat kerajaan, kemorat-maritan. Tapi disampaikan secara pasemon, menembak dengan tembakan karambol. “Ratune ratu utama, Patihe patih linuwih (Rajanya adalah raja yang utama, menterinya punya kelebihan).

Secara sangat halus, seperti Buya mengingatkan Jokowi bahwa pilihannya yang mengutamakan kesehatan sudah benar tetapi tidak mudah ditegakkan. Karena ada kekuatan bisnis yang berusaha membelokkan pemerintah agar lebih mengutamakan bisnis atau ekonomi. Itu pun sebenarnya ekonomi yang padat modal. Bisnis konglomerasi. Mereka tidak berhati. Hanya ada duit di mata eksternalnya.

Lihat saja, hampir tidak pernah bicara memperkuat ekonomi pertanian, sektor informal. Kekuatan bisnis ini menjadi bayangan dia mengendalikan menterinya. Jika ditarik garis lurus: lawan Jokowi bukan kelompok opisisi tapi para pebisnis hitam yang hendak mencaplok kekuasaan.

Berikutnya kalimat Buya “Pak Presiden, mohon diperintahkan kepada Menteri Kesehatan dan jajarannya untuk berupaya semaksimal mungkin menolong nyawa para dokter ini”.

Pada kalimat ini, saya menafsirkan, Buya yang dalam dua Pilpres terakhir menjagokan Jokowi seperti memberikan support psikologis agar Jokowi menggunakan powernya. Dia adalah nomor satu. Dia mendapat legitimasi dari rakyat langsung. Tidak boleh ada penguasa bayangan. Dia harus mengabdi untuk seluruh rakyat, bukan mengabdi kepentingan partai dan pemilihnya saja atau oligarki. Dia harus powerfull.

Para menteri adalah pembantunya, harus setia pada dirinya secara total. Bukan tangan kiri pegang ikat pinggang Presiden, tangan kanan pegang bos partai atau bos cukongnya. Para menteri tidak boleh punya agenda sendiri-sendiri termasuk agenda nyapres 2004, membesarkan partainya, cari rente ekonomi Covid-19.

OLENG

Kalimat terakhir Buya adalah: “Jika begini terus, bangsa ini bisa oleng karena kematian para dokter saban hari dalam tugas kemanusiaannya di garis paling depan”.

Intinya kira-kira Covid-19 ini bisa membawa kehancuran kemanusiaan. Pada gilirannya bisa menjadi entry point bangsa ini kehilangan jatidiri. Kehilangan arah. Dan di pundak Presiden masa depan bangsa ini dipartaruhkan.

Pemilihan kosakata “oleng” ini menarik dan bermakna dalam. Buya tidak memilih kata bangsa ini bisa hancur atau musnah. Oleng itu seperti layang-layang yang berputar-putar di udara. Mengudara tapi kacau tidak sesuai misi mengudarakannya.

Oleng itu seperti pesawat yang mengalami kerusakan mesin sehingga terbangnya menakutkan, tidak sempurna, pergerakannya ganjil tidak sesuai jatidirinya. Bahkan bisa jatuh.

Olengnya Bangsa Indonesia mungkin saja bangsa ini ada tetapi secara substansial bukan sebagai bangsa yang merdeka lagi tetapi menjadi jongos bangsa asing. Pertumbuhan ekonomi ada tetapi bukan untuk kemakmuran seluruh rakyat . Hanya untuk kemewahan segelintir orang.

Demokrasi masih hidup tetapi bukan lagi kehendak rakyat yang dikelola secara hikmat, bijaksana tetapi dari cukong, oleh cukong dan untuk cukong. Pemerintahan masih ada tetapi bukan untuk mengabdi dan melayani rakyat dan bangsa melainkan untuk mengeruk keuntungan pribadi dan golongan. Negara tidak lagi berdiri di atas khittah yang digarikan pendirinya. Kehilangan arah dan tujuannya.

Sehingga bangsa dan negara ini ibarat wujuduhu ka adamih (keberadaannya sama dengan ketidak-adakannya). Istilah Jawanya: mati sajeroning ngaurip (mati di dalam hidup).

Buya Syafii sudah menunaikan tugas kebegawanannya. Di antaranya memberikan wewaradan lan wewaler (perintah dan larangan), pitedah lan pitutur (petunjuk dan nasehat), piwulang lan piweling (pengajaran dan pengingat), sesuluh (pencerahan).

Buya, nyuwun agunging samudra pangaksami jika bacaan saya salah.

Rabbi a’lam (Tuhan yang Maha Tahu).

#Anwar Hudijono, wartawan senior tinggal di Sidoarjo

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.