Dapatkah Kecerdasan Buatan Merevolusi Sistem Perpajakan Kita?

Ilustrasi Artificial Intelligence . Sumber : Getty Images karya Anderson Piza
Ilustrasi Artificial Intelligence . Sumber : Getty Images karya Anderson Piza

Surabayapost.id – Sebagai generasi Z kita perlu mengetahui apa itu teknologi Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Artificial Intelligence adalah suatu teknologi yang menggabungkan kumpulan data menjadi big data dengan ilmu komputer dalam membuat keputusan dan menjawab pertanyaan sehingga mendekati pemikiran manusia. Kemampuan AI berasal dari kombinasi sistem algoritma dan teknik seperti machine learningdeep learning, dan natural language processing untuk membuat program yang dapat mengambil keputusan, memahami bahasa, dan melakukan tugas tanpa bantuan manusia. Seiring berjalannya waktu, teknologi AI ini memiliki peran dan banyak membantu manusia dalam kehidupan sehari-hari. Lantas jika banyak hal bisa dikerjakan dan diselesaikan dengan AI, mampukah AI mengambil alih seluruh sistem teknologi yang sudah ada di bidang perpajakan? 

Pada faktanya, kehadiran Artificial Intelligence (AI) di bidang perpajakan memiliki dampak positif dan negatif. Beberapa manfaat positif penerapan AI yaitu peningkatan efisiensi dan akurasi pengolahan data perpajakan, penguatan pengawasan terhadap wajib pajak untuk meningkatkan kepatuhan dengan cara mengidentifikasi potensi kecurangan pajak menggunakan sistem yang ada, serta peningkatan kualitas pelayanan kepada wajib pajak agar semakin efisien dan efektif. Namun penggunaan AI dalam konteks perpajakan juga memberikan dampak negatif, seperti meningkatnya tingkat ketidakpastian pengambilan keputusan akibat kesalahan pengolahan data, dan peningkatan risiko keamanan data wajib pajak maupun data perpajakan yang bersifat tertutup karena potensi celah keamanan pada sistem AI. Dengan demikian, meskipun keberadaan AI dibidang perpajakan akan sangat membantu meringankan pekerjaan otoritas pajak, tetapi tetap saja AI tidak akan mampu menggantikan profesi otoritas pajak. 

Beberapa negara di luar negeri telah menerapkan Artificial Intelligence (AI) dalam pengawasan pajak dan berhasil meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengawasan kepatuhan pajak. Sebagai contoh, di Pemerintah Prancis telah mengumpulkan tambahan pajak senilai hampir 10 juta euro atau sekitar Rp 148,96 miliar (kurs Rp 14,896). Setelah Fiskus di Prancis manfaatkan Artificial Intelligent (AI) untuk memeriksa bagian lengkap properti di rumah-rumah orang kaya. Teknologi yang disebut AI-pool-spotter ini khususnya dipakai oleh fiskus untuk memeriksa kolam renang yang rupanya banyak tidak dilaporkan kepada otoritas pajak Prancis.. Di luar negeri, beberapa negara seperti Selandia Baru, Australia, dan Amerika Serikat juga telah melakukan transformasi digital besar-besaran dan menerapkan teknologi AI dalam administrasi pajak. Meskipun demikian, masih terdapat tantangan dan risiko dalam penerapan AI dalam pengawasan pajak, seperti keamanan data dan privasi, keputusan subjektif, dan potensi tergerusnya fungsi pengawasan langsung oleh petugas pajak.

Pajak. Sumber : Pexels karya Nataliya Veitkevich
Pajak. Sumber : Pexels karya Nataliya Veitkevich

Lantas, perlukah AI diterapkan dalam bidang perpajakan di Indonesia?

Perkembangan AI di Indonesia sudah mengubah mayoritas sistem pekerjaan, mulai bidang administrasi hingga konsultasi. Sehingga sudah seharusnya bidang perpajakan juga ikut mempertimbangkan penerapan AI dalam membantu fiskus mencapai efektivitas dan efisiensi peningkatan kepatuhan Wajib Pajak. AI dapat membantu fiskus untuk mendeteksi tingkat kepatuhan Wajib Pajak sekaligus menganalisis data perpajakan yang diinput dalam sistem sudah benar atau sebaliknya. Akan tetapi, implementasi fiskus tidak dapat mengandalkan AI sebagai satu-satunya pertimbangan dalam mengambil keputusan. Hal tersebut didasarkan pada pernyataan bahwa sebaik-baiknya sistem tetap membutuhkan manusia sebagai pengendalinya. Selain itu, Amerika Serikat pernah melakukan uji coba AI untuk mendeteksi kepatuhan Wajib Pajak dan terdapat salah satu data yang terindikasi melakukan kecurangan. Akan tetapi setelah dilakukan pemeriksaan ternyata Wajib Pajak yang bersangkutan hanya memanfaatkan grey area dalam peraturan yang berlaku dan diartikan bahwa yang bersangkutan masuk dalam kategori penghindaran pajak legal. Dari uji coba tersebut dapat dijadikan benchmark untuk Indonesia bahwa penerapan AI tidak bisa lepas dari keterlibatan pihak fiskus, konsultan, dan otoritas pajak lainnya. 

Oleh Adela Apta, Azizah Alya, Bryan Owen, Febya Irma