BATU (SuravayaPost.id) – Dalam rangka HUT Kota Batu ke 19, Dinas Pariwisata (Disparta) Kota Batu di bidang pariwisata menggelar wayang kulit. Pertunjukan pagelaran kebudayaan tersebut dihelat di Rumah Dinas (Rumdin) Wali Kota Batu, Dewanti Rumpoko, Sabtu (17/10/2020) malam.
Dalang dari pagelaran wayang kulit itu adalah Ki Afrian Syahputra. Dalam pagelaran itu mengusung tema ‘Asmara Bumi’. Itu menceritakan Ki Lurah Semar menjadi danyang nusantara ingin membersihkan semua pagebluk (wabah) yang ada.
Hal itu, dibenarkan Kepala Dinas Pariwisata Kota Batu Arief As Siddiq, Sabtu (17/10/2020) malam saat di lokasi pagelaran wayang itu digelar.
“Jadi dalam rangka memperingati HUT Kota Batu ke 19, di bidang pariwisata kita mengangkat dibidang kebudayaan dengan mengadakan wayang kulit,” katanya.
Pagelaran itu digelar dengan protokol kesehatan yang ketat. Sebab, yang bisa nonton secara langsung hanya Wali Kota Dewanti Rumpoko dan Wawali Punjul Santoso bersama Forkopimda.
Sedangkan masyarakat kata dia tetap bisa ikut menonton dengan bebas. Itu lewat live streaming.
Dijelaskan dia jika wayang kulit itu diawali dengan penyerahan tumpeng sebagai sebuah bentuk seremonial budaya. Tumpeng tersebut diserahkan kepala Wali Kota Batu, oleh dewan kesenian yang diarak dari Jalan Kasiman menuju ke Rumdin Wali Kota.
“Penyerahan itu dilakukan sebelum acara dimulai, karena itu sangat penting sebagai wujud sebuah seremonial masyarakat kepada Bu Wali Kota sebagai Kepala Daerah Kota Batu,” ungkapnya.
Dan itu, ungkap dia, sebagai wujud masyarakat yang kepemimpinannya supaya dalam memimpin Kota Batu, yang menurutnya untuk kesejahteraan masyarakat dan keadilan yang menuju kemakmuran.
“Prinsipnya tumpeng among tani yang diserahkan pada Ibu Wali tersebut, bermuatan dawet, rujak legi dengan wadah antaboga yang bermakna dawet adalah simbol dari banyaknya keinginan dan harapan dari segenap masyarakat Kota Batu untuk mewujudkan Batu yang Tata Titi Tentrem Kerta Raharjo,” tandasnya.
Itu, tandas dia, dengan arak – arakan seperti itu, Arief meyakini bakal bisa menyedot perhatian para wisatawan datang ke Kota Wisata Batu.
Diwaktu yang sama, Dewan Kesenian Kota Batu, Fuad Wiyono mengaku terkait dengan itu semua,harus dilakukan dengan bekerja sama dan menjunjung tinggi perbedaan.
“Seperti yang disimbolkan pada rangkaian rujak legi yang terbentuk dari berbagai buah dan rasa.Wadah antaboga adalah simbol dari anta (tanpa rasa/keikhlasan), boga adalah makanan yang dapat dimaknai sebagai rasa tulus ikhlas dan bergantung sepenuhnya kepada Tuhan yang maha Esa dalam kepasrahan mutlak yang tanpa ikut mengatur-atur,” terangnya.
Selanjutnya, terjait tumpeng agung, yang menurutnya ,setelah dirangkai rasa ikhlas dalam memohon dan meletakkan diri serendah rendahnya dihadapan Tuhan.
Lantas, membangun rasa kehambaan di hadapan Sang Maha Agung sebagai penaung, pemenuh, penyerah atas permintaan dan permohonan kita semua.
“Tumpeng Robyong, robyong bermakna kemanunggalan tekad dari segenap masyarakat Kota Batu dalam mewujudkan rasa syukur atas segala yang sudah dianugerahkan Tuhan kepada makhluknya. Dengan totalitas menyatakan hakikat keterpujian Tuhan pada perilaku yang nyata,” urainya.
Itu, urai dia, Tumpeng Jun Jun adalah wadah di dalam kesadaran perilaku seorang peminta atau pemohon. Yang menurutnya dia akan menyiapkan kelayakan wadahnya atas sesuatu yang diinginkannya, karena besar kecilnya wadah akan menjadi kelayakan.
“Tumpeng Jabutan simbol dari sifat ikhlas dalam memberi dan menshodahkohkan apa yang kita punya kepada mereka yang tidak punya. Itu mengacu pada sabda Tuhan bahwa tidak akan habis harta yang kau sedekahkan kecuali akan ditambahkannya,” ucapnya.
Selanjutnya, menurut dia, terkait Tumpeng Piningit Kandungan, yang menurutnya punya makna sebisa mungkin bisa menyembunyikan apa yang sudah kita berikan atau yang kita sedekahkan agar sebisa mungkin ketika tangan kanan memberi tangan kiri tidak mengetahui.
“Piningit juga bermakna kita sebisa mungkin untuk mentiadakan sifat kikir, bahil dan sebagainya karena sebenarnya kikir, pelit dan baqil aadalah sebesar besarnya penutup pintu rahmat.Dan yang Tumpeng Serabi, itu penyelarasan dari tiga piranti hidup,” tegasnya.
Itu, tegas dia, cipta, rasa, karsa, adalah sarana untuk mencapai titik fokus dari permohonan kepada Tuhan. Selain itu, menurutnya serabi juga bermakna SE = 1 RABI adalah Tuhan.
“Tumpeng Pecut, pecut/cambuk aadalah pelecut semangat dalam kita mengupayakan ikhtiar untuk mencapai dari apa yang sebenar benarnya kita inginkan. Karena disamping kita berusaha, kita diwajibkan untuk ikhtiar.Cambuk adalah ujung, ngujung yang berarti upacara ritual meminta hujan dan hujan adalah simbol dari kerahmatan itu sendiri,” katanya.
Sedangkan, untuk Tumpeng Braja-Kalak Braja aadalah kekuatan, kekuatan, yang menurutnya bukan kekuatan kesombongan dan bukan kekuatan pada keangkuhan. Akan tetapi menurutnya, lebih pada kekuatan kewibawaan.
“Baik kewibawaan pemimpin sebagai pamong, maupun kewibawaan sebagai rakyat yang diemong. Dan untuk membangun kewibawaan sangat diperlukan luasnya khasanah keilmuan, khasanah rasa dan perasaan, khasanah akal dan pikiran,” terangnya.
Itu, terang dia, terkait Tumpeng Damar Murup ,yang menurutnya adalah nyala sebuah cahaya sebagai penerang jalan menuju satu titik arah yang dicita citakan.
“Damar murup adalah cahaya keilmuan untuk mencapai arah yang dicita – citakan .Damar murup aadalah cahaya pengertian untuk menuntun pemahaman akan kelayakan dari apa yg diminta dan dicita – citakan,” katanya.
Damar murup, kata dia, adalah cahaya rasa yang memahamkan hakikat rasa kehambaan makhluk atas Khaliknya. Damar murup yang menurutnya juga penerang kegelapan cipta, kegelapan rasa, dan karsa.
“Sehingga penerangan itu akan benar-benar menuntun kita pada sesanti Hakarya Guna Mamayu Bawana,” timpalnya.
Untuk diketahui, prosesi pagelaran wayang tersebut, dihadiri Forkopimda dan para OPD di lingkungan Pemkot Batu, dan beberapa undangan lainnya. (lil)
Leave a Reply