Haji Furoda itu Seperti Backpackeran?


Oleh: H Soenarwoto Prono Leksono

Pemerhati Haji dan Perjalanan Umroh

KEMARIN saya dapat WA dari seorang teman wartawan senior di Jakarta. Isi WA-nya tentang tulisan “keluh-kesah” Tri Widayanti, peserta jamaah haji furoda 2022. Sebelum dapat WA dari teman itu, saya sudah membacanya terlebih dahulu, karena “keluh-kesah” yang ditulis Tri Widayanti itu jadi viral di dunia media sosial (medsos).

“Benarkah seperti itu?” tanya teman wartawan senior di Jakarta itu kepada saya.
Selain dia, banyak teman lain yang mengirimkan tulisan keluh-kesah Tri Widayanti itu dan menanyakan kebenarannya. “Ada betulnya. Tapi, tak seutuhnya benar,” jawab saya.

Pertama, Mbak Tri menyerukan pergi haji itu semasih muda. Betul. Haji itu ibadah fisik. Rangkaian prosesi ritualnya sangat membutuhkan tenaga. Wukuf di Arofa, mabit di Mina, dan tawaf ifadah (disertai sai dan tahalul) di Masjidilharam. Setelah itu wira-wiri, jalan kaki lempar jumrah di Mina. Lempar jumrah selama tiga hari (nafar awal) dan selalu berjalan kaki menuju jamarat. Sangat melelahkan. Apalagi maktabnya jauh seperti haji reguler.

Jadi memang haji diserukan semasih muda. Tapi, bagaimana jika rejeki atau hidayah berhaji datang ketika jamaah sudah tak lagi muda. Wis kewut. Apakah jamaah tua “dilarang” menjalankan haji. Tentu yang melarang itulah yang berdosa. Orang niat baik atau hendak ibadah kok dilarang.

Kedua, Mbak Tri menyerukan agar jamaah daftar haji yang diselenggarakan oleh pemerintah, yakni haji reguler atau haji ONH Plus (haji khusus). Seruan itu baik. Tapi, calon jamaah harus rela antre 20 tahun lebih dan ONH Plus lebih dari 5 tahun. Apakah semua mau? Jika mau atau rela antre lama, berarti pergi haji nanti sudah umur tua atau lansia. Sudah tak kuat, sakit-sakitan, dan terpaksa sudah naik kursi roda. Maaf.

Ketiga, Mbak Tri mengatakan bahwa haji furoda itu seperti “bakcpackeran”. Mandiri. Tidak diurus oleh travel selaku pemberangkat jamaah. Dicontohkan saat ngurus maktab di Arofah dan Mina, dirinya harus mengurus sendiri. Dari informasi dari travel (PIHK), jamaah haji yang berangkat selalu didampingi petugas travel. Semua urusan haji selalu dilakukan oleh petugas travel alias jamaah tinggal mengikutinya. Tinggal menjalankan ibadah.

Jika ada jamaah tak ada yang mengurus alias jamaah pergi sendiri dan saat haji semuanya mengurus sendiri, tentu itu layak dipertanyakan travelnya. Tanggung jawabnya di mana? Mau menerima pendaftarannya, tidak mengurus jamaahnya. Atau mereka berangkat sendiri itu memang kemauan jamaah sendiri. Pokoknya berangkat sampai di tanah suci.

Perlu diketahui, dalam musim Haji 2022 yang kacau penerbitan visa furoda ini, banyak jamaah yang “memaksa” travel untuk berangkat sendiri. Mereka berangkat sendiri tanpa didampingi travel. Biasanya mereka itu jamaah muda yang berpengalaman tour ke luar negeri, menguasai bahasa Inggris dan Arab. Tapi, mereka tidak tahu bahwa prosesi haji itu jauh ruwet dibandingkan tour mancanegara. Setiap prosesi haji ada aturannya. Harus mendapatkan tasreh (surat izin) dari kementerian haji Saudi atau muasasah. Mbak Tri ini mungkin yang asal berani berangkat tanpa orang travel setelah “memaksa” diuruskan visanya. Mungkin lho.

Keempat, Mbak Tri menyebutkan bahwa soal fasilitas haji reguler dan ONH Plus lebih jelas.
Untuk ini tidak seutuhnya benar. Sebab, sering dalam setiap musim haji berserak kabar yang tak sedap mendera haji reguler atau ONH Plus. Misalnya makanan terlambat datang, basi, dan konon kadang malah tidak datang. Dulu pernah jamaah haji reguler dikabarkan kelaparan saat di Mina.

Masih soal fasilitas, belum lagi maktab haji reguler sangat jauh di ujung berung pun ada perlakuan tak “manusuawi”. Itu dulu. Semoga sekarang sudah bagus. Dulu, satu tenda ditempati 300-500 jamaah. Minim AC. Berdesak-desakan seperti “ikan pindang”, dan tempat tidurnya kadang cuma beralas karpet. Tak berkasur. Pintu maktab ada yang hanya satu untuk masuk, dan satu untuk keluar.

Bayangkan jika bersamaan masuk atau keluar maktab secara bersamaan. Tentu uyel-uyelan. Bahkan ada jamaah yang tergencet. Begitu pula saat naik bus angkutan, jamaah harus berdesak-desakan dan ada oknum petugas memasukkan jamaah dengan didorong paksa seperti mendorong “ternak”. Pokoknya, bus segera penuh dan berangkat. Tapi, hampir semua jamaah reguler menerima itu semua dengan ikhlas. Senang.

Sebenarnya, perjalanan haji itu tak bisa diprediksi. Tidak peduli itu haji reguler, ONH Plus (kuota kemenag), dan haji dengan visa furoda. Semuanya amat bergantung dari keikhlasan jamaah. Mengutip dawuh kiai; semua itu sesuai amal perbuatannya masing-masing.

Jika jamaah kurang syukur dan hanya melihat sisi kekurangannya, maka yang ketemu kekuranggannya. Hasilnya mengeluh dan mengeluh. Jauh dari nilai kemabruran. Ketika pulang haji ada ledekan buat mereka yaitu “Haluh” (haji suka mengeluh) atau “Hama” (haji suka marah-marah). Naudzubillah.

Tapi jika jamaah penuh syukurnya dan ikhlas menerima setiap ujian dalam perjalanan haji,
maka nikmat yang mereka rasakan. Kemabruran ibadah hajinya pun bakal digapai. Maaf, sekali maaf mungkin yang dirasakan Mbak Tri kurang bersyukurnya. Betapa tidak. Ribuan jamaah kecewa, sedih dan menangis karena tak bisa berangkat haji tahun 2022 ini. Itu karena ada pemangkasan kuota besar-besaran yang dilakukan oleh kerajaan Saudi. Kuota haji reguler Indonesia yang biasanya mencapai 250 ribu jamaah, kini tinggal 100.051 jamaah. Berarti haji reguler yang tak berangkat tahun ini sekitar 100 ribu. Haji ONH Plus yang biasa kuotanya sekitar 17.500, tahun ini yang berangkat hanya 7.000 jamaah.

Nah, mestinya Mbak Tri bisa lebih bisa bersyukur bisa datang di Tanah Suci untuk menjalankan ibadah haji. Soal berat dan melelahkan memang perjalanan ibadah haji itu sangat berat dan sangat melelahkan. Berat sekali. Untuk itulah haji itu diwajibkan bagi mereka yang mampu. Mampu bayarnya, mampu fisiknya, dan mampu mentalnya (berakhlak).

Mampu bayar saja belum cukup. Dalam manasik haji dan umrah, uang ongkos haji dan harus halal. Tidak dari korupsi. Tidak dari merugikan orang lain, tidak menipu orang lain dalam berdagang, dan semacamnya yang tidak halal. Sebab, kehalalan uang untuk bayar haji dan umrah itu juga akan menentukan kualitas perjalanan spiritual haji dan umrah jamaah, selain utamanya kemabruran ibadahnya.

Maaf. Jika cuma mampu bayar dan mengabaikan kehalalan uangnya dari mana, maka mengacu dalam ilmu manasik, tentu itu tak ketemu hakikatnya haji. Bersih lahir dan batin. Juga, hakikat haji itu berkurban. Haji itu menapak-tilasi Nabi Ibrahim AS dalam berkurban. Menyembelih anak tercintanya. Memupus segala egoisme kita. Mendahulukan kepasrahan dalam bertauhid di dalam menjalankan ibadah, bukan nafsu dan membanggakan diri. Mencintai Allah di atas segala-galanya (isteri, suami, anak, harta, pangkat dan jabatan).

Nilai pahalanya sesuai dengan jerih payah jamaah menjalankan ibadah haji. Kesusahan, kepedihan, dan dari kelahannya. Bukan dari kemudahan, kenikmatan, dan mewahnya fasilitas. Ritual haji itu bukan tour keluar negeri. Maaf, sampai di sini saja semoga Mbak Tri dan calon jamaah haji bisa memahami hakikat haji. Haji itu berkurban. (**)

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.