
GRESIK (SurabayaPost.id)– Di Desa Petiyintunggal, Kecamatan Dukun, tanah bukan sekadar pijakan. Ia adalah sumber kehidupan, harapan, sekaligus pengingat betapa pentingnya rasa syukur. Setiap tahun, desa yang dikelilingi sawah hijau nan subur ini merayakan sedekah bumi, sebuah tradisi warisan leluhur yang tetap terjaga meski arus modernisasi kian deras.
Di tengah perubahan zaman, warga Petiyintunggal menolak hanyut. Mereka percaya, tradisi adalah identitas. Dengan membawa hasil bumi, doa-doa, serta makanan ambeng, masyarakat berkumpul dalam suasana kebersamaan yang hangat. Lalu, malamnya mereka larut dalam pentas seni tradisional, dari wayang kulit hingga campursari.
“Kami ingin mengingatkan diri sendiri bahwa rezeki ini tidak datang begitu saja. Ada doa, ada syukur, ada kebersamaan,” tutur Kepala Desa Petiyintunggal, Mat Asroful, Jumat (22/8/2025).
Bagi warga, sedekah bumi bukan sekadar pesta. Ia adalah penanda perjalanan panjang desa yang hidup dari pertanian. Tradisi yang sudah ada sejak nenek moyang ini diyakini membawa berkah bagi hasil bumi. “Sejak kecil saya sudah melihat kegiatan ini. Pernah satu kali tidak dilakukan, katanya waktu itu terjadi musibah. Itu sebabnya, sedekah bumi selalu dijaga,” kenang Asroful.
Tahun ini, rangkaian sedekah bumi berlangsung empat hari, 19–22 Agustus 2025. Dimulai dari doa bersama di makam dusun, dilanjutkan syukuran Metu Ambeng, hingga malam budaya dengan wayang kulit dan campursari di balai desa. Puncaknya ditutup dengan manakib pada hari terakhir.
“Tradisi ini kami padukan dengan kegiatan keagamaan. Budaya bisa menjadi sarana indah untuk dakwah, sekaligus cara agar anak-anak muda tetap mengenal akar mereka,” jelas Kades muda ini.
Tak hanya menghidupkan ingatan akan leluhur, sedekah bumi juga mempererat persaudaraan. Dalam suasana guyub, sekat perbedaan hilang. Tua-muda, kaya-sederhana, semua duduk bersama menikmati ambeng panjang, menundukkan kepala dalam doa, lalu tersenyum dalam hiburan rakyat.
“Kalau ada sedekah bumi, rasanya desa jadi lebih hidup. Semua orang turun, berkumpul, dan saling menyapa. Ada rasa hangat yang jarang kita temui di hari biasa,” ungkap seorang warga.
Perayaan ini sepenuhnya diselenggarakan oleh Pemerintah Desa Petiyintunggal, tanpa memungut iuran dari warga. Empat hari penuh, desa hidup dalam kegembiraan, syukur, dan doa bersama.
“Selama masyarakat masih guyup, saya yakin sedekah bumi akan terus ada. Tahun depan semoga lebih meriah, tapi tetap dengan jiwa yang sama: syukur dan kebersamaan,” pungkas Asroful.
Bagi Petiyintunggal, sedekah bumi bukan hanya ritual tahunan. Ia adalah jejak syukur, perekat sosial, sekaligus warisan leluhur yang tak pernah lekang oleh waktu.