Lembar Ramadhan (1)
Tadi pagi, sekitar pk 05.20 menit, HP saya bunyi. Sebuah WA masuk.
” Ustadz ada waktu ? Saya mau dialog sebentar,” tulis sebuah pesan. Saya buka pengirimnya seorang Direktur BUMN dari Jakarta, bersahabat dengan saya sejak muda.
” Siap Pak Dirut. Sehat-sehat ya. Sudah lama sejak ribut Pilpres kita tidak dialog dan bertemu, ” Jawab saya.
” Iya ustadz sehat, alhamdulillah. Cuma gelisah terus saya. Boleh minta cerdaskan hati dan pikiran ustadz. Setahun lalu kan ustadz yang sadarkan soal kurangnya kedekatan saya dengan anak saya.”
” Oh, infonya sudah lengket sama anak-anak. Saya lihat IG putri bapak usai diajak jalan-jalan ke Eropa. Survey tempat kuliah?.”
” Iya betul ustad.”
Basi basi beberapa menit, sampai akhirnya kembali ke masalah awal.
” Masalahnya sekarang ustadz, saya sulit tidur. Gelisah tidak berkesudahan. Kalau sudah dikantor sibuk meeting, menerima tamu. Saya bahagia. Begitu sendiri gelisah, mau tidur galau tidak tahu penyebabnya.”
Ia terus lanjutkan wa nya. Tapi saya suruh telepon gak mau. Takut nangis dan ganggu waktu pagi saya.
“Kalau bapak bisa nangis bagus. Karena orang gelisah sulit menangis. Tapi hanya perasaan dan hati tidak jelas ada apa,” tulis saya.
” Tolong saya dikasih nasihat, dikasih solusi. Karena sudah 3 bulan ini gelisahnya makin parah dan tidak jelas penyebabnya. “
Saya kemudian ingat, pernah membaca sebuah referensi.
” Perasaan inilah yang disebut dengan insecurity. Alhasil kita sering menyalahkan diri sendiri, merasa tidak nyaman bahkan hingga mengganggu dan menghambat aktivitas sehari-hari.” Tulis Putry Damayanty dalam sebuah artikel.
Sebagai umat muslim, tulis Putry, saat diri merasa insecure hendaknya tidak lepas dari berpegang pada Al-Qur’an. Sebab, kitab ini adalah pedoman dalam kehidupan yang diturunkan oleh Allah SWT.
Daripada terus menerus larut dalam kecemasan dan ketidakpercayaan diri, lebih baik mari kita simak 5 Ayat Alquran berikut yang mampu menghilangkan rasa insecure dan membuat diri semakin bersyukur.
Lamunan saya tergugah, karena sang Sahabat WA lagi.
” Saya mau mandi dulu, siap-siap kerja. Tolong ustadz kirim ke WA saya, nanti saya respon usai persiapan kerja. Sambil ke kantor nanti kita lanjutkan dialognya.”
” Siap,” jawab saya singkat.
Punya waktu 10 sd 30 menit untuk menjawab, ganti saya yang gelisah. Karena catatan saya bisa diabaikan kalau jawaban saya normatif. Maklum ini menghadapi orang pinter, punya jabatan tinggi. Pasti suka ngeyel dan merasa benar.
Mau saya jawab baca 5 ayat Al Quran, seperti yang ditulis banyak ustadz, saya takut saya sendiri tidak bisa jalani. Dan jangan-jangan sudah dengar dari Kyainya. Karena tidak mungkin jabatan setinggi itu tidak punya guru dan kyai.
” Saya menjawab sebagai sahabat ya pak Dirut. Bukan ustadz apalagi kyai. Tolong kalau baik jalankan, kalau dianggap tidak baik abaikan,” tulis WA Saya membuka kembali dialog.
Saya tunggu beberapa menit belum juga dibuka apalagi dijawab. Mungkin siap-siap mau ke kantor. Saya pun menulis kembali agar dijawab saat beliau sudah dimobil.
” Saran saya ada 3. Pertama besok kalau sampai dikantor sebelum naik lift. Bapak datangi Satpam dan office boy. Cukup bapak salami satu persatu.”
Saya lanjut nulis.
” Kedua, dalam minggu ini sempatkan jenguk saudara dan teman yang sakit di rumah sakit atau dirumahnya.”
Tiba-tiba belum sempat melanjutkan saran ketiga. Beliau membalas.
” Ide seru ini tadz. Tidak pernah saya membayangkan jawaban sahabatku seperti ini,” tulisnya. “lanjut yang ketiga apa tadz
Saya pun menjawab.
” Ketiga. Mungkin karena kesibukan bapak, sudah lama tidak pernah ikut hadiri pemakaman. Baik saudara maupun teman. Karena bapak merasa kirim bunga sudah cukup mewakili.”
Beberapa detik baru dibuka dan sahabat cerdas ini menjawab.
” Ya Allah dulurku, sahabatku. Kenapa ustadz bisa menerka 3 hal itu yang betul tidak saya lakukan ?” Tulisnya.
” Waduh saya tidak menerka. Tapi memberi saran, he hee,” jawab saya.
” Saya seneng dan ingin menjalankan. Tapi tolong tadz saya diberi alasan religiusnya 3 hal itu, ” tulisnya.
Inilah bedanya orang pintar dengan orang biasa. Ngeyel, minta ilmiah.
Saya akhirnya butuh beberapa detik memikirkan jawaban.
” Begini. Saya jalani sendiri semua yang saya sarankan. Dan saya menemukan kebahagian.
Pertama, menyalami orang kecil yang levelnya jauh dari bapak itu, keindahan. Karena Rasulullah suka menyalami orang kecil. Sambil bilang, orang yang tangannya kasar (pekerja keras) ahli surga.
Sebuah kisah mohon dibaca ; Ketika Rasulullah saw pulang dari Perang Tabuk dan memasuki Kota Madinah, Rasulullah saw melihat seorang lelaki yang telapak tangannya tampak kasar hitam kemerah-merahan, ketika ditanya mengapa tangannya kasar seperti itu?.
Lelaki itupun menjawab dengan lugas apa adanya, “setiap hari saya bekerja membelah batu-batu besar hingga tanganku kasar seperti ini. Setelah batu-batu terbelah, maka batu-batu belahan itu saya jual ke pasar dan hasil penjualannya saya pergunakan untuk menafkahi anak dan istriku”.
Mendengar jawaban lugas apa adanya, Rasulullah saw langsung mencium tangan lelaki itu seraya bersabda; tangan ini tidak akan tersentuh oleh api neraka.
Kedua, menjenguk orang sakit, adalah kebahagiaan. Karena rasa syukur akan timbul. Ini inspirasi dari sebuah hadist kudsi.
ADA hadis riwayat Muslim yang terdengar sangat puitis. Inilah qudsi berderajat shahih yang menunjukkan betapa Allah ‘Azza wa Jalla menyayangi hamba-hamba-Nya yang sedang sakit. Sesungguhnya Allah ﷻ kelak di hari kiamat akan bertanya, “Hai Anak Adam, Aku sakit, tetapi kenapa engkau tidak menjenguk-Ku?”
Jawab Anak Adam, “Ya Tuhanku, bagaimana mungkin aku harus menjenguk-Mu, sedangkan Engkau adalah Tuhan Semesta Alam?”
Allah ﷻ berfirman, “Apakah engkau tidak tahu bahwa hamba-Ku si fulan sakit, sedangkan engkau tidak menjenguknya? Apakah engkau tidak tahu, seandainya engkau kunjungi dia, maka engkau akan dapati Aku di sisinya?”
Ketiga, hadiri pemakaman, memberi sinyal dihati, bahwa esok giliran kita. Semua manusia, akhirnya mati. Dan itu kalau sering dilakukan akan melahirkan sikap waspada, tidak sempat sombong dan diam-diam ubah Mindset kita bahwa perlunya tiap hari menanam kebaikan.
WA panjang saya akhiri. ” Maaf terlalu panjang kawan. Karena minta dasar religiusnya saya harus kirim referensinya. Bismillah kalau baik, jalankan, kalau dianggap tidak rasional, abaikan. “
Saya pun kemas-kemas mau ke Kebun Riset dan Kampus alam yang sedang kami tekuni. Hp saya letakkan.
1 jam kemudian. Saya buka ada beberapa WA masuk. Dan saya baca dulu jawaban bos, sahabat baik ini.
” Mas Yus, ustadzku. Saya membaca dengan bergetar. Saya ulangi makna pesen jenengan. Dan dengan keberanian baja, saya tadi masuk kantor ingin datangi satpam dan OB. Tapi kaki saya berat. Gak kuat mental saya,” tulisnya.
Ia melanjutkan nulis :
” Akhirnya semua Satpam saya panggil gantian ke ruang. OB per 5 orang saya suruh ke ruangan saya. Saya salami semua, sambil memberi amplop. Saya menemukan titik aneh dihati. Tapi begitu mereka pada mencium tangan saya, saya jadi merasa bersalah. Apalagi wajah mereka polos dan heran, membayangkan bingungnya tiba-tiba dipanggil.”
” Maaf mas, saya belum mendatangi mereka, semoga langkah awal saya rintisan saya menjalanka,”‘tambahnya.
Saya pun membalas.
” Alhamdulillah, alhamdulillah saya ikut bahagia. Semoga besok mendatangi, bukan mengundang. Karena meski sama-sama bertemu maknanya beda. Bapak akan menemukan kebahagiaan. Menetesi batin, dengan langkah2 mulia itu. “
” Siap sebulan ini, saya akan jalankan 3 “fatwa” Jenengan. Hidup didesa jenengan makin jernih. Dulu sama-sama di Jakarta kok bahasnya kerja kerja saja. Makasih mas, makasih ustadz sahabatku,” tulisnya sambil pamit meeting.***