Kidung Lara di Langit Singasari

Di kota raja Gelang-Gelang, Kadipaten Kediri, Adipati Jayakatwang pikirannya menerawang jauh. Dihadapannya beberapa punggawa Gelang-Gelang bersimpuh dengan kepala menunduk. Tak sepatah katapun bersuara sore itu. Beberapa abdi kedipaten sudah bersiap untuk menyulut pelita-pelita. Sore itu sudah temaram. Tampak di jalan depan pendopo agung para petani pulang dari sawah. Gelap merambat pasti. Prajurit jagapun sudah diganti oleh prajurit jaga malam. 

“Kakang Mahesa Bungal,” suara Adipati Jayakatwang memecahkan keheningan. Mahesa Bungal beringsut sedikit kedepan sembari mengangkat kepalanya sejenak, kemudian menunduk kembali. “Kakang, beberapa waktu yang lalu pamanda Harya Wiraraja dari Kadipaten Sumenep mengutus tiga orang prajurit telik sandinya ke Gelang-Gelang. Menurut telik sandi tersebut kakanda Prabu Kertanegara mengganti beberapa pejabat di kerajaan Singasari. Ki Patih Raganata diganti oleh Ki Bekel Aragani, Senopati Perang dipercayakan kepada putra menantunya Raden Wijaya, pamanda Harya Wiraraja juga sudah jarang sekali dimintai pendapat tentang tata kelolah negara. Sementara putraku sendiri Raden Ardaraja hanya diberi tanggung jawab keamanan istana,” Adipati Jayakatwang berhenti sebentar sambil menarik nafasnya dalam-dalam. Pelita-pelita sudah disulut. Terang benderang pendopo agung malam itu. Suguhan wedang sereh dan wedang jahe   dengan gula kelapa serta berbagai makanan sudah dihidangkan oleh para pelayan. Suara cengkerik dan belalang  sudah terdengar bersahutan dari semak-semak luar pendopo. 

Pembicaraan di pendopo agung malam itu semakin detail. Maka ketemulah satu titik pembicaraan bahwa Prabu Kertanegara raja Singasari bertindak semena-mena dalam memimpin negara, maka tidak ada jalan lain Kadipaten Kediri yang berpusat di Gelang-Gelang angkat senjata untuk melengserkan Prabu Kertanegara raja Singasari.

“Kakang Mahesa Bungal, ini sudah waktunya kita mengembalikan tahta dari Singasari ke Kediri. Tahta kakek buyutku Prabu Kertajaya yang dirampas Ken Arok kakek buyutnya Prabu Kertanegara, yang kemudian kota raja Kediri dipindah ke Singasari. Kakang mumpung Singasari sedang berbenah mengirim sebagian pasukannya ke Malaya yang dipimpin Senopati Pasukan Laut Ki Kebo Anabrang untuk menghadang pasukan Khubilai Khan dari Cina. Khubilai Khan merasa terhina oleh Prabu Kertanegara karena utusan dari Cina yang dipimpin oleh Mang Chi dipermalukan di paseban agung oleh Prabu Kertanegara.” 

Adipati Jayakatwang memandang sekeliling dan malam semakin dingin. 

Di kota raja Singasari tampak kesibukan yang luar biasa. Raden Wijaya bersama beberapa senopati perang, diantaranya Ki Nambi, Ki Sora memberi petunjuk-petunjuk kepada para prajurit untuk menghadapi pemberontak dari Kediri dan sekaligus menghadang pasukan Khubilai Khan. 

Pasukan Singasari wilayah utara dipimpin Raden Wijaya (menantu Prabu Kertanegara), wilayah selatan yang meliputi istana raja dipimpin Raden Ardaraja (menantu Prabu Kertanegara yang juga putra Adipati Jayakatwang). 

Tahun 1292, pasukan Kediri menggempur Singasari dari dua arah, utara dan selatan. 

Segenap kekuatan pasukan Kediri ditempatkan di selatan, sebab Prabu Jayakatwang mengharap senopati perang Singasari wilayah selatan akan bertempur setengah hati, karena Raden Ardaraja masih putra kandung Prabu Jayakatwang. 

Sementara itu pasukan Kediri yang berada di utara bertugas memancing pasukan Singasari untuk keluar jauh dari kota raja (ibu kota). Oleh sebab itu pasukan Kediri menggunakan taktik mundur. Taktik mundur terus menerus inilah yang membuat pasukan Singasari semakin jauh dari kota raja. 

Sementara kekuatan penuh pasukan Kediri yang di wilayah selatan  terus mendesak pasukan Singasari. Menilai keadaan yang tidak menguntungkan pasukan Singasari, mendadak ada perubahan sikap Raden Ardaraja, dan bersama pasukan yang setia padanya malahan   berbalik ikut menggempur pasukan Singasari. 

“Keparat, Ardaraja berkianat. Ardaraja berkianat,” teriak beberapa prajurit Singasari. 

Tak seberapa lama kota raja Singasari dibumi-hanguskan oleh pasukan Kediri. Prabu Kertanegara terbunuh di halaman istana Singasari. 

Raden Wijaya mendengar istana Singasari sudah menjadi karang abang dan kota raja Singasari sudah sepenuhnya dalam kendali pasukan Kediri, maka tak ada pilihan lain Raden Wijaya beserta pasukannya yang tersisa melarikan diri ke hutan Mojokerto. 

Dalam pada waktu itu, tengah malam pasukan segelar sepapan Khubilai Khan yang dipimpin oleh senopati perang Shi Pi, Iheh Mu Shi dan Khan Hsing mendarat di pantai Tuban. 

Selesai

Poedianto, Guru SMK Pariwisata Satya Widya, Surabaya.

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.