Oleh Anwar Hudijono
Yang mau bilang itu aib silakan. Yang mau menyatakan prihatin boleh-boleh saja. Yang mau kesal dan malu tak masalah. Saya sendiri melihat kericuhan Kongres Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ke-31 di Surabaya itu seksi gitu low.
Kenapa? Pertama, Kongres ricuh ini bukan yang pertama. Kongres di Depok obrak-abrikan. Kongres di Ambon awut-awutan. Kericuhan Kongres Surabaya ini kabarnya juga bukan yang terparah. Dengan demikian anggap saja kericuhan ini bagian dari dinamika organisasi.
Sekaligus sebagai pembelajaran bagi kader yang mau terjun ke politik. Bahwa proses politik itu seringkali dibumbui kekerasan. Politik sekarang ini politik hibrida. Proses politik tidak cukup dengan lobi, negosiasi, tetapi juga propaganda, kekerasan, intimidasi. Ke depan politik hibrida ini akan semakin menggigit. Nah, di sinilah salah satu seksinya kericuhan Kongres.
Kedua, HMI itu organisasi anak muda. Tingkat emosinya masih tinggi. Sementara intelektualitasnya ya masih datarlah. Cuma mereka saja kadang-kadang kemenyek merasa sudah hebat. Tapi itu pun tidak apa-apa. Karena anak muda itu ibarat padi yang masih hijau, gabahnya belum berisi sehingga berdiri mendongak.
Apalagi ini jaman digital. Jaman medsos. Medsos itu konsumsi emosional. Di situ emosi berubah-ubah secara cepat. Dari ketawa tiba-tiba ngamuk. Dari grup persaudaraan berubah jadi grup gegeran. Medsos itu menaikkan daya emosionalitas. Saat bersamaan menurunkan daya intelektualitas. Maka para ”ahlul medsos” lazimnya baperan.
Kebalikan dengan buku. Buku itu konsumsi intelektualitas. Membaca buku itu ada waktu dan energi merenung. Menelaah. Menimbang-nimbang. Buku membahas persoalan secara lebih menyeluruh. Kenapa generasi awwalun HMI pintar-pintar, intelektualitasnya mumpuni karena mereka pedoyan buku. Betapa mereka bangga jika kamar kostnya penuh dengan buku.
Saya menduga mayoritas peserta Kongres ini ahlul medsos. Hanya masalahnya, apakah kader-kader HMI sudah merasa puas menjadi ahlul medsos?
Politik transaksional
Ketiga, kericuhan itu pertanda tidak ada operasi senyap dengan uang. Di jaman now, alat efektif yang bisa membikin diam itu uang. Kalau uang justru malah bikin ricuh itu berarti pembangian tidak merata atau ada entit-entitan.
Saya sangat prihatin ketika berembus kabar Kongres di Jogja ada isu cukong membawa karungan uang di arena Kongres. Ada kandidat bagi-bagi uang pulsa. Uang tiket. Entah apapun namanya. Yang jelas itu bagian dari politik transaksional. Benar tidaknya saya tidak tahu.
Kok bisa cukong terlibat? Sangat mungkin. Pimpinan HMI itu berpotensi menjadi pemimpin Indonesia. Terbukti banyak pemimpin Indonesia berlatar belakang HMI. Di Kabinet Jokowi-Ma’ruf saja ada sejumlah kader HMI. Sekian persen anggota DPR dan MPR kader HMI. Bagi cukong, membangun oligarki itu dimulai sejak dini.
Berdasar ilmu titenologi, saat ini ada kader-kader HMI yang sudah jadi alumni masuk dalam jaringan oligarki. Konon Indonesia saat ini dikendalikan oleh kekuatan oligarki. Dan bisa jadi justru mereka itu kini jadi patron para kader yang ikut Kongres.
“Tarekat intelektual”
Anggap saja, sekali lagi, ricuh ini dinamika organisasi sesaat. Jangan diperpanjang. Jangan sampai HMI tersempal seperti jaman HMI MPO.
Sebagi orang tua, saya tidak bisa mengatakan kalian harus begini kalian harus begitu. Bernostalgia jaman saya muda. Kader-kader sekarang hidup dengan masalah dan tantangan tersendiri. Punya jaman sendiri.
Hanya karena di akhir jaman, saya mengingatkan bahwa HMI harus menjadi generasi yang didatangkan oleh Allah. Generasi yang dicintai Allah dan mereka mencintai-Nya. Yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap tegas/keras terhadap orang-orang pagan. Yang berjihad di jalan Allah. Tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. (Quran 5:54).
Kader-kader HMI sebaiknya melakukan “tarekat intelektual” dalam arti berani prihatin. Tidak larut dalam kemegahan dunia. Tidak hanyut dalam materialisme, liberalisme, hedonisme. Seperti yang disimbolkan dengan anak muda yang ikut Nabi Musa berguru kepada Hidlir. Seperti generasi Ashabul Kahfi yang dirahmati Allah.Salah satu isi “tarekat intelektual” itu adalah berani menunda kesenangan.
Berani menunda kesenangan inilah yang dinasehatkan Cak Nur kepada seorang mantan ketua umum HMI. Dia ini karier politik sangat cemerlang. Banyak yang memprediksi, selangkah lagi dia menjadi pemimpin RI. Sayang, dia melupakan nasehat Cak Nur. Akhirnya, bukan hanya pupus karier politiknya, malah masuk penjara.
Coba pasca ricuh ini, melakukan “tarekat intelektual” sehingga menjadi danau yang tenang, bening setelah bergelombang diterjang badai. Rabbi a’lam.
*Anwar Hudijono, kolumnis tinggal di Sidoarjo.
Leave a Reply