
Oleh: Mokhmad Masduki
Liputan salah satu televisi nasional milik konglomerat yang menyorot kehidupan pesantren baru-baru ini memicu gelombang protes luas. Santri, alumni, dan masyarakat pesantren menilai tayangan tersebut bukan sekadar salah paham, tetapi bentuk kesalahan etik yang serius. Dalam liputan itu, pesantren digambarkan secara provokatif, melalui potongan video tanpa konteks dan narasi yang mengaburkan makna takzim — tradisi penghormatan santri kepada kiai yang justru merupakan inti etika spiritual pesantren.
Dalam kasus ini, televisi nasional tersebut gagal memenuhi prinsip paling dasar jurnalisme: menyampaikan kebenaran. Potongan gambar disusun untuk menggiring opini, bukan menjernihkan realitas. Akibatnya, publik disesatkan oleh potongan realitas yang dipalsukan — bukan realitas yang sebenarnya.
Menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku The Elements of Journalism, ada sembilan elemen yang menjadi fondasi profesi ini. Sayangnya, liputan televisi tersebut justru menabrak satu per satu elemen itu.
Pertama, kebenaran adalah tujuan utama jurnalisme. Dalam tayangan itu, kebenaran dikaburkan oleh narasi sensasional. Tradisi hormat santri kepada guru tak dijelaskan secara utuh, sehingga publik memaknainya sebagai simbol feodalisme.
Kedua, loyalitas jurnalis seharusnya kepada warga. Media bertugas mencerdaskan publik, bukan memanaskan kebencian. Sayangnya, liputan tersebut justru membuat masyarakat salah paham terhadap pesantren — lembaga yang sejatinya bagian dari denyut kehidupan warga itu sendiri.
Ketiga, disiplin verifikasi. Tidak ada konfirmasi, tidak ada wawancara dengan pihak pesantren. Potongan gambar diolah seolah-olah fakta utuh. Padahal, dalam jurnalisme sejati, verifikasi adalah garis tebal pembeda antara berita dan gosip.
Keempat, independensi. Liputan televisi itu tampak sarat dengan sudut pandang luar, bahkan cenderung memandang tradisi pesantren sebagai praktik kuno. Padahal independensi bukan berarti sinis terhadap budaya, melainkan adil kepada semua pihak.
Kelima, fungsi jurnalisme sebagai pengawas kekuasaan. Media boleh mengkritik institusi keagamaan, namun kritik memerlukan data — bukan cemoohan. Liputan tersebut kehilangan keseimbangan antara mengkritik dan menistakan.
Keenam, jurnalisme harus menjadi forum dialog publik. Alih-alih membuka ruang dialog, televisi tersebut justru menutupnya. Tidak ada suara pesantren yang diberi kesempatan bicara, hanya narator yang memonopoli tafsir.
Ketujuh, jurnalisme harus membuat hal penting menjadi menarik — bukan menjual sensasi. Dalam kasus ini, penghormatan santri dijadikan bahan tawa dan klik penonton.
Kedelapan, proporsionalitas. Menyorot satu adegan santri jongkok lalu menggeneralisasi seluruh pesantren adalah bentuk distorsi. Tidak ada upaya memahami makna di balik tradisi itu, padahal dalam banyak pesantren, sikap menunduk adalah simbol kerendahan hati di hadapan ilmu.
Kesembilan, nurani jurnalis. Kamera dan pena seharusnya digerakkan oleh nurani — nurani yang tahu kapan sebuah narasi bisa melukai, dan sadar bahwa setiap kata dapat memengaruhi jutaan pikiran. Ketika nurani itu mati, media berubah menjadi mesin dingin yang memproduksi kebencian dengan label berita.
Kasus ini bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan krisis moral jurnalisme. Media ibarat matahari: bisa menerangi dunia atau justru membakarnya. Ketika media taat pada etika, ia memberi pencerahan. Namun ketika ia mengejar sensasi dan klik, ia menjadi api yang membakar reputasi, merusak kepercayaan, dan menebar kabut kebencian.
Satu tayangan dapat merusak nama baik lembaga yang dibangun berabad-abad. Satu kalimat mampu mengubah persepsi masyarakat — dari pesantren sebagai pusat ilmu menjadi simbol feodalisme.
Media berhak kritis, tetapi juga wajib adil. Pesantren pun berhak dihormati. Takdim santri kepada kiai bukanlah feodalisme, melainkan cinta kepada ilmu dan guru. Kesalahan televisi nasional itu menjadi pengingat bagi kita semua: di balik kamera dan pena harus selalu ada nurani.
Tanpa nurani, jurnalisme hanyalah gema kosong yang mengabarkan kebencian.