GRESIK (SurabayaPost.id)–Keabsahan penetapatan tersangka terhadap Sekretaris Daerah (Sekda) Pemkab Gresik Andhy Hendro Wijaya oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Gresik dalam kasus pemotongan dana insentif di BPPKAD dinilai tidak sah oleh saksi ahli Dr Prija Djatmiko SH MH. Staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang ini menilai seseorang tidak bisa dijadikan sebagai tersangka kasus tindak pidana berdasarkan atas alat bukti perkara yang belum memiliki kekuatan hukum tetap (incracht).
Dalam kasus OTT pemotongan dana insentif Plt Kepala BPPKAD Gresik Mukhtar telah divonis 4 tahun penjara oleh Hakim Tipikor Jawa Timur. Karena Mukhtar mengajukan banding maka kasus tersebut dianggap belum memiliki kekuatan hukum tetap atau incracht. “Karena apabila perkara tersebut pada tingkat banding atau kasasi diputuskan kalah maka konsekuensinya semua alat bukti yang diajukan tidak memiliki nilai kebenaran,” tegas Djatmika saat menjawab pertanyaan Hariyadi kuasa hukum Andhy saat sidang lanjutan di PN Gresik, Rabu (6/11).
Sidang praperadilan yang dipimpin Hakim tunggal Rina Indrajati ini, saksi ahli juga menjelaskan terinci atas pertanyaan Hariyadi terkait keabsahan soal pemanggilan kliennya, baik saat statusnya sebagai saksi maupun saat sebagai, termasuk praperadilan dan SEMA No. 01 Tahun 2018. Menurut Djatmiko, dalam Pasal 227 dan 228 KUHAP, surat panggilan harus dilayangkan 3 hari sebelum jadwal pemanggilan. “Saya contohkan, ketika dipanggil tanggal 1 Oktober, maka hadir tanggal 4. Itu di pasal 227 KUHAP. Jika ada panggilan penyidik, baik statusnya saksi atau tersangka tak mengikuti ketentuan pasal 227 dan 228 KUHAP, maka pemanggilan batal demi hukum,” terangnya.
Ia menegaskan, pemanggilan Andhy oleh penyidik Kejari tak mengikuti ketentuan pasal 227 dan 228 KUHAP karena hanya berselang rata-rata 2 hari.” Jika tak mengikuti aturan itu (pasal 227 dan 228 KUHAP, Red) tak wajib hadir dan panggilan seperti itu batal demi hukum,” katanya.
Ia juga memberikan Yurisprudensi kasus penetapan mantan Ketua DPR RI, Setyo Novanto (Setnov) dalam kasus korupsi e-KTP. Kala itu upaya hukum praperadilan yang dilakukan Setnov dikabulkan pengadilan, karena yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka sebelum memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Saat itu, Setnov upaya hukum praperadilan dan dikabulkan. KPK kalah pra. Kasus Setnov ini bisa menjadi yurisprudensi penetapan Sekda sebagai tersangka,” terangnya.
“Seharusnya, kalau menetapkan tersangka terhadap andhy harus bersamaan dengan Mukhtar. Sehingga, proses hukumnya bersamaan,” ungkapnya.
Pada persidangan ini, saksi ahli juga menanggapi soal Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 Tahun 2018. Menurutnya, praperadilan tersangka itu bisa ditolak setelah tersangka ditetapkan melarikan diri atau daftar pencairan orang (DPO).
“Penetapan tersangka itu harus sesuai pasal 227 dan 228 KUHP. Kalau tidak, batal demi hukum. Termasuk penetapan DPO, setelah tersangka dipanggil sesuai KUHAP sebanyak 3 kali dan tak hadir,” pungkasnya.
Terkait provisi kuasa hukum pemohon yang meminta hakim praperadilan untuk menghentikan sementara proses penyidikan yang dilakukan termohon, menurut ahli sejatinya memang berhenti dulu sembari menunggu putusan praperadilan. “Memang tidak ada aturan yang melarang, tetapi secara etika hukum sebaiknya proses penyidikan dihentikan sementara. Kan kalau permohonan praperadilan diterima akan sia-sia hasil pemeriksaannya,” ujarnya.
Persidangan praperadilan ini akan kembali dilanjutkan pada Kamis (7/11) dengan agenda pembuktian baik surat maupun keterangan saksi dan ahli masing-masing pihak.
Leave a Reply