Oleh: Suparto Wijoyo
PRIORITAS paling eksklusif seruan berpuasa Ramadhan itu memang diperuntukkan bagi manusia yang beriman – “yaaa ayyuhalladziina aamanuu kutiba ‘alaikumsh-shiyaamu kamaa kutiba ‘alalladziina ming qoblikum la’allakum tattaquun” (Q.S. Al-Baqarah, 183), bukan kepada semua manusia. Ini pasti sangat spesial, password khusus guna meraih derajat tertinggi yang dibilang “takwa”. Kata “iman” senantiasa bergandeng setia dengan kata “takwa” yang biasa diketemukan menjadi ajakan meningkatkan “iman dan takwa”. Iman merupakan esensi pengakuan yang terucap dan terlakukan dengan keseluruhan energi jasadi dan ruhani para hamba. Akan ada fluktuasi dalam ritme peneguhan ketertundukan hamba kepada Rabbnya berikut seluruh ajaran-ajaran-Nya, hingga puasa dihadirkan sebagai media “perkuliahan orang-orang beriman” dalam menduduki titik koordinat takwa secara sempurna.
Adapun takwa adalah “petikan buah” ketertundukan dan alas ketaatan yang paling fundamental atas semua “norma Illahi” agar orang-orang itu tersemati atribut “beriman” demi pencapaian lencana “hamba yang membanggakan Rabbnya”. Setiap gerak puasamu melambangkan kobaran unggunnya api imanmu dalam memendarkan cahaya takwamu. Inilah yang terus-menerus saya ikhtiari bersama-sama Panjenengan semua yang berpuasa Ramadhan. Setiap pemuasa bercita dasar utama membentuk formasi kaum beriman di hadapan Rabbnya. Gelayut pemikiran saya tertuju pada situasi indahnya barisan yang dibangun para malaikat dengan segala kekhusukannya di sisi Rabbnya, sehingga hati para nabi dan rasul tertambat menembus mahkota “iman-takwa” para malaikat. Kisah-kisah yang terceritakan dari setiap segmen jejak Rasulullah adalah perlambang yang mampu menuntun agar para pengiman-Nya berusaha tanpa jeda memanggul kehormatan “iman-takwanya” yang dicontohkan “episode pembentukan saf para malaikat di depan Rabbnya.
Oleh karena iman dan takwa itu menentukan derajat kemanusiaan secara integral, maka puasa dinormakan memiliki tatanan prosedural maupun hakikiyah.
Totalitas puasa akhirnya menyajikan ujian dari yang berekpresi ujaran sampai pada kebijakan. Semua harus mampu dikontrol atas nama iman-takwa agar puasa sunguuh-sungguh beredar dalam poros pemanggilan yaaa ayyuhalladziina aamanuu yang akan bertengger pada posisi “tattaquun”. Tentu rentang ruang dan ruas jalan dari kosmologi yaaa ayyuhalladziina aamanuu sampai pada finish la’allakum tattaquun, tidaklah imun dari godaan, dari godaan gorengan sampai unggahan pelibatan kekuasaan.
Pada mulanya saya berasumsi bahwa kegaduhan yang membanjiri setiap jalanan seperlemparan jarak pilpres 2024 yang akan datang dapat dipungkasi apabila memasuki bulan Ramadhan. Dengan daya kewarasan yang paling sederhana sejatinya banyak kaum muslimin wal muslimat yang merasakan keteradukan batinnya atas apa yang terjadi di negeri ini, khususnya yang tidak sehaluan dengan pemegang otoritas, arahnya selalu ada yang dituding kaum pengamal radikalisme, tidak toleransi, tidak menghargai keragaman, bangsa ini tidak hanya terdiri dari penguhuni muslim seperti “kalian”, tetapi juga muslim “awak dewe yang moderat” dan menoleransi semuanya, termasuk menjaga-jaga tempat ritual sembari membubar-bubarkan pengajian oleh Islam lainnya, yang bukan Islam “awak dewe”.
Peristiwa mengaduk batin yang menggelisahkan ini ditambahi adanya “daftar mubaligh yang dijejalkan” setarikan nafas usai ledakan bom yang pasti dilakukan peneror, yang negara telah mendapat mandat untuk mencincang teroris itu. Kemudian maraklah teror lain terhadap keindahan kota dengan hujatan yang mewarnai setiap gang. Spanduk itu tumbuh subur seperti dipupuk untuk merayakan luapan yang kini saya tidak mampu membeda: mana kebencian dan mana kewaspadaan? Rakyat disorong membaurkan diri adu curiga. Inikah yang engkau bisa?
Penulis adalah :
Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan SDA MUI Jawa Timur Wakil Direktur BIdang Riset, Pengabdian Masyarakat, Digitalisasi dan Internasionalisasi Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga
Leave a Reply