PERANG DAN PERTANGGUNGJAWABAN IDEOLOGIS ATAS BUMI

Oleh : Suparto Wijoyo
Guru Besar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, dan Pengajar Strategic Leadership Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

Seltsam, im Nebel zu wandern!
Einsam ist jeder Busch und Stein,
Kein Baum sieht den andern,
Jeder ist allen. (Hermann Hesse, 1905)

HARI ini saya mendengar rintih bumi yang semakin menggelisahkan. Perang Rusia Ukraina sejak 24 Februari 2022, konflik Israel−Hamas per 7 Oktober 2023, dan kini serangan Iran ke Israel secara terbuka pada 14 April 2024, yang mengingatkan Perang Iran-Irak (22 September 1980–20 Agustus 1988), merupakan realitas yang mengancam bumi sebagai wahana keberagaman kehidupan. Kehancuran infrastruktur dan tatanan ekologis di Gaza dan berbagai wilayah perang amatlah dramatis. Pencemaran air, tanah dan udara akibat perang adalah niscaya. Apalagi kesehatan bumi sedang dipertaruhkan terhadap pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change).

Suhu bumi kian panas akibat memanggul beban berlebih jumlah karbon (CO2). Krisis iklim ini tidak boleh dibiarkan. Dibutuhkan tindakan kolektif kita semua terhadap kondisi iklim bumi yang memburuk. Gelombang panas yang menghantam belahan bumi bukanlah ilusi untuk menguji imajinasi. Planet ini didera pemanasan global. Formasi kosmos bergolak semakin panas dari tahun ke tahun. Hal ini seyogianya membangkitkan kesadaran bersama untuk memperbarui agenda masa depan global. Simak saja, pada Juli 2023, suhu rata-rata global mencapai rekor dan menjadi bulan terpanas sepanjang sejarah umat manusia. Rata-rata suhu permukaan selama 23 hari pertama Juli 2023 mencapai 16,95 derajat celsius, jauh di atas catatan suhu terpanas global yang terjadi pada Juli 2019 yang sebesar 16,63 derajat celsius (Kompas, 2/8/23).

Narasi David Wallace-Wells (2021) dapat menjadi menifesto untuk melahirkan gerakan nasional-global mengatasi derita bumi: Tahun 2099, perubahan iklim di Amerika Serikat bakal menambah 22.000 kasus pembunuhan, 180.000 pemerkosaan, 3,5 juta penyerangan, dan 3,7 juta perampokan serta pencurian. Pada 2100, kenaikan permukaan laut dapat membuat 13 juta orang Amerika kehilangan tempat tinggal, 140 juta orang di tiga kawasan dunia akan menjadi migran karena iklim pada 2050. Dampak pemanasan bumi juga sudah sangat lokal, apalagi dengan perang. Kekeringan tengah dialami banyak daerah. Kekeringan di Jawa dan NTT tersebar di 93 kabupaten, 703 kecamatan, 2,677 desa. Bahkan dilansir rilis Bappenas 2007 yang menyatakan 77% kabupaten/kota di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara memiliki 1-8 bulan defisit air dalam setahun. Diperkirakan pada 2025 jumlah kabupaten/kota yang defisit air meningkat hingga 78,4%. 35% kabupaten/kota akan mengalami defisit ekologis tinggi.

Perang dan problem laten perubahan iklim jelas membuat bumi dipaksa melakukan bunuh diri ekologi (“ecological suicide”). Maka klausula menjadikan perang sebagai solusi konfik antarbangsa adalah pengkhianatan terhadap Piagam Bumi (Earth Charter), 2000. Sebagaimana juga langkah mengubah hutan sebagai lahan tanaman industri atau pertambangan illegal tidaklah bijaksana. Pola kebijakan demikian sejatinya telah disindir dalam bait puisi sastrawan besar yang lahir di Jerman dan meninggal di Swiss, Hermann Hesse (1877-1962) seperti tersebut di atas dalam terjemah indah Agus R. Sarjono (2015): Ajaib, di kabut mengembara
Semak dan bebatu sepi. Tiada pohon melihat sesama, Semua mereka sendiri.

Perang harus dihentikan dan bagi-bagi lahan untuk masyarakat sekitar hutan tanpa kejelasan peruntukannya bagi kepentingan konservasi, merupakan tindakan sembrono. Fakta menunjukkan bahwa konversi lahan hutan menjadi perkebunan yang berlangsung aksesif telah melegalisasi deforestasi. Bunuh diri ekologi jangan dipelihara atas nama investasi. Tiba saatnya negara tampil berwibawa. Hari Bumi ini harus menjadi momentum pembenahan tata kelola lingkungan. Mengabaikan hal ini berarti melakukan pembiaran terhadap perilaku bunuh diri semesta yang terencana.

Secara nasional pemerintah harus tanggap atas kondisi alamnya dan beranjak menilik setiap jengkal teritorial yang berpotensi melakukan bunuh diri ekologi. Setiap segmen tanah dan hutan pantang dilelang. Perang dan membagi kawasan lahan tanpa kontrol akan melahirkan azab lingkungan yang menyengsarakan. Dalam semangat pengembangan hukum lingkungan, sejujurnya terlontar pertanyaan yuridis-ekologis: bagaimana hukum memahami nasib bumi agar mampu memberikan pijakan pemenuhan kebutuhan atas lingkungan hidup yang baik dan sehat? Hukum lingkungan dirancang bangun untuk menormakan perlindungan bumi. Hal ini amat relevan dengan pesan UUD 1945 bahwa NKRI sebagai negara hukum (rechtsstaat) (Pasal 1 ayat 3) yang menjamin HAM keekologian setiap warga negaranya (Pasal 28H ayat 1). Perangkat hukum dikonstruksi mengubah perilaku agar ramah lingkungan dalam mengelola bumi. Edward Grand pun mengeluarkan buku spektakuler A History of Natural Philosophy (2011) agar manusia mempelajari cara kerja alam yang selalu dapat diturunkan dari generasi ke generasi.

Akhirnya, kuhantarkan suluh mengatasi kegelisahan bumi ini dengan merefleksikan “asas dari segala asas hukum nasional”, yaitu dasar falsafah Pancasila. Terdapat pertanggungajwaban ideologis publik untuk mewujudkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, sehingga stabilitas bumi terjamin. Orang yang berpancasila memilik lima standard ideologis yang melarang dirinya mengancam bumi. Standard ketuhanan (teologis) mengarahkan bahwa mencemarkan lingkungan bertentangan dengan kesucian penciptaan Bumi oleh Tuhan), standard humanis (mencemarkan/merusak itu menyakiti orang), standard nasionalis (mencemarkan/merusak bumi mengganggu persatuan), standard demokrasi (mencemarkan/merusak bumi melanggar kepentingan umum) dan standard keadilan sosial (mencemarkan/merusak bumi itu tindakan tidak adil, tidak sesuai nilai-nilai keadilan ekologis). Pancasila adalah panduan moral dan muatan legal bagi setiap orang agar terpanggil untuk mengatasi krisis ekologis bumi.