JAKARTA (SurabayaPost.id) – Pakar hukum mengapresiasi dan mendukung gelar guru besar atau profesor kehormatan yang dianugerahkan Unversitas Jenderal Soedirman (Unsoed) kepada Jaksa Agung Dr. ST Burhanuddin, SH, MM, MH.
“Penganugerahan gelar guru besar merupakan hak civitas akademika Unsoed. Mereka pasti mempunyai penilaian secara obyektif dan akademis dalam pemberian gelar kehormatan tersebut. Jadi tidak perlu dipersoalkan dan dijadikan polemik,” kata Guru Besar dan Kaprodi S3 Fakultas Hukum Universitas Jayabaya Prof. Dr. H. Fauzie Yusuf Hasibuan, SH, MH, Selasa (14/9/2021).
Menurut dia, ukuran pemberian gelar Guru Besar didasari prestasi kerja baik aspek ke masyarakatan yang setara dengan keberhasilan seorang Guru Besar akademis. “Dalam hal ini, penegakan hukum yang fenomenal, mewujudkan usaha yang besar dan berkelanjutan untuk mengdinstribusi nilai-nilai keadilan di tengah masyarakat,” jelas Ketua Umum DPN Peradi periode 2015-2020 ini.
ST Burhanuddin ditetapkan sebagai Profesor Hukum Pidana, khususnya pada Ilmu Keadilan Restoratif, berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 37421/MPK.A/KP.05.00/2021 tanggal 11 Juni 2021.
Hal senada disampaikan oleh Prof. Dr. Muhadar, SH, MSi, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Hasanuddin Makassar. Dia menilai pemberian gelar Profesor kepada Dr. ST Burhanuddin sudah tepat sepanjang kriteria dan syarat terpenuhi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
“Kejaksaan Agung punya lembaga pendidikan jadi harus punya Guru Besar. Apa bedanya juga dengan Prof. Dr. Andi Hamzah, Prof. Dr. Baharuddin Lopa, Prof. Dr. Bambang Waluyo dan (mantan Jaksa Agung) lainnya, tidak ada salahnya,” cetus Prof. Muhadar.
Pancasilais
Dia berpendapat, pendekatan keadilan restoratif dalam penegakan hukum seperti yang digagas oleh Prof. Burhanuddin perlu dukungan semua pihak sebab cara ini dinilai lebih manusiawi dan Pancasilais yaitu mencerminkan sila ke-2 dan ke-5, kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Pendekatan keadilan restoratif adalah sesungguhnya model penyelesaian Hukum Adat Pidana kita yang ada sejak nenek moyang dahulu kala dan sampai kini masih dilakukan di daerah-daerah tertentu, seperti di Kab. Mamasa Sulsel dan daerah lain,” ungkapnya.
Prof. Muhadar menilai pendekatan retroactive/retributive/penjara/lembaga pemasyarakatan seperti diterapkan selama ini gagal total dan tidak memenuhi tujuan pemidanaan sebagaimana diajarkan di dunia pendidikan hukum maupun praktik hukum.
“Pikiran Prof. Burhanuddin sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Profesor Hulsmen, Ketua Departemen Hukum Pidana sekaligus Guru Besar Hukum Pidana dan Kriminologi di perguruan tinggi terkenal Belanda, dan gagasan serta pikiran beliau dijalankan oleh pemerintah Belanda sehingga untuk kejahatan-kejahatan tertentu tidak lagi diselesaikan lewat pendekatan retroactive tetapi dilakukan dengan pendekatan restorative justice,” paparnya.
Pendekatan tersebut, menurut Prof. Muhadar, berhasil menekan angka kejahatan dan penjara di Belanda kini banyak yang kosong. “Artinya, pendekatan keadilan restoratif cocok bila diterapkan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia untuk kejahatan-kejahatan tertentu, meninggalkan pendekatan retributive/penjara yang gagal dalam memenuhi Tujuan Pemidanaan,” jelasnya.
Prof. Fauzie menambahkan, restorative justice merupakan paradigma yang telah mendunia dan trennya sekarang diikuti oleh Indonesia. Menurut dia, konsep melakukan hukuman pidana perlahan akan ditinggalkan karena asas ultimum remedium sebagai asas yang dipakai untuk mendahukukan non-pidana untuk sebuah hukuman, bahkan seharusnya dilembagakan dan tertuang dalam KUHAP.
“Sebab seyogyanya penegakan hukum tidak melulu harus berujung penjara namun ditekankan pada kepentingan korban, sehingga dalam perkara-perkara tertentu sudah selayaknya hal ini dapat diterapkan,” jelasnya.
Begitu pula gagasan penegakan hukum berdasarkan hati nurani seperti disampaikan Jaksa Agung ST Burhanuddin, Prof. Fauzie menilai gagasan itu sejalan dengan tujuan keadilan restoratif yang menitikberatkan pada kepentingan korban.
Peraturan Kejaksaan
Sebagai informasi, Jaksa Agung ST Burhanuddin telah mengeluarkan Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (yang selanjutnya disebut Peraturan Kejaksaan tentang Keadilan Restoratif) yang telah diundangkan pada 22 Juli 2020.
Peraturan Kejaksaan tentang Keadilan Restoratif ini lahir untuk memecahkan kebuntuan atau kekosongan hukum materil dan hukum formil yang saat ini masih mengedepankan aspek kepastian hukum dan legalitas-formal, daripada keadilan hukum yang lebih substansial bagi masyarakat.
Secara umum, Prof. Fauzie menilai kinerja Kejaksaan Agung di bawah kepemimpinan Jaksa Agung ST Burhanuddin sangat memuaskan, terbukti dari kasus-kasus besar yang dilakukan penuntutannya dengan baik.
Kejaksaan Agung selama ini sudah mampu menunjukkan kinerja berupa produktivitas penuntutan yang signifikan. “Pandangan saya, Kejaksaan Agung memang mengalami peningkatan kinerja. Kasus-kasus besar dilakukan penuntutan dengan cukup baik,” ungkapnya.
Dia berharap Kejaksaan mengoptimalkan kerja sama dengan pemangku kepentingan, seperti perguruan tinggi untuk merespons berbagai praktik praktik hukum yang berkembang pesat, termasuk melakukan konsolidasi dengan sesama penegak hukum seperti KPK dan Polri agar dapat sinergi menegakkan hukum berkualitas,” ujarnya.
Mengenai penilaian Indonesia Corruption Watch (ICW) bahwa Kejaksaan Agung lebih baik dalam pemberantasan korupsi dibandingkan KPK dan Polri, Prof. Fauzie mengatakan hal itu sah-sah saja.
Namun, dia mengingatkan bahwa semua lembaga penegak hukum, baik Kejaksaan, KPK maupun Polri, mempunyai fungsi dan tanggung jawabnya masing-masing. “Mereka harus bekerja sama dan bersinergi. Jadi tidak usah dibanding-bandingkan,” tandasnya.
Sementara itu, Prof. Muhadar menilai Kejaksaan kini lebih baik dalam pemberantasan korupsi dibandingkan dengan lembaga-lembaga lain, terbukti dari bekerjanya peradilan pidana kasus-kasus korupsi. (Lil)
Leave a Reply