Oleh Farhat Abbas
Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)
Sedikit-sedikit laporkan ke kepolisian. Itulah sikap dan tindakan sebagian masyarakat gegara nama baiknya merasa tercemarkan, atau dengan dalih perbuatan yang tidak menyenangkan dan dinilai merugikan.
Memang terdapat pijakan hukum: Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE Pasal 27 ayat (3).
Pasal tersebut menegaskan, “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal 45 Ayat (3) UU ITE No. 19 Tahun 2016.
Ketentuan tersebut jelaslah merupakan ruang hukum bagi siapapun yang merasa dicemarkan nama baiknya. Ia merasa dirugikan hak-haknya, meski sangat subyektif tingkat kerugian psikisnya. Sangat asasi memang dan terdapat kesan pembelaan secara hukum bagi kepentingan korban.
Yang perlu kita analisa lebih jauh, apakah penegakan hukum ITE tersebut mampu menciptakan rasa damai bagi kepentingan setiap individu dalam bermasyarakat, sementara kondisinya demikian beragam corak hidupnya? Faktor budaya lokal, kematangan individuasi dan lain-lain, semua itu bisa menimbulkan perbedaan dan salah paham atas ucapan dan atau tidakan seseorang.
Keberagaman itu tentu tak bisa dipaksakan seragam. Inilah yang mendorong sebagian elemen masyarakat merasa perlu untuk ajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ada entitas keberagaman yang tentu tak lepas dari sebuah konsekuensi psikologi sosial.
Uji materi tersebut karena ada kecenderungan UU ITE menjadi senjata sosial untuk saling mendeskreditkan, meski tidak saling mengenal secara fisik. Meski, sama sekali tak terjadi benturan fisikal yang membuatnya terluka, apalagi sakit serius.
Sikap dan tindakan yang mudah melaporkan atas nama pencemaran nama baik, atau tindakan yang tidak menyenangkan, membuat sebagian publik merasa dibikin tak pernah nyaman. Ada pemasungan psiko-sosial. Bahkan, selalu dibayang-bayangi ancaman yuridis jika terjadi slip the tongue (lidah keseleo), atau apapun tindakan yang sebenarnya bukan kesengajaan.
Satu renungan, apakah hidup di alam yang demikian beragam ini harus selalu ditekan dan atau dibayang-bayangi ancaman? Siapapun tidak akan mau. Memang ada solusi efektif untuk menghindari bayang-bayang pahit itu? Yaitu, siapapun di tengah masyarakat harus mampu mengendalikan diri, di manapun dalam kondisi apapun. Agar siapapun tidak terkena dampak akibat ucapan atau tindakannya yang dinilai merugikan pihak lain. Namun, sekali lagi, tidak semua orang mampu menjaga kesadaran secara penuh kontrol diri. Tidak semua orang matang kejiwaannya dan berpikir sehat.
Karena itu, selama ketiadaan kontrol diri itu lalu bertindak merugikan orang lain dijadikan delik aduan ataupun delik umum dan aparat penegak hukum cenderung mengabulkan permohonannya, meski kadang terlihat tebang pilih. Sikap dikriminatif ini tentu menjadi persoalan hukum tersendiri.
Apapun respon lembaga kepolisian, masyarakat Indonesia kini akan selalu diwarnai rasa kecemasan, ketidaktenangan.Sementara, kehidupan saat ini yang sarat dengan balutan teknologi informasi massif tak bisa terlepas dari penginformasian apapun yang terjadi. Begitu cepat tersebar. Begitu cepat pula terespon oleh publik.
Di sana pula kita saksikan bagaimana publik meresponnya. Ketika dirinya merasa dirugikan dari sisi apapun dan siapapun , ia – berdasakan UU ITE – mendapat ligitimasi untuk mengadukan tindakan yang tidak menyenangkan itu.
Restorative Justice: Misi Pendamaian dan Kenyamanan
Sekali lagi, di depan mata, masyarakat Indonesia sedang diperhadapkan kegalauan sosial. Kini, yang perlu kita soroti khusus adalah bagaimana sikap dan tindakan aparat penegak hukum sebagai garda pertama dan terdepan, yakni kepolisian? Dalam kaitan ini, ada kebijakan hukum yang sangat menarik dari Kepala Kepolian Republi Indonesia (Kapolri) baru, Listyo Sigit Prabowo.
Berasarkan Surat Edaran (SE) Kapolri pada 19 Februari 2021, salah satu isinya meminta penyidik memiliki prinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara. SE ini – secara eksplisit – ditujukan untuk mengatasi persoalan pencemaran nama baik yang sering diajukan ke institusi kepolisian dengan menekankan pendekatan kekeluargaan untuk penyelesaiannya. Tak perlu sampai ke arena penindakan hukum. Tak perlu juga mengambil tindakan penahanan, apalagi sampai ke litigasi. Di mata Kapolri, pendekatan ini menempatkan diri kepolisian sebagai lembaga yang sebisa mungkin memberikan rasa keadilan dan kenyamanan bagi semua.
Menurut pandangan banyak ahli hukum, restorative justice merupakan alternatif dalam sistem peradilan pidana dengan mengedepankan pendekatan integral antara pelaku dengan korban dan masyarakat sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta kembali pada pola hubungan baik dalam masyarakat.
Inilah substansi pendekatan alternatif pidana. Artinya, terpidana tidak harus dipenjara. Sementara, menurut hasil penelitian dari 300 responden naradipadana terkait pencemaran nama baik – menyatakan 31,7 % lebih merupakan pembalasan, bukan upaya pembinaan. Dengan demikian, pendekatan pemidanaan di lembaga pemasyarakatan – sekali lagi menurut banyak pakar spikologi hukum – tidak banyak manfaat.
Dalam perspektif hukum, gagasan Restorative Justice layak diakomodir dalam RUU KUHP, yaitu diperkenalkannya sebagai sistem pidana alternatif berupa hukuman kerja sosial dan hukuman pengawasan. Dengan model restoratif, pelaku tidak perlu masuk penjara kalau kepentingan dan kerugian korban sudah direstorasi. Korban dan masyarakat pun sudah memaafkan, sementara pelaku sudah menyatakan penyesalannya.
Sebagai orang politik dan hukum, kami dari keluarga besar Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI) menilai, restorative justice merupakan kerangka solusi yang langsung berpengaruh pada sentuhan sosial.
Tatanan sosial seperti dilepaskan dari bayang-bayang cengkeraman hukum. Hanya karena keseleo lidah atau perbuatan yang tak disengaja dan hanya seputar perasaan yang tersinggung, ia harus membayangkan masa hukuman kisaran empat tahun penjara dan atau denda Rp 750 juta.
Jika pilihannya denda dan itu terjadi pada kaum the have, tentu tak menjadi masalah. Bagaimana dengan kalangan dluafa (fakir-miskin)? Karena itu, tidaklah berlebihan jika PANDAI dan bahkan masyarakat lain menilai bahwa mengedepankan pendekatan restorative justice sungguh mencerminkan potret kematangan jiwa kemanusiaan seorang Kapolri baru.
Rasa kemanusiaan menjadi pertimbangan utama. Baginya, sangat menghendaki agar kehidupan masyarakat Indonesia jauh lebih nyaman, damai, tanpa pandang kelas, tanpa melihat perbdaan keyakinan.
Hukum memang harus ditegakkan untuk semua, tidak tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Tapi, semua penegakan itu berlandaskan rasa keadilan dan mampu menyuguhkan kedamaian dan kenyamanan bagi semua. Di sinilah konsep pendamaian mencari rumusan yang harus dicari dan ditegakkan. Sekali lagi untuk rasa kemanusiaan yang berarti.
Perlu kita catat, cara pandang dan langkah hukum yang diprakarsai Kapolri Listyo Sigit Prabowo perlu proses untuk mengefektifkannya. Di satu sisi, elemen masyarakat juga perlu menyadari paradigma baru penegakan hukum untuk perkara pidana ringan itu.
Di sisi lain – dan hal ini yang jauh lebih krusial – bahwa kepolisian dari level terendah, katakanlah kepolisian tingkat sektor – sudah harus memberikan edukasi. Ketika terjadi pengaduan, di sanalah insan Bhayangkara harus memberikan peranan konstruktifnya: menjadi juru pendamai.
The last but not least, peranan juru damai di tengah ketegangan antara korban dan pelaku, akan menjadi hadiah sosial yang luar biasa. Sang pelaku yang sedang terpojok posisinya akan ucapkan ribuan terima kasih karena terlepas dari bayang-bayang pemenjaraan. Dan hal ini akan menjadi tonggak pembalajaran untuk memperbaiki diri, sekaligus kemauan merehabilitasi hubungan sosialnya.
Upaya pemaksaan diri bagi sang pelaku, sangat memungkinkan akan mampu melulihkan hati korban. Memaafkan memang tidak mudah. Tapi, ketika sampai terjadi terjadi proses dan akhirnya dimaaafkan, di sanalah akan terjadi kimia sosial yang mengharukan. Akhirnya, bukan hanya berdamai, tapi mau bersatu. Inilah kualitas kebersatuan yang sungguh bermakna bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Jakarta, 16 Maret 2021
Leave a Reply