BATU (SurabayaPost.id ) – Peringati Hari Air Sedunia, Aliansi Selamatkan Malang Raya bersama puluhan warga “Diskusi Jagongan” di Warung Sambal Bakar Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Sabtu (25/3/2023) sore.
Diskusi Jagong Puluhan orang meliputi, Warga Kasiman, Gemulo, Suara Perempuan Desa, dan Mahasiswa tersebut, merupakan catatan peringatan hari air kilas balik perjuangan Warga Gemulo, dan Kasiman dalam menjaga mata air.
“Kami mengajak seluruh masyarakat Batu, bahwa air merupakan kebutuhan dasar banyak mahluk yang tidak bisa digantikan.Bagi manusia air merupakan salah satu kebutuhan esensial yang tidak bisa dipisahkan karena sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari,” kata Indra selaku humas giat diskusi jagong ini, Sabtu (25/3/2023).
Kebutuhan itu,disebutkannya,baik untuk beribadah, mencuci, mandi, memasak, irigasi dan kebutuhan lainnya.
“Ketersedian air untuk pemenuhan dasar tentu tidak bisa dipisahkan dari bagaimana kondisi daerah tangkapan
di kawasan hulu, artinya kualitas tangkapan berupa hutan menjadi salah satu factor yang menentukan bagaimana ketersediaan air,” lanjutnya.
Berdasarkan pada laporan UN-WATER 2021 sekitar 2.3 miliar orang mengalami water – stressed atau kondisi di mana kebutuhan untuk air mulai berkurang dan kualitasnya mulai menurun.
“Hal ini selaras dan diperkuat dengan data BPS tahun 2020 dimana ketersedian air mengalami penurunan. Setidaknya persediaan air per tahun 2010 sekitar 465.420 meter kubik dan persediaan air per tahun 2035 hanya tersisa sekitar 181.498 meter kubik,” paparnya.
Tentu, papar dia, persoalan ketersediaan air dipengaruhi oleh banyak factor, seperti kondisi daerah tangkapan air, deforestasi, pencemaran dan tata ruang.
Krisis air pada masa yang akan datang ini mengingatkan pada bagaimana perjuangan warga yang berjuang untuk mempertahankan hak terhadap air untuk pemenuhan kebutuhan mereka.
“Khusus pada Kota Batu hal ini membawa ingatan pada beberapa konflik yang pernah terjadi dimana warga dihadapkan pada proses pembangunan yang mengancam sumber mata air mereka, yaitu kasus ‘Sumber Mata Air Umbul Gemulo, kasus Sumber Kasinan , kasus Sumber Jombok,” ujarnya.
Demikian, ujar dia, Mata Air Kota Batu terus dieksploitasi pada kasus sumber mata air umbul gemulo yang terjadi pada tahun 2012 silam, melibatkan warga dari 3 desa.
“Desa Sidomulyo, Desa Bulukerto dan Desa Bumiaji berhadapan dengan PT Panggon Sarkarya Sukses Mandiri yang akan mendirikan Hotel The Rayja di sekitar kawasan ‘Sumber Umbul Gemulo. Konflik ini bermula pada adanya penolakan oleh warga terhadap rencana pembangunan hotel di kawasan sumber mata air yang berpotensi pada penurunan dan pencemaran ‘Sumber Mata Air Umbul Gemulo,”jelasnya.
Itu, jelas dia, meski sudah mendapat penolakan dari warga pembangunan dilanjutkan dan proses perizinan tetap berlangsung dimana IMB bisa dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Batu tanpa adanya AMDAL sebagai syarat munculnya IMB.
“Peristiwa keterlibatan pemerintah Kota Batu dalam mengeluarkan izin tersebut membuat warga kecewa dan geram yang pada akhirnya warga sepakat untuk melakukan aksi turun jalan untuk meminta IMB dicabut karena dinilai mal-administrasi,” terangnya.
Lantas, terang dia,tidak hanya berhenti pada proses turun aksi tetapi juga warga harus mengalami kriminalisasi dan bahkan digugat secara perdata.
“Selama memperjuangkan sumber mata air warga kerap mendapat panggilan dari Polres Kota Batu dengan tuduhan melakukan tindak pidana perusakan yang tidak pernah terbukti, hingga digugat membayar ganti rugi sebesar Rp 30.025.000.000,” tandasnya.
Celakanya,tandas dia, peristiwa kasus sumber mata air umbul gemulo belum menjadi evaluasi pada proses perijinan dan pembangunan di Kota Batu, hal ini tercermin pada tahun 2020 dimana warga di Dusun Srebet Desa Pesanggrahan juga mengalami konflik sumber mata air dengan pihak Alaska yang bergerak di sektor wisata Outbound.
“Konflik yang dialami warga Desa Pesanggarahan ini mengakibatkan penurunan debit pada sumber mata air yang berada di kawasan hutan lindung, pasalnya hutan lindung yang berfungsi sebagai daerah resapan air harus terancam dengan adanya perubahan alih fungsi kawasan hutan menjadi kawasan wisata outbound dengan menghilangkan vegetasi yang ada,” kata dia.
Dengan adanya alih fungsi pada kawasan hutan lindung ini, menurut Indra membuat warga harus mengalami kelangkaan air bersih baik untuk pemenuhan kehidupan sehari-hari dan pemenuhan kebutuhan irigasi pertanian.
“Maka dampak yang dialami warga dan tidak ada inisiatif penyelesaian dari pemerintah Kota Batu membuat warga sepakat untuk mendatangi pemerintah Kota Batu dengan tuntutan proses pembangunan dapat dihentikan dan perijinan dapat dibatalkan, serta adanya pemulihan pada kawasan hutan yang telah dibabat habis untuk memulihkan debit mata air,”ungkapnya.
Sisi lain, ungkap dia,RTRW Kota Batu sebagai ancaman perjuangan masyarakat Kota Batu dalam mempertahankan sumber daya air mereka masih panjang karena pada tahun 2018 Oemerintah Kota Batu sedang menyusun revisi perda RTRW dimana dalam penyusunan perda ini tidak partisipatif dan transparan.
“Bahkan secara substansi revisi yang sedang dikerjakan cenderung tidak ramah lingkungan terutama pada kelestarian sumber mata air. Hal ini karena adanya penurunan fungsi pada wilayah kecamatan Bumiaji yang semula difungsikan untuk agropolitan dan wisata alam diturunkan dengan memasukkan wisata buatan, industry skala kota dan bahkan proyek strategis nasional,” ujarnya.
Ini, ujar dia, Kecamatan Bumiaji menjadi penting untuk diselamatkan karena dari 159 titik mata air yang ada 80 titik mata air berada pada kecamatan Bumiaji, sedangkan pada Kecamatan Batu ada 47 titik dan Kecamatan Junrejo ada 32 titik.
“Hal ini diperkuat pada riset yang dilakukan tahun 2018 oleh IMPALA UB dimana dari 78 titik mata air yang tersebar di seluruh desa di Kecamatan Bumiaji hanya dapat ditemukan 35 titik dan 17 diantaranya mengalami pelanggaran tata ruang,” katanya.
Selain itu, kata dia, revisi perda RTRW juga mengakomodasi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi atau geothermal yang dapat mengancam ketersedian air di Kota Batu. Dari 8 WKP yang sudah ditetapkan di Jawa Timur 2 diantaranya berada di Kota Batu, yaitu WKP Arjuno-Welirang dan WKP Songgoriti.
“Ini diperkuat dengan Kepmen ESDM nomor : 2773 K/30/MEM/2014 tentang Penetapan Wilayah Kerja Pertambangan Arjuno Welirang dan Kepmen ESDM nomor : 2776 K/30/MEM/2014 tentang Penetapan Wilayah Kerja Pertambangan Songgoriti. Tentu proyek ini akan sangat berdampak pada keadaan sosial-ekologis Kota Batu karena proyek ini sangat rakus air dan memiliki resiko yang tinggi,” ungkapnya.
“Setidaknya beberapa wilayah bisa menjadi refleksi bersama apakah proyek ini akan membawa kemanfaatan atau hanya mendorong pembangkrutan sosial-ekologis, seperti pada Mandailing Natal dan Dieng yang menyebabkan ledakan dan kebocoran gas hingga merenggut nyawa, di Dieng juga berakibat pada pencemaran air dan di Mataloko lahan-lahan sekitar proyek mengalami kerusakan,” ungkapnya.
Dengan adanya proyek geothermal dalam revisi perda RTRW, menurutnya Pemerintah Kota Batu sedang mengabaikan keselamatan hidup warga Kota Batu dan ancaman krisis air akan semakin nyata dirasakan warga.
“Aliansi Selamatkan Malang Raya dalam memperingati Hari Air Sedunia mengajak seluruh masyarakat khususnya masyarakat Kota Batu untuk lebih peduli terhadap kondisi hutan dan sumber mata air dengan mengambil peran nyata dalam penolakan pembangkrutan sosial-ekologis di Kota Batu yang semakin rentan dan sedang dihadapkan pada ancaman krisis air yang semakin nyata,” pungkasnya.(Gus)
Leave a Reply