Prof Muhtadi: Pemahaman Teologi Asy’ariyah Bisa Tingkatkan Etos Kerja

Guru Besar Ekonomi Syariah UIN Maliki Malang, Prof Dr Muhtadi Ridwan

MALANG (SurabayaPost.id) – Pemahaman Teologi Asy’ariyah, yang banyak dilakukan umat Islam di Indonesia dan dipahami sebagai teologi fatalisme bisi meningkatkan etos kerja. Sedangkan etos itu merupakan syarat terjadinya mobilitas ekonomi yang bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Hal itu disampaikan Guru Besar Ekonomi Syariah UIN Maliki Malang, Prof Dr Muhtadi Ridwan, Senin (24/8/2020). Menurut dia, etos kerja itu akan semakin bagus jika lingkungan dan interaksi sosialnya mendukung.

Lingkungan yang dimaksud adalah aspek pasar dan dukungan pembiayaan serta persaingan yang sehat. Makanya, kata dia, pemahaman agama dalam konteks asy’ariyah sebagaimana dipahami begitu sering terbelenggu dalam faktor fatalisme, justru tidak berpengaruh dominan dalam menentukan keberhasilan ekonomi masyarakat sebagaimana amatan Geertz di Mojokuto.

Itu artinya, terang dia, penganut Teologi Asy’ariyah justru banyak yang berhasil secara ekonomis dan berhasil mengembangkan kapital. “Umumnya, sebagian besar pengusaha yang berhasil adalah mereka yang bisa memadukan antara aspek kerja keras dan ketertundukan atas hasil kerja keras itu di hadapan Yang Maha Kuasa,” katanya.

Kesimpulan itu juga dia sampaikan saat memberikan pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Ekonomi Islam UIN Malang, Rabu (12/8/2020) lalu.

Kesimpulan itu muncul setelah melakukan penelitian pada para perajin tempe di sentra industri kecil tempe di Sanan, Kota Malang.

Menurut dia, pemahaman agama masyarakat memiliki pengaruh yang kuat dalam membentuk perilaku sosial ekonomi. Namun pemahaman agama semata tidak selalu berhasil mengejawantahkan apa yang dipahami dengan apa yang harus dipraktikkan.

Tindakan sosial dan ekonomi masyarakat juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain di luar nilai-nilai agama. Hal inilah yang melahirkan kenyataan ada sebagian masyarakat yang memiliki pengetahuan agama yang dianggap baik, dilihat dari kualitas pendidikan dan lingkungan keluarga, namun justru tidak berhasil menerapkan nilai-nilai agama dalam kehidupannya.

Sebaliknya, ada sebagian masyarakat yang memiliki pengetahuan agama awam namun perilaku sosial ekonominya persis dengan apa yang diajarkan dalam nilai-nilai agama. Hal ini juga berlangsung dalam konteks etos kerja, hubungan kerja, interaksi dengan masyarakat, dan perilaku sosial lain.

Perilaku ekonomi masyarakat yang ditandai dalam aktivitas produksi, konsumsi dan distribusi, menurut dia, secara tidak langsung juga mendapat kontribusi nilai dari pemahaman ajaran agama yang dimiliki masing-masing individu.

Tidak jarang agama bahkan ditempatkan sebagai nilai yang tertinggi dalam pengambilan keputusan-keputusan ekonomi di sebagian situasi, namun pada sebagian lain mengacuhkan atau terlihat mengabaikan nilai-nilai agama yang mereka anut. Perbedaan letak geografis dan lingkungan sosial secara administratif menjadi kontributor lain dalam menentukan sikap masyarakat khususnya yang berkaitan dengan perilaku ekonomi.

Keberadaan warga yang berpredikat santri dan abangan turut serta mempengaruhi cara masyarakat memperlakukan nilai-nilai agama sebagai sesuatu yang berperan dalam perilaku ekonomi mereka.

Dalam hal ini apa yang dimaksud sebagai perilaku ekonomi menyangkut cara mereka melakukan produksi, konsumsi dan distribusi, beriringan dengan cara mereka menempatkan pengetahuan agama sebagai nilai yang harus diperlakukan.

Hasil penelitian itu, dia menegaskan, juga menjawab pemahaman umum yang menyatakan pandangan fatalistik (jabariyah) dalam agama justru menjadi penghalang bagi masyarakat untuk melakukan perubahan dalam konteks ekonomi.

Pelaku UMKM justru meletakkan aspek fatalistik ini sebagai sikap terakhir ketika semua usaha keras sudah dilakukan. “Ungkapan yang penting saya sudah bekerja, hasilnya terserah Yang Kuasa menjawab problem yang terjadi selama ini bahwa tidak semua pengertian fatalistik dalam agama berkontribusi negatif dalam usaha-usaha yang bersifat ekonomi (duniawi),” ucapnya.

Dia meyakinkan, pengetahuan agama bukanlah satu-satunya faktor yang mendorong perilaku sosial ekonomi. Perilaku ekonomi juga banyak ditentukan dari faktor-faktor lain seperti aspek kesejarahan, lingkungan, dan interaksi sosial, serta sejauh mana individu menyerap nilai agama dan diaplikasikan substansinya dalam kehidupan sehari-hari. (aii)

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.