Daniel Mohammad Rosyid
@Rosyid College of Arts
Negeri ini sudah diproklamasikan kemerdekaanya oleh Soekarno-Hatta nyaris 78 tahun silam, namun fakta2 yang saya temui justru menunjukkan bahwa kemerdekaan itu makin menghilang. Indeks Pembangunan Manusia kita di papan bawah, angka kemiskinan bertahan di 11%, Rasio Gini bertahan buruk mendekati 0.4, angka gizi buruk stunting 20%. Bahkan Indeks Persepsi Korupsi kita tetap buruk setelah 20 tahun reformasi. Pendidikan kita hanya menyiapkan jongos ekonomi dan Pemilu hanya menjadikan jongos ekonomi itu menjadi jongos politik. Bahkan presiden sekalipun hanya jongos partai politik. Saat banyak jalan di kawasan perkotaan dibangun tanpa trotoar bagi pejalan kaki, maka kita bahkan gagap memasuki pintu gerbang kemerdekaan itu karena tidak mampu menyediakan prasyarat budaya bagi bangsa yang merdeka dari penjajahan, yaitu jiwa merdeka.
Perampasan kemerdekaan itu dimulai dengan mengingkari konstitusi UUD45 sebagai sebuah pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia dengan memalsukannya dengan sebuah konstitusi baru yang norma2 dasarnya berubah sama sekali. Pemalsuan konstitusi ini adalah sebuah makar tersembunyi. Kedaulatan rakyat yang dijelmakan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat digusur oleh musyawarah para elite partai politik dan para taipan pemilik modal. Hikmah hilang, pragmatisme hedonistik merasuk ke hampir sendi2 kehidupan berbangsa dan benegara. Pancasila telah dikubur oleh kaum nasionalis sekuler dan kiri radikal, namun mereka ini malah menuduh Islam sebagai ancaman terhadap Pancasila dan NKRI.
Narasi islamophobia ini adalah agenda lanjutan kekuatan2 nekolimik pelemahan Islam sebagai kekuatan dan sumber inspirasi perlawanan terhadap penjajahan. Upaya sistematik, terstruktur dan masif terus dilakukan untuk menempatkan Islam sebagai ideologi asing yang berbahaya bagi kelangsungan NKRI. Peran tokoh2 Islam sejak pra-kemerdekaan, persiapan kemerdekaan, dan pasca proklamasi dicoba dihilangkam dari ingatan kolektif bangsa ini, terutama generasi mudanya. Islam telah menggagalkan upaya aboriginasi bangsa ini. Islam tidak saja mempersatukan berbagai suku negeri kepulauan seluas Eropa ini, namun telah menyiapkan imajinasi baru yang disebut bangsa Indonesia melampaui sukuisme sehingga negara ini layak disebut sebagai sebuah nation state, bukan tribal state. Diskriminasi ras di Eropa dan Amerika serta China yang masih ada hingga hari ini menunjukkan bahwa kedua adi kuasa ini pun gagal menjadi truly nation states.
Sejarah sebuah bangsa adalah ingatan kolektif yang memberi rujukan bagi eksistensi sebuah bangsa. Seperti CPU membutuhkan ROM dan memory, sebuah bangsa dengan sejarah yang rusak tidak akan mampu menjaga eksistensinya karena tidak mampu belajar. Belajar adalah proses memaknai pengalaman, sedangkan sejarah adalah repertoir pengalaman bangsa itu. Bangsa manapun yang tidak belajar akan musnah.
Mengatakan Islam dan tokoh2 Islam adalah musuh Pancasila dan NKRI tidak saja membelokkan sejarah negeri ini sebagai ingatan kolektif bangsa ini, tapi juga sekaligus mengancam peran potensialnya untuk mewarnai Abad Asia ini di tengah kebangkitan China dan India. Pada saat kaum nasionalis dan kiri radikal menyerang Islam dengan membangkitkan agenda tradisi lokal yang tribalistik, maka ingatlah bahwa membayangkan Indonesia tanpa Islam hanya mimpi buruk mereka di siang bolong.
Bandung Selatan, 6 Mei 2023
Leave a Reply