Oleh : Suparto Wijoyo
SARPAN mengaku. Sebuah pengakuan jujur bukan soal positif terkena Covid-19, melainkan akibat ulah polisi dalam proses hukum yang menimbulkan tragedi baginya, dan bagi seluruh institusi hukum maupun kemanusiaan. Sarpan dipukuli, diinjak-injak, distrum dan diperlakukan secara brutal agar mengaku selaku pembunuh. Selama ini kabar seperti itu, orang diperiksa polisi digebuki itu masih dikira fitnah, dikira igauan siang bolong yang iri dengan moncernya jabatan polisi. Tetapi kisah Sarpan yang ramai diberitakan media, sungguh memukul jantung peradaban hukum negara. Negara hukum pun seolah lenyap dengan ulah yang tidak berpijak pada hukum ini, oleh aparat hukum sendiri. Sarpan mengalami keperihan, kesakitan dan petaka di Polsek Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumateri Utara.
Tatkala disebut kata Deli, meski itu Deli Serdang, saya beranjak dari kursi mencari novel sastra klasik karya Hamka yang sangat mengesankan: Merantau ke Deli yang terbit tahun 1977. Sebuah roman kenangan yang ditulis Hamka sebelum Perang Dunia II, yang amat disukai di Malaysia. Nyaris tokoh-tokoh politik besar Malaysia, sekaliber Anwar Ibrahim pun membacanya. Andai saja Hamka masih hidup, mungkin apa yang yang alami Sarpan ini akan menjadi roman tragedi yang akan melatarbelakangi novel-novel kesedihan di bumi Deli. Bagaimana mungkin di era abad ke-21 ini ada perlakuan keji dari polisi terhadap orang yang datang sebagai saksi, tetapi hendak disulap menjadi pelaku dengan mekanisme kekerasan tak terperikan.
Kita Butuh Polisi. Itu Pasti.
Kajadian yang menimpa Sarpan akhirnya mencuat dalam prasangka bahwa itu hanyalah pucuk gunung es, karena cerita sejatinya lebih dari itu semua. Kenapa dan kenapa dan kenapa itu terjadi. Ini di luar perkiraan mengingat polisi baru saja merayakan Hari Jadinya di 1 Juli 2020. Sebuah profesi yang oleh anak-anak masih digandrungi dengan slogan mengena: mengayomi, jelas bukan memukuli. Saya percaya bahwa tidak ada suatu profesi yang sedemikian kontroversial dalam segala seginya serumit polisi. Dalam batas-batas tertentu gawe polisi memang begitu menggoda. Profesi ini diperebutkan dalam kisaran yang seolah tiada kehidupan tanpa kepolisian. Polisi acapkali menjadi cita-cita belia nan mulia. Coba kalau tidak percaya, tanyalah pada anak-anak tetangga ataupun kolega. Tidak jarang mereka menjawab ingin menjadi polisi sang abdi negara dan pelindung masyarakat. Top bukan?
Meski tidak jarang pula ada satire dikala melihat seragam coklat. Polisi suka dipuji itu pasti walaupun polisi sadar sesadar-sadarnya bahwa mereka sering di maki. Makian dan pujian adalah kekuatan polisi. Korp kepolisian pun tidak segan-segan berbuat untuk mengembangkan diri sebagai anak negeri yang suka berbakti. Benarlah. Inilah kodrat polisi yang berlapang dada untuk dicaci meskti sudah berkerja melewati masa berhari-hari. Soal kejujuran dan kebaikan polisi pun dicibir sinis dalam sorotan yang menggelisahkan. Polisi jujur itu konon hanya ada dalam lelucon seperti yang pernah diceritakan oleh Gus Dur, tidak perlu dinarasikan, kuatir nanti dikira pencemaran nama baik. Tentu saja itu harus menjadi bahan evaluasi. Sosialisasikan tugas pokok dan fungsi polisi sebagaimana diamanatkan UU Kepolisian. Menurut UU Kepolisian jelas dituliskan bahwa polisi merupakan alat negara yang berperan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Hebat bukan?
Itu pula yang menjadi tugas pokok polisi yang kemudian dijabarkan dengan sederet tugas mulia lain di regulasi kepolisian. Polisi berperan sebagai pelaksana sampai penegak hukum, bahkan pelindung publik. Tugas demikian membawa implikasi kewenangan yang dimiliki polisis. Apa itu? Coba simaklah. Menurut UU Kepolisian tersebut, polisi berwenang menjaga ketertiban umum yang nyaris di semua lini hidup.
Dari ketentuan UU Kepolisian tidak muda mencari cela yang dapat dihentakkan bagi ketidakbaikan polisi. Polisi sudah berupaya setengah mati dalam membangun citra diri. Dan saya yakin polisi sudah tidak sabar untuk selalu memberi arti bahwa polisi memang milik negeri dengan peradaban kelas tinggi. Ingat polisi itu ternyata secara legalistik berkelas tinggi dengan energi yang cukup beraliran sakral, dan kalau dinilai tidak baik, mungkin hanya terletak pada kelas publik yang terkadang tidak tahu persis. Rakyat mungkin tidak pandai untuk mengucap berterima kasih.
Maju Kena Mundur Kena
Polisi menghajar Sarpan adalah tindakan di luar batas daulatnya. Rakyat itu harus diayomi bukan digebuki. Itu pasti. Tapi hal semacam itu sering kali muncul dan muncul lagi. Ingatkah anda tentang kisah anak Surabaya yang menghadap Tuhan lebih cepat lantaran loncat dari gedung karena takut kena rasia polisi? Berarti secara kausalitas sesungguhya polisi berperan bikin tragedi rakyat yang mesti dilindungi. Tapi adakah polisi yang melakukan operasi itu diproses hukum? Ketahuilah bahwa polisi tidak terjamah hukum dalam pelaksanaan hukum mengingat mengoperasikan hukum itu dilindungi Pasal 50-51 KUHP. Ya .. itulah polisi, ibarat judul film humor maju kena mundur kena dan akhirnya polisi terpotret seperti kisah film pacar ketinggalan kereta. Aduh susah amat ya jadi polisi.
Polisi … oh … polisi, menjawablah dengan sangat profesional dan teruslah berkarya. Beri terus keterkejutan … eh sorry … kekaryaan yang membanggakan rakyat, bukan yang membabakbelurkan warga. Polisi yang maju memang harus suka mencatat mimpi-mimpinya untuk menjadi personil yang terbaik esok hari. Polisi yang berjuang setengah mati, pasti selalu berselimut dengan cinta dan caci. Yang penting polisi tidak perlu ragu karena polisi pasti ditunggu dengan cita hati sepenuh-penuh.
Literasi Tupoksi Kepolisian
Saksikanlah saja bagaimana hebatnya kerja kepolisian bersama TNI dan jajaran birokrasi yang disupport rakyat pada saat pandemi Covid-19 ini. Polisi dari Polda Jatim misalnya sudah jauh melangkah mengadakan penyidikan kasus lingkungan, pertambangan, narkoba, penipuan, pembenahan internal, dan sebagainya. Kali ini, dengan tragedi Sarpan ini, polisi berniscayalah bahwa bertindak melanggar batas demarkasi rasa keadilan yang tumbuh di masyarakat itu ngawur. Jajaran kepolisian tentu tidak hendak kehilangan legitimasi atas peran besar yang selama ini dibangun tertatih. Dari kasus Sarpan ini, kiranya polisi perlu melakukan literasi profesi kepolisian secara berkelanjutan, berjenjang dengan standard yang tinggi. Polisi harus berbenah tanpa henti agar kita dapat tetap berbangga hati. Polisi adalah anak kandung negeri ini. Mari kita bersinergi demi masa depan polisi yang tahu diri bagaimana menjalankan dharma bakti.
Penulis adalah :
Esais, Akademisi Fakultas Hukum, dan
Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga
Leave a Reply