Suparto Wijoyo adalah Akademisi Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, dan Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga
31 JANUARI 2021 kemarin adalah saat peringatan Hari Lahir NU yang ke 95 tahun. Nyaris seabad organisasi ini berkiprah, jauh sebelum NKRI berdiri. NU lahir dengan kehendak yang sangat ekologis. Mengapa? Saya yang berselisik dengan bincangan ekosistem tentu melihat NU pertama-tama adalah soal lambangnya. Ya lambang NU. Itulah yang meneduhkan berupa bulatan bumi, bumi NU. Ya … lambang NU bukan hanya bermakna spiritual dalam takaran keagamaan. Bagi mereka yang belajar teologi lingkungan maupun ekosistem alamiah pasti akan tercengang. Lambang itu begitu futuristik dengan gambar bumi. Ya gambar Bumi yang bermuatan peta NKRI yang terjaga dengan ikatan tali tampar (tambang) dengan makna keutuhan semboyan penyelamatan bumi yang jauh lebih awal (1926), daripada konferensi-konferensi internasional mengenai lingkungan yang baru disadari publik dunia tahun 1972: perhelatan Konferensi Stockholm.
Deklarasi Stockholm memberikan hentakan kolosal mengenai lingkungan yang harus diperhatikan semua bangsa. Akhirnya secara periodik sepuluh tahunan Konferensi Lingkungan digelar sebagai penanda bahwa komunitas Bumi musti ingat mengenai tragedi lingkungan yang diderita Bumi ini. Tampar yang ada digambar NU dalam takaran dunia telah memudar seiring tertembusnya Bumi dengan beragam kasus pencemaran dan perusakan lingkungan yang sangat menghunjam.
Belajar Penataan Kota
Kita boleh belajar ke mana saja tentang lingkungan pada semua titik geografis Bumi. Di Timur Tengah atau di Madinah: kita dapat belajar menjaga kota yang sangat Islami dengan visi ekologisnya. Menjaga kebersihan kota termasuk dari asap rokok sebelum dunia mengatur mengenai Kawasan Bebas Rokok ada di Bumi, Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW mendesainnya di Madinah. Inilah tata hidup sehat yang dikembangkan di Madinah yang umat Islam dan warga NU sudah sangat akrab.
Di Thailand ada yang dapat dipelajari bagaimana membangun bangsa tanpa pengemis dan pengamen jalanan. Negara memberikan layanan publik yang baik dalam penggunaan pajak serta tata sungai perkotaan yang terus dinyamankan. Di Singapore dan Kuala Lumpur: kita bisa belajar bagaimana membangun Fine City alias Garden City yang kini banyak ditiru Surabaya dengan segala kekeliruannya karena tanpa memperhatikan etika kulrural lokalnya. Singapura mengembangkan konsep kitabiyah tentang negara yang ramah lingkungan yang bervisi seperti Piagam Madina meskipun mereka tidak pernah mempelajarinya secara khusus. Di Australia kita bisa belajar bagaimana transportasi publik yang gratis, sehingga warga negara dapat mndapatkan pelayanan sebagai pembayar pajak yang terhormat.
Gunung-gunung dan taman kota ditata apik memikat hati. Di Jerman, Swiss, Belgia, Belanda, Austria, Luxemburg, Perancis, dan lain sebagainya: kita dapat belajar menata kota yang ramah manusia dan alam secara ekologis. Pengelolaan sampah dan pemanfaatan sumber daya alam secara baik. Pemanfaatan energi angin, gelombang, panas matahari (tenaga surya) dilakoni penuh dedikasi. Dan kita punya semua itu yang kini sedang dikembangkan untuk memanfaatkannya dengan tepat. NU sesungguhnya telah memberikan lompatan yang sangan kuantum bagi itu semua. Setiap acara Muktamar NU terdapat pesan ekologia yang mustinya dihayati secara tematik oleh Muktamirin.
Muktamar NU yang selalu diselenggarakan telah terasa semakin meriah dengan rangkaian kegiatan pendahuluan. Muktamar itu benar-benar sangat berarti bagi pembangunan karakter bangsa (nation character building). Muktamar NU senantiasa saya pahami untuk kejayaan dan kemaslahatan Indonesia. Memang perhelatan organisasi massa terbesar di Nusantara ini sepatutnya menarik perhatian banyak kalangan. Para pemerhati NU dari berbagai wilayah dunia lazimnya dipastikan hadir untuk menyaksikan bagaimana “kaum sarungan” ini menjalankan rembug nasionalnya? Beragam masalah niscaya dikaji dalam Muktamar tersebut dengan kecakapan intelektual (scientific-mind) dari aspek politik, ekonomi, sosial-budaya maupun keorganisasian NU (jam’iyah) dengan segala implikasinya bagi kepentingan jamaah NU (nahdliyin).
Panduan Moral NU
Secara historis NU tampil sebagai pemandu umat dan pemberi peneguhan terhadap kekokohan nasional NKRI. NU lahir tahun 1926 sebagai manifestasi pengawal ajaran ahlussunnah wal jamaah yang saat itu di Hijaz mengalami eleminasi politik-religius Golongan Wahabi. NU hadir sebagai pengawal teologi yang diyakini mampu mengemban ajaran Islam yang berdurasi dalam lingkar “catur moral”, yaitu: tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), dan amar makruf nahi munkar (menegakkan kebaikan mengenyahkan kemungkaran).
Untuk itulah keberadaan NU dipastikan tidak pernah membahayakan NKRI termasuk secara ekologis, tetapi justru menjadi perekat keutuhan NKRI. Penerimaan Pancasila sebagai Asas Tunggal yang digulirkan sejak Muktamar di Situbondo 1984 dan NKRI dianggap sebagai bentuk final bernegara, adalah salah satu contoh betapa NU begitu penting dalam menjaga stabilitas kenegaraan NKRI. Nasionalisme NU tidak perlu diragukan dalam membasuh dan membela Indonesia. Kini NU justru harus tertantang untuk lebih memperhatikan tiga pilar dasar pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dalam ukuran yang sinergis antara aspek ekonomi, sosial dan ekologis yang mensejahterakan umat.
NU sebagai lokomotif perubahan untuk mewujudkan masyarakat madani (civil-society) telah digelorakan sejak kepemimpinan PBNU ditangan KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur selama 1984-1999. Gerakan ini merupakan investasi terbesar NU bagi penguatan NKRI yang demokratis. Maka dalam skala pengamanan dan kedaulatan sipil secara etika, pemerintahan di NKRI selayaknya berterima kasih kepada NU. Meski hal demikian tidak diharapkan NU. Perspektif ekologis menghendaki agar NU selalu menjadi penggulir momen pergerakan NU dalam kancah lingkungan dibanding syahwat politik yang selama 15 tahun terakhir ini mendominasi. Apa yang terjadi di negeri ini secara ekologis sudah sepantasnya NU terpanggil untuk turut hadir menyelamatkan NKRI. Krisis ekologis yang berupa degradasi lingkungan yang terus mengkoyak NKRI sudah diniscayakan kodrati menggedor nurani nahdliyin untuk lebih peduli pada upaya pelestarian lingkungan. Terjadinya banjir, tanah longsor, pencemaran air-udara-tanah yang terus meningkat, lahan kritis yang meluas, kekurangan air bersih yang mengkhawatirkan dan keanekaragaman hayati yang menyusut, adalah fakta yang tidak terbantahkan. Kehancuran lingkungan negeri ini tidak memerlukan bukti ilmiah terlalu serius sebab bukti empirisnya sudah sangat kentara. Bagaimana NU memberikan pandangan ekologisnya? Dalam catatan sejarah permuktamaran NU misalnya, sebenarnya telah dicatat secara gemilang tentang nurani ekologis NU.
Pada Muktamar NU Ke-29 Tahun 1994 (1415 H) di Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, NU telah menetapkan bahwa mencemarkan lingkungan hukumnya haram dan dikualifikasi sebagai perbuatan kriminal (jinayat). Sejak tahun 1994 itulah NU telah “memfatwakan” mengenai tindakan mencemarkan lingkungan sebagai kejahatan. Sebuah pernyataan “kriminalisasi pencemaran lingkungan” yang sangat progresif dan futuristik. Pada Halaqoh Gerakan Nasional Kehutanan dan Lingkungan Hidup, PBNU tertanggal 20-23 Juli 2007 diputuskan pula bahwa nahdliyin dan seluruh warga masyarakat wajib memperjuangkan pelestarian lingkungan hidup (jihad bi’iyah) dengan mengembangkan gerakan: menanam dan merawat pohon, mengamankan hutan, melakukan konservasi tanah, air dan keanekaragaman hayati, membersihkan kawasan perumahan dan industri dari polusi dan limbah, melestarikan sumber air, memperbaiki kawasan pertambangan, membantu penanggulangan bencana, membangun ketahanan pangan dan energi nasional, meningkatkan daya saing produk dalam negeri, menetralisir penetrasi pasar global dan menjaga stabilitas ekonomi nasional. Luar biasa bukan? Itu adalah sebagaian saja dari daya jangkau penjelajahan NU untuk Indonesia secara ekologis.
Apakah pandangan tersebut akan terus dikawal untuk dituangkan secara lebih greget lagi di tengah-tengah hingar-bingar perpolitikan. Putusan Muktamar NU di Cipasung (1994) dan Halaqoh PBNU (2007) saatnya terus diaktualisir dan diimplementasikan secara nyata sebagai episentrum kebijakan politik lingkungan di Indonesia. Aktualisasi pandangan ekologis NU harus dibarengi dengan upaya melaksanakan sehingga tidak dianggap ini putusan NATO (no action, talk only). Aktualisasi ini penting artinya mengingat sekarang terjadi kamuflase kolektif atas nama lingkungan. Orang yang gemar kampanye anti plastik justru sekarang sedang asyik mencetak gambar-gambarnya dari plastik. Hal ini dapat ditolerensi apabila mereka mampu membangun komunitas untuk mendaur ulang bener-bener tersebut agar tidak mengotori lingkungan.
Eco-Society NU
Dari gambar-gambar plastik dan kain-kain spanduk yang terpasang dari setiap perhelatan politik justru membahayakan lingkungan. NU yang telah berhasil sebagai pembangun civil society diagendakan mampu mengembangkan eco-society untuk kepentingan pelestarian lingkungan. Para nahdliyin di samping memiliki kapasitas kecerdasan intelektual yang paripurna dengan derajat emotional intelligence (kecerdasan emosional) dan spiritual intelligence (kecerdasan religius) yang mapan, juga saatnya diberi bekal kecerdasaan lingkungan. Kita semua percaya bahwa NU sangat kuat untuk mengkonstruksi kecerdasan lingkungan bagi terbangunnya eco-society.
Nahdliyin pasti menyadari bahwa ternyata kecerdasan emosional dan spiritual saja tidak cukup untuk mengubah Indonesia lebih baik. Maka para psikolog (lingkungan) sekelas Daniel Goleman menawarkan ukuran baru perilaku seseorang yang dinamakan ecological intelligence. Lingkungan harus menjadi parameter sekaligus variabel penentu setiap perilaku seseorang. Orientasi ekologis adalah cermin pembulat kecerdasan emosional dan spiritual. Orang yang memiliki ecological intelligence akan memposisikan diri pada lingkungan secara ekosistemik yang terintegrasi dengan sikap hidupnya (ecologists). Mengotori lingkungan haram hukumnya. Begitu kira-kira dalilnya. Dalam skala ecological intelligence, maka nahdliyin dan warga NKRI secara nyata mutlak menyuarakan kepentingan lingkungan (environmentalists). NU secara eksplisit telah mengarusutamakan kepentingan lingkungan. Berapa luasan ruang terbuka hijau yang dicanangkan dan dirawat NU? Berapa luas areal konservasi yang telah NU bina? Tentu deret ukur praktis ini dapat ditambah berpuluh-puluh lagi. Selamat berulang tahun kepada ulama-ulamaku. Green spirit. (*)
Leave a Reply