Oleh Fathat Abbas
Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)
Lembaga tinggi negara yang lahir seperti tanpa persiapan. Itulah penilaian sebagian elemen publik terhadap Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Lalu, salahkah kelahirannya? Tidak. Semuanya karena faktor kondisional politik, yang bukan hanya saat terjadi gelora reformasi pada 1998, tapi semuanya tak lepas dari untaian sejarah jauh sebelumnya. Catatan faktual menunjukkan, sistem politik zaman Orde Baru relatif cukup kuat mengkooptasi keberadaan lembaga legislatif, sehingga lembaga mitra ini seperti tak berdaya dalam menghadapi kepentingan politik penguasa. Salah satu implikasi destruktifnya adalah pembiaran pemimpin Orde Baru berkuasa beberapa kali periode, meski – secara yuridis-formal – proses politik pengangkatannya sah.
Seperti yang disampaikan Lord Acton, “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”, maka kekuasaan pemimpin Orde Baru yang demikian lama dan begitu powerful membuat banyak hal yang cenderung korup. Dan kebertahanan kekuasaan itu – secara faktual – telah mengakibatkan sejumlah panorama destruktif akibat koruptifnya. Dalam kaitan inilah banyak elemen menilai krusial bahwa UUD 1945 perlu diubah. Maka, kita saksikan, pada periode 1999 – 2002, terjadi proses perubahan terhadap banyak pasal dengan volume perubahan yang relatif total.
Yang perlu kita catat, dalam suasana batiniah yang penuh menginginkan perubahan, muncullah sikap bagaimana menghindari keterulangan upaya kooptasi satu lembaga (lembaga legislatif). Di sanalah sejarah tertoreh munculnya pemikiran bikameralisme. Pemikiran spontanitas? Sebenarnya tidak. Hal ini – sekali lagi – jika dikaitkan dengan rangkaian historis politik negeri ini, terutama pemerintahan Orde Baru. Catatan menunjukkan bahwa tata-kelola relasi pusat-daerah saat itu kian menunjukkan tahab kritis dan itu memerlukan reformulasi yang tepat guna mencegah potensi hancurnya kesatuan negeri ini. Dengan demikian, menjadi sangat urgent bagaimana harus mengakomodasi kepentingan daerah, sekaligus memberikan peran yang lebih besar dalam proses pengambilan keputusan politik untuk hal-hal yang terkait dengan kepentingan daerah.
Sebenarnya, pemikiran itu bukanlah hal baru, karena kepentingan daerah sudah terakomodasi dalam Fraksi Utusan Daerah yang ada di lembaga MPR RI. Namun demikian, cakupan akomodasinya dinilai tidak maksimal. Di sanalah, perubahan pro kepentingan daerah muncul dengan malahirkan Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana yang tertuang dalam perubahan (amandemen) pada November 2001 itu.
Namun demikian, juga tak bisa ditampik jika kelahiran DPD RI dinilai spontanitas. Hal ini bisa kita garis-bawahi dari tiadanya persiapan matang, tanpa studi yang mendalam, atau proses penyiapan sistem bikameralisme itu. Tidaklah berlebihan jika muncul opini lahirnya DPD RI atas dasar hasil perubahan November 2001 itu sebagai manifestasi sistem bikameralisme sesungguhnya tidak konsepsional. Setidaknya, kelahiran lembaga tinggi negara (DPD) dibentuk tanpa desain tegas dan jelas, terkait implementasi operasional artikulasi politiknya. Juga, tidak dipertegas dalam ketentuan UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan (Susduk), meski norma-norma dasarnya diangkat masuk ke dalam UU Susduk (mengutip penuh dari UUD 1945 pasal 22D). Dalam hal ini perlu kita pertegas bahwa amandemen yang melahirkan lembaga tinggi negara (DPD RI) sejatinya mengubah sistem politik Indonesia dari unikameral menjadi bikameral.
Dari potret implikasi ketidakjelasan itu, kinerja DPD tidak bisa maksimal, seperti yang kita saksikan sekarang ini. Kewenangan terbatas. Hal ini berpengaruh – dari sisi eksternal – sebagian elemen publik begitu mengenalnya. DPD seperti ada dan tiada. Kesan ini cukup menguat, di kalangan elit politik, apalagi masyarakat awam.
Kesan minus itu sesungguhnya relatif. Artinya, di tengah keterbatasan fungsi dan kewenangan lembaga DPD ini, tapi ternyata ada sejumlah anggota DPD yang mampu melakukan peranannya secara maksimal. Ia bisa memberikan kontribusi konstruktif untuk kepentingan daerah dan atau negara karena mampu menjalankan perannya sebagai wakil daerah. Banyak persoalan atau kepentingan daerah terjembatani dan terselesaikan jauh lebih cepat (efektif) karena peran sang anggota DPD. Dan – di lapangan – diakui, peran proaktifnya jauh lebih solutif dibanding menggantungkan total terhadap “saudara” sebelahnya.
Realitas kinerja ini tak lepas dari kesadaran dirinya dalam mendaya-gunakan status dirinya sebagai pejabat negara, yang jelas-jelas punya legitimasi sah dan diakui. Bahkan, ketika menjalankan peranannya pun terdapat dukungan fasilitas negara yang relatif cukup. Anasir DPD – sejalan dengan posisinya sebagai komponen non partai – ia tak punya kewajiban menyetor kepada partai. Gaji dan atau fasilitasnya diterima utuh tanpa “penyunatan” seperti yang terjadi pada wakil rakyat yang berunsur partai. Sejumlah keunggulan dan atau keuntungan ini sesungguhnya bisa dimainkan anggota dan atau pimpinan DPD secara lebih maksimal, sehingga daerah benar-benar merasakan peran dan keberadaan DPD.
Karena itu, ketika kita saksikan panorama keterbatasan kinerja DPD yang terlihat secara umum, di sana sesungguhnya ada persoalan mendasar dari dinamika DPD sejak awal perkembangannya hingga kini. Yaitu, problem kapasitas yang tidak merata dalam lembaga DPD. Bahkan – secara intrinsik – ada problem kualitas integritas ketika ingin terjun ke lembaga tinggi negara ini.
Meski demikian, pada periode awal, bahkan periode kedua, spirit anggota dan pimpinan DPD masih begitu kuat untuk memperjuangkan kepentingan daerah. Dan itu dapat kita potret pada perjuangannya menghadirkan sejumlah produk legislasi yang diinisiasi DPD. Realitas produk legislasi ini pun sesungguhnya tak lepas dari upaya reaktif manakala produk legislasi yang awalnya harus disampaikan ke DPR. Manakala usulannya diabaikan oleh saudara tuanya, maka reaksi DPD menjadi konstruktif: bergerak lebih kuat untuk mendapatkan kewenangan dalam membuat produk legislasi inisiatif DPD.
Di sisi lain – terutama memasuki periode kedua – juga terjadi proses peningkatan “kewenangan”, di antaranya mendapat respon positif dari komponen DPR manakala sama-sama melakukan fungsi pengawasan. Sikap ini sesungguhnya merupakan output politik sebagai hasil manis terjadinya lobi-lobi politik. Sinergisitas kedua lembaga dalam kaitan pengawasan tentu punya makna konstruktif, bagi kepentingan daerah dan atau negara. Kesepahaman kinerja ini relatif berjalan harmonis dan cukup lama. Dari kesepahaman ini, maka kita saksikan peningkatan sikap politik bahwa DPD diperkenankan ikut membahas setiap rancangan undang-undang, meski tidak sampai pada tahab akhir (pengambilan keputusan).
Peningkatan peran DPD tersebut – dalam perspektif internal – sejatinya masih dinilai tanggung dan tentu belum memuaskan. Namun demikian, peningakatan yang ada tetap bisa dinilai sebagai kemajuan tersendiri. Tapi – dalam perspektif eksternal – peningakatan kewenangan itu tidaklah berarti apa-apa. Nothing. Publik – bagaimanapun – mendambakan idealitas peran sang wakil daerah. Karena itu, kewenangan DPD haruslah tidak boleh beda dibanding kewenangan yang dimiliki tetangga sebelah. Dalam kerangka memahami catatan pihak eksternal itulah, maka DPD – secara proaktif – melakukan judicial review (JR) ke Mahkamah Konsitusi (MK) terhadap Pasal 22D itu. Hasilnya pun ada, meski belum sampai pada titik krusial yang dikehandaki, yakni peningkatan fungsi dan kewenangan secara artifisial. Meski demikian, ada sebagian yang disetujui. Dalam kaitan JR ini, ada satu hal yang mendasar dan sebenarnya bisa dijadikan hak veto bagi DPD. Yaitu, seluruh produk legislasi DPR haruslah mendapatkan persetujuan DPD. Hal ini sebenarnya bisa dijadikan pintu masuk untuk menolak setiap produk legislasi jika DPD tidak membubuhkan tanda tangan persetujuannya.
Sejauh ini, hak “veto” yang sejatinya dimiliki DPD tidak didayagunakan. Memang, jika DPD bersikap zakelijk tanpa kompromi akan menimbulkan kegaduhan tersendiri di wilayah parlemen. Dan publik pun akan semakin antipati terhadap lembaga legislatif. Namun demikian, jika pihak DPD tidak memberi tahu proporsi hak veto itu, “tetangga sebelah” pun tak pernah memandang sederajat terhadap keberadaan DPD. Sikap politik saudara tua ini merembes ke ranah publik. DPD kian dipandang sebelah mata.
Kondisi yang memprihatinkan itu mendorong DPD tetap melakukan aksi penguatan dengan pendekatan perubahan kelima. Arah umumnya adalah merivew keberadaan UUD 1945 yang makin kehilangan arah akibat perubahan yang dilakukan. Gagasan dan atau gerakan ini – di mata sebagian publik, terutama akademisi dan para pihak yang memahami peran strategis DPD – dinilai positif. Namun, gerakan perubahan itu – jika arahnya mengembalikan konstitusi seperti sebelum perubahan – menjadi persoalan tersendiri secara ketatanegaraan. Sebuah dampak langsung dari arah perubahan total ini sejatinya akan meniadakan lembaga tinggi negara (DPD), di samping implikasi lainnya seperti sietem pemilihan presiden-wakil presiden, kepala daerah yang tidak lagi secara langsung, dipilih secara perwakilan di MPR dan DPRD.
Arah itulah yang kemudian dikemas lebih jauh oleh sejumlah partai politik, yang di antaranya memandang sebalah mata terhadap peran DPD. Pandangan tentang DPD sebaiknya dibubarkan sebenarnya a-historis. Tapi, pandangan ini merupakan konsekuensi logis dari ketidakberdayaan secara maksimal tentang peran DPD ini. Dan hal ini pun akibat dari ketidakrelaan saudara tua yang harusnya memahami tentang sinergisitas kedua lembaga dalam bentuk meng-ACC peningkatan kewenangan DPD terkait fungsinya.
Kini, suara tentang perubahan kelima telah meredup. Bahkan, sudah dicapai sikap politik yang diinstruksikan pimpinan DPD zaman Osman Sapta Odang untuk tidak bicara lagi tentang perubahan itu. Instruksi ini benar-benar “mengubur” proses dan upaya lobi-lobi politik dalam rangka membangan kesepahaman terkait urgensi perubahan. Sejatinya mengarah pada penguatan lembaga DPD, tepi pintu masuknya pada kegelisahan tentang problem ketatanegaraan akibat teramputasinya MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Padahal, posisi atau keberadaan MPR sebelum perubahan merupakan sentra pembangunan kebijakan terkait garis-garis besar haluan negara. Degradasi MPR dari posisi lembaga tertinggi negara mengakibatkan negara ini seperti tak punya haluan.
Krisis ketatanegaraan itulah yang akhirnya terjadi titik temu di antara DPD dengan para elitis partai politik. Atau, perwakilannya di parlemen. Meski demikian, sikap politik yang terkesan kompromi dan menghargai upaya kelompok DPD masih jauh dari realisasi. Dan fakta bicara, lobi-lobi politik yang harusnya tuntas dan terwujud pada akhir 2016 ternyata gagal. Dan kegagalan perjuangannya pada tahun lalu membuat pesimis tersendiri, karena tahun 2017 bahkan dua tahun berikutnya – secara berturut-turut – merupakan tahun politik. Masing-masing dari unsur DPR ataupun DPD terkonsentrasi pada bagaimana memperpanjang kepentingan politiknya agar tetap bertahan di parlemen, atau hijrah ke lembaga eksekutif sebagai kepala daerah. Intinya, gerakan perubahan yang digadang-gadang saat itu semakin sirna.
Di mata keluarga besar Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI), harus tetap ada optimisme untuk memperjuangkan peran dan fungsi DPD RI. Tentu, harus ada keterpanggilan kolektif untuk memperbaiki jatidiri. Jika tidak, maka keberadaan DPD RI dalam sistem ketetanegaraan hanya asesoris dengan minus dedikasi bagi kepentingan daerah. Padahal, seluruh agenda kerjanya dibiayai negara. Untuk itu, tak boleh ada kata menyerah bagi organ DPD RI. Demi pertanggungjawaban, bukan hanya kepada rakyat, tapi juga sang Pemberi Amanah: Allah.
Dan kini – sejalan dengan kegundahan nasional akibat tiadanya haluan negara semacam GBHN – kiranya, DPD RI haruslah terlibat proaktif dalam merancang sistem ketatanegaraan ideal. Ada celah bagi DPD untuk merapatkan barisan dalam agenda amandemen kelima, meski – dalam perspektif kepentingan DPD – ditekadkan sebagai amandemen terbatas, yang tujuan utamanya adalah fungsionalisasi secara efektif kewenangan DPD RI. Inilah yang dirindukan. Agar bisa maksimal dalam mengemban amanah kenegaraan sebagai lembaga legislatif. Bukan hanya DPR.
Jakarta, 23 Maret 2021
Leave a Reply