Oleh: Moh. Husen
Selalu saja yang terbersit dalam benak hati dan fikiran ini tatkala melihat lifestyle gaya hidup para artis, entah di televisi hingga di media sosial, adalah nasib para guru terutama guru-guru perempuan: “Sanggupkah mereka untuk tidak meniru mode dan gaya para artis, sedangkan contoh kehadiran para artis sangat-sangat dekat lekat sehari-hari di televisi atau di gadget mereka masing-masing?”
Kita semua tahu bahwa contoh nyata adalah pengaruh yang jauh lebih kuat dari kata-kata untuk ditiru. Para artis bisa saja berteriak: “Kepada siapapun saja yang meniru saya, baik mode rambut saya yang saya semir merah hingga baju seksi yang saya pakai ini lantas saya unggah di medsos saya pribadi, terus terang saja saya tidak pernah satu kali pun saya menyuruh khalayak untuk menirunya. Apalagi sampai ada mbak-mbak guru yang meniru saya, ya salah mereka sendiri. Mengikuti akun medsos saya saja saya nggak pernah menyuruh kok. Mereka sendiri yang mengikuti saya…”
Masyarakat sendiri diam-diam bersepakat seakan-akan siapa saja boleh melakukan apa saja, kecuali guru. Guru laki-laki ngopi di pasar saja terkadang menjadi kurang sedap dipandang. Apalagi kalau sampai guru perempuan yang “macam-macam” masyarakat segera bisa menghakimi dengan perasangka yang “tidak-tidak”.
Celakanya media sosial memang senantiasa merangsang kita semua untuk pamer dan mengunggah apa saja, hingga hal-hal yang tak pantas dilihat sekalipun, sehingga siapa saja hendaknya berhati-hati dalam bermedsos.
Maka, bagi saya pribadi, guru adalah salah satu pahlawan kemanusiaan hari ini. Betapa beratnya namun sekaligus betapa mulianya seorang guru. Belum lagi bagi kenyataan guru honorer dengan gaji yang sangat minim sehingga terkadang tak pernah ada kesempatan untuk fokus kecuali mencari tambahan pekerjaan lain. Mungkin kita mencibir:
“Lho, kan sudah semestinya guru itu baik. Menjadi contoh tauladan. Kenapa harus heran? Kenapa justru meniru artis? Adakah guru selemah itu sehingga meniru artis? Tugas guru memang harus sopan begitu. Kalau tidak, bagaimana nasib murid-muridnya…” Di kamar sebelah muncul rerasanan: “Para artis yang merusak moral generasi bangsa terkadang lebih dibayar mahal dan dihormati. Sedangkan guru yang setiap hari mendidik moral, jangankan ada yang nge-fans, diingat saja pun tidak. Mereka sudah tidak resah sedikit pun terhadap fenomena artis.
Akan tetapi mereka tak pernah mengingat kerja keras para guru, penyangga masa depan bangsa ini, yang terkadang hasil kerja keras mereka kelak justru dihancurkan oleh peradaban para artis mania yang tak pernah mendidik itu…”
Sebagai manusia biasa, guru bisa terluka, terhanyut, ikut arus, khilaf, dan sebagainya. Akan tetapi saya masih menaruh percaya dan memberi apresiasi yang tinggi bahwa guru adalah tetap manusia dengan hati baja yang bersahaja, ikhlas dan bismillah, mengabdi dengan ketulusan budi, sehingga masa depan anak-anak bangsa kita ini sangat akan tercerahkan di kaki dan tangan keikhlasan bakti mereka. Dalam tulisan ini nampak jelas saya sengaja “khilaf” dengan hanya mengkritik para artis dan sangat jatuh hati kepada guru. Dan lebih “khilaf” lagi ternyata yang menulis ini alias saya sendiri ini, tidaklah berani mengkritik dirinya sendiri. Betapa kurang ajarnya diri ini.
(Banyuwangi, 12 November 2018)
Leave a Reply