Oleh: Moh. Husen
Agak gerogi berat tatkala kali ini ide menulis yang muncul dibenak hati ada kata Maiyah. Entah dari mana dan bagaimana harus memulainya. Tapi bismillah saja. Mengalir saja.
Hidup dan menulis itu bagai satu kesatuan bahwa terkadang kita tidak tahu akan menemukan huruf dan kata apalagi di depan dari setiap kata yang telah kita tuliskan, sebagaimana kita tak pernah tahu kita akan menemukan kejadian apalagi di depan setelah kita menjalani kehidupan yang sekarang.
So, bismillah dan mengalir lahir batin. Sebagai “karyawan ad-hoc” jika suatu hari saya harus mengikuti sebuah bimbingan teknis, dan untuk itu saya diharuskan wajib menginap di sebuah hotel mewah, mohon maaf, rasa-rasanya terkadang bagai sedang menikmati piknik ke luar negeri.
Hal ini bukan karena saya tergolong orang yang pandai bersyukur. Melainkan karena saya sendiri yang begitu ndesit alias ndeso banget dan memang sangat memalukan: lha wong nginap di hotel mewah saja sudah bagai piknik ke luar negeri. Termasuk kalau saya pas ngopi-ngopi dengan kawan-kawan, sungguh pun hanya di warung kopi emperan tepi jalan, tapi kalau si pemilik warung sedang memutar radio dan ada lagu-lagu baratnya, terkadang tanpa rasa malu saya ini bergurau: “Kalau ada lagu barat kayak gini, rasanya kita bagai sedang ngopi di Los Angeles ya, hehehehe…”
Seorang suami yang bertempat tinggal di rumah yang sangat begitu minimalis. Hanya ada satu kamar, ruang tengah, televisi, ruang shalat, sedikit dapur kemudian kamar mandi. Sangat sering ngobrol dengan istrinya dengan dagelan kekonyolan yang sangat romantis: “Rasa-rasanya kita ini bagai berumah tangga di Kanada ya Dik? Dapat jatah tempat tinggal segini saja sudah sangat alhamdulillah, hehehehehe….”
Jangan pernah remehkan sebuah sangkaan: rumah sederhana kok disangka mewah? Hotel dalam negeri kok disangka luar negeri? Apakah sebaiknya kita sangka neraka saja?
Tentu ini hanyalah gambaran sederhana dalam menghibur diri sesaat. Bahwa didalam kesusahan kita masih bisa menemukan kebahagiaan.
Di tengah tenggelamnya kita di laut galau permasalahan, kita masih mampu menemukan kebahagiaan bernafas meski sebentar sebagai tenaga untuk segera bergerak menyelamatkan diri ke tepian.
Nah, ada yang menggoda saya begini: “Sampeyan kok tidak bikin Maiyahan di daerah Sampeyan sendiri. Kan eman kalau nggak ada Sinau Bareng. Tidak usah berambisi harus didatangi banyak orang. Biasa saja. Yang hadir kan tidak harus Cak Nun supaya justru belajar mandiri meskipun tanpa melupakan belajar kepada Cak Nun. Bikinlah Maiyah. Jangan setiap Sampeyan ngopi di warung kopi sudah dianggap Maiyahan…” Itu ledekan kemesraan. Semacam saya agak dibully sedikit. Wong ngopi di warung kopi kok dianggap Maiyahan. Itu memang alasan konyol saya saja.
Disamping tidak harus dan memang tidak pernah ada instruksi untuk bikin Maiyahan dari siapapun. Semuanya mengalir dan kemesraan saja. Apalagi jika dalam satu kabupaten sudah ada dua Lingkar Maiyah. Meskipun ada seribu Lingkar Maiyah dalam satu kabupaten pun juga tidak apa-apa. Akhirnya saya jawab begini: “Oke, saya akan bikin Maiyahan, tapi kapan-kapan saja ya, hehehehe…. Jangan kepo ingin tahu kapan-kapannya itu kapan? Pokoknya kapan-kapan. Saya sedang meniru teman-teman jomblo kalau malam Minggu ditanya kapan nikah, jawabnya selalu kapan-kapan. Bahkan ada yang menjawab tanggal 35, hehehehehe…”
(Banyuwangi, 17 November 2018)
Leave a Reply