Oleh : Mokhamad Masduki wartawan SurabayaPost.id
Dalam sebuah kesempatan, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir pernah menyatakan, musuh terbesar pers saat ini adalah para “buzzer” yang ia anggap tidak bertanggung jawab karena merusak moralitas politik di negeri ini. Haedar berharap, pers tidak terbawa pada suasana yang kontroversial dan menjurus ke konflik sosial. Kata Haedar Pers Indonesia secara khusus dalam dinamika politik kebangsaan saat ini penting menjalankan fungsi checks and balances sebagaimana menjadi DNA media massa sepanjang sejarah di negeri manapun.
Apalagi terkabar buzzer di dukung dan dibiayai oligarki untuk ‘mendengungkan’ Islamphobia, narasi politik identitas menurut mereka. Dengan tujuan memecah belah mayoritas di Indonesia. Dengan cara mendengungkan narasi-narasi yang berbenturan agar umat Islam terbelah pandangan politiknya. Dibantah dengan dalil apapun penentu politik di negeri ini adalah umat Islam yang sejak Indonesia di proklamirkan meredeka sampai hari ini tidak terbantahkan. Maka sasaranya adalah umat Islam agar mereka beda pandangan tentang khilafah. Jika ada calon pemimpin yang baik diframming seolah-olah baiknya dan keberhasilanya dihasilkan dari politik identitas
Hasil penelitian Oxford University, gaji seorang buzzer yang bertugas menggiring isu melalui media sosial menggiurkan. Gajinya berkisar 1-50 juta. Tentu saja para buzzer itu semangat betul menjalani pekerjaannya. Mereka tidak mempedulikan betapa bahayanya yang mereka sampaikan.
Dengan bayaran menggiurkan, pegiat media sosial menjelma menjadi politisi di dunia maya, suaranya lantang menggoreng kasus berbau sara, yang menyebabkan perpecahan antar etnis budaya dan bahkan agama. Tisak asa yang benar dimata mereka jika tidak se ide dan sepemahaman dengan bos oligarki.
Para buzzer sangat piawai dalam membuat tulisan dan opini. Tentunya, mereka akan mudah melakukan profesi menjanjikan satu ini. Yap, pembuat quote dan caption. Percayalah, di dunia mahaluas dengan segala kemudahan berkat kemajuan teknologi, masih ada orang yang butuh dibuatkan quote dan caption (istilah Indonesianya: takarir) untuk melengkapi status media sosialnya.
Salah satu metode kerja buzzer membuat akun-akun palsu atau bot untuk melancarkan penggiringan isu, sesuai pesanan. Dengan menggerakkan puluhan atau ratusan akun palsu secara otomatis untuk menuliskan twit tertentu agar suatu tagar menjadi trending topic.
Misal, mereka getol membranding dan menyudutkan politisi yang penampilan, perilaku dan tutur katanya dinilai terlalu Islami. Pegiat sosmed yang kerap dijuluki BuzzerRp ini menuding kelompok politik yang membawa nafas Islam sebagai politikus busuk. Isue yang mereka bawa nampak pesanan dari kelompok minoritas. Tetapi ‘bercuan’ (duitnya banyak)
Islam sebagai mayaroitas di Indonesia, tentu sangat rentan dan mudah digesek-gesek para buzzer bayaran ini. Para buzzer meng acak-acak ideologi bangsa ini lalau dibenturkan benturkan melalui narasi mereka.
Karena menggunkan politik identitas yang bisa memecah belah bangsa. Bahkan para buzzer itu menjuluki politisi yang berseberangan dengan pemerintahan saat ini sebagai “kadrun” alias kadal gurun dan arab-arab-apan. Dan bahkan mereka tidak segan-segan berujar bahwa agama Arab (Islam) menjajah budaya dan keberagaman Indonesia
Isue sensitif itu semakin deras menggelinding di dunia maya hingga kelompok politisi dunia maya terbentuk dan membanjiri lini masa. Bekerja, pulang kerja, mau makan siang, makan malam hingga terlelap tidur, berangkat kerj lagi disuguhi narasi kebencian oleh buzzer. mereka tidak pernah berhenti saling menghujat. Menggiring isu lalu membenturkanya. Agar negara ini dikuasai pemegang saham bernama oligarki.
Perusahaan pers utamanya yang mainstream, sebagian besar telah dikuasai oligarki. Maka, tidak sedikit perusahaan pers juga mendengungkan Islamphobia bahkan juga memframing politik identitas menurut pemikiran mereka.
Bahkan ocehan buzzer di medsos mereka dibuat berita. Yang akhirnya menjadi bahan olok-olok masyarakat netizen yang merasa teganggu sengan ocehan para buzzer. Karena dianggap pers ikut mendengungkan Islamphobia dan makna politik identitas menurut mereka agar masyakar benci ketokohan seseorang yang bukan pilihan oligarki.
Yang terjadi bukan musuh seperti yang disampaikan Hedar Nashir bahwa musuh terbesar dunia pers saat ini adalah para buzzer. Faktanya buzzing adalah teman akrab mereka. Karena dari biaya manusia yang sama. Yakni Oligarki !
Leave a Reply